Minggu, 13 September 2009

Keris nogopasung 2

“Buatkan sayur jagung untukku, ya? Dan jangan lupa.....” Pria itu menahan kata-katanya
dan tersenyum.
“Apalagi, Kang?”
“Jangan lupa malam nanti.... heh-heh, sudah terlalu lama aku bersabar dan engkau
berjanji malam nanti....”
“Ihh, Kakang Gajahporo....!” Ken Endok mengelak dengan kata-kata sambil
menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
Sambil tertawa-tawa Gajahporo berangkat ke sawah, dan diam-diam Ken Endok
mengikuti bayangannya dengan pandang matanya. Ia pun merasa kasihan kepada
suaminya itu. Bagaimana pun juga, Gajahporo seorang suami yang baik dan sabar.
Sayang, kalau saja seganteng pemuda yang dijumpai menunggang kuda itu! Siapakah
gerangan pemuda itu? Dari mana dan mengapa pula sampai sekarang tak pernah
dijumpainya lagi? Perasaan kecewa dan duka melanda hatinya dan Ken Endok segera
pergi ke dapur untuk memasakkan nasi dan sayur jagung pesanan suaminya sambil
mencoba untuk mengusir kenangan tentang pemuda ganteng itu.
Pagi itu memang cerah sekali. Matahari memancarkan cahanya dengan bebas tanpa ada
awan hitam yang mengehalanginya. Jagat raya nampak terang benderang dengan
cahaya matahari pagi yang keemasan, dan segala sesuatu nampak baru dan hidup. Baik
yang bergerak maupun yang tidak, makhluk kasar mau pun makhluk halus, semua
menyambut Sang Surya dengan penuh kegembiraan. Burung-burung berkicau dan
berlompatan dari dahan ke dahan, gerakannya mengguncangkan daun-daun yang
menghujankan mutiara-mutiara embun. Marga satwa yang baru saja terbebas dari
cekaman malam gelap, meninggalkan sarang masing-masing untuk mulai dengan tugas
hidup setiap makhluk, yaitu mencari pengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sinar
matahari pagi yang sudah mulai naik di langit timur, menerobos di antara celah-celah
daun, menciptakan garis-garis putih menembus sisa-sisa kabut pagi. Keindahan alam di
waktu pagi, senja atau kapan saja memang mengharukan bagi siapa saja yang
membuka mata batinya untuk mengamati, tanpa penilaian. Akan nampak oleh mereka
yang mengamati tanpa menilai bahwa di mana-mana terkandung kebesaran, keajaiban
dan keindahan yang tak tertuturkan kata-kata. Di dalam sinar yang mengusir kegalapan
itu, di dalam kicau burung, di dalam embun yang bergantungan pada ujung daun
kemudian berhamburan jatuh, di dalam ulat yang memakan daun-daun, di dalam daun
kering yang berguguran dan berserakan di bawah pohon. Di dalam semua itu terkandung
hikmah suci tentang hidup dan mati, dua serangkai yang takan pernah terpisahkan,
hidup dan mati yang saling berkesinambungan, saling dorong, saling memberi pupuk.
Dara yang melangkah seenaknya melalui jalan itu tidak mempengaruhi suasana. Bahkan
nampak serasi, seolah ia memang sudah seharusnya di situ dan berjalan di tempat itu.
Ken Endok menggendong sebuah bakul berisi nasi, sayur jagung dan bakaran ikan lele,
uga sambal dan sebuah kendi penuh air jernih. Suasana pagi yang cerah itu juga
mencerahkan hatinya yang sudah berhasil melupakan wajah yang selalu
membayanginya. Ia bersenandung kecil, dan begitu bersenandung, dara ini teringat lagi
akan Ki Bagus yang selama ini dirindukannya. Tembangnya pupuh Kinanthi:
Ana kupu kuning mabur, saya dhuwur saya mencit
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 5
Kepireng tangise kembang, gage deniro marani
Arsa jampeni kang lara, lara sajroning ati“Duhai, Nimas Ken Endok, beta
pa trenyuh hatiku mendengar rintihan hatimu itu. Ah,
agaknya aku telah bersikap kejam terhadap dirimu, Nimas....!”
Ken Endok terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang
pemuda yang bukan lain ialah Ki Bagus yang selama ini membuatnya tidak nyenyak tidur
tak enak makan! Dan kini pemuda itu nampak lebih elok daripada ketika ia melihat yang
pertama kali. Dada yang tak berbaju itu nampak bidang dan penuh, berkulit halus namun
di dalamnya membayang kekuatan yang membuat jantungnya tergetar hebat. Ken
Endok merasa malu bukan main teringat akan tembangnya tadi. Betapa tidak?
Tembangnya tadi berarti: “Ada kupu-kupu kuning terbang makin tinggi, mendengar
tangisnya kembang, segera menghampirinya untuk mengobati yang sedang sakit di
dalam hatinya!” Tembang itu, secara halus mengungkapkan rasa rindunya walaupun
tidak ditujukan kepada suatu nama.
Kupu kuning lagi wuyung, mirsani kembang melati,
Wus tinandur keboning wong, den klilingi pager adi,
Gandane anggambar-ambar, arep melik ora wani!
Mendengar suara yang lembut itu juga kini bertembang Kinanti dengan kata-kata penuh
sindiran. Ken Endok menudukkan mukanya. Bakul yang dibawanya hampir terlepas
karena tangannya menggigil. Tembang itu berarti: “Kupu-kupu kuning sedang berduka,
melihat kembang melati sudah ditanam orang lain. Dikelilingi pagar susila, baunya
harum semerbak hati ingin memetik apa daya tiada keberanian!”
Berdegup-degup rasa jantung di dalam dada Ken Endok. Sejak ia menjadi isteri
Gajahporo belum pernah mereka sepelaminan. Belum pernah mereka bermain cinta.
Semua ini terjadi karena ia belaka, rindu kepada pria ini. Sekarang pria idamannya
sudah berada di depannya, bahkan menembangkan kata-kata yang menyatakan
keinginan hatinya. Ia tahu bahwa kalau sekali ini ia tidak berani nekat,
selama hidupnyaia akan menyesal dan hidupnya merana, sengsara. Maka ia pun memberanikan dirinya
dan mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang terjadi getaran-getaran
melalui sinar mata itu yang langsung mengusik hati. Pandang mata mereka saling
melekat, seperti melekatnya dua perasaan hati yang tidak nampak.
“Aduh, Raden, saya mohon agar Raden tidak mencabik-cabik hati saya. Biarpun saya
telah dinikahkan dengan Gajahporo, namun demi para Dewata, sampai saat ini saya
masih suci, masih menjadi isteri orang secara sah.”
“Duh Jagat Dewa Bathara....!” Pria itu melangkah dekat sehingga mereka kini
berhadapan dekat sekali, dapat saling merasakan hembusan nafas yang keluar dengan
tersendat-sendat. “Benarkah itu, Nimas? Engkau......engkau masih perawan seperti dulu?
Kenapa? Kenapa setelah engkau menjadi isteri Gajahpuro, engkau tidak mau
melayaninya?”
Ken Endok sudah nekat. Rasa malu dibuang jauh-jauh. “Duhai Raden, tidak tahukah
Paduka ataukah hanya pura-pura tidak tahu saja? Semenjak pertemuan kita yang
pertama kali itu, Raden, jiwa raga ini telah kujanjikan kepada diri sendiri untuk
kuserahkan kepada Paduka, bukan kepada pria yang lain.....”
“Nimas Ken Endok.....!” Pria itu berseru dan merangkulnya. Merasa betapa sepasang
lengan yang kuat merangkulnya dan mendekapnya, Ken Endok hampir saja terkulai
pingsan dan ia menyadarkan kepalanya pada dada yang bidang dan berbau cendana itu.
“Kau.... kau bersungguh-sungguh, Nimas? Tidak berbohong?”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 6
“Saya bersumpah, demi para Dewata. Raden. Kalau saya berbohong, biarlah Sang Hyang
Brahma yang mengutuk saya......emmmmmmm......” Gadis itu tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena kata-kata saja mulutnya yang masih bicara dan setengah terbuka
itu telah ditutup oleh sepasang bibir pria itu dalam ciuman yang membuatnya kembali
terkulai dan memejamkan mata, merasa seperti hanyut dan terseret gelombang
samudera amat kuat.
“Kenapa..... kenapa kau lakukan itu.....? Kenapa..... kenapa kau lakukan itu?” Setelah
ciuman itu dilepaskan, gadis itu berbisik-bisik, mengulang-ulang kata-katanya sehingga
seolah-olah pertanyaan itu bermaksud mengapa pemuda itu menghentikan
perbuatannya!
“Nimas Ken Endok, jangan kau bersembarangan bersumpah, apalagi kepada Sang Hyang
Brahma, karena ketahuilah bahwa aku adalah titisan Sang Hyang Brahma sendiri!”
Pemuda itu tertawa, maksudnya berkelakar saking girangnya hati. Akan tetapi kelakar ini
dianggap sunguh-sungguh oleh Ken Endok dan karena terkejut, dara itu hampir roboh
pingsan, terkulai dan menjatuhkan diri berlutut, menyembah-nyembah kaki pemuda itu!
Sambil tertawa-tawa pemuda itu lalu memondong tubuh Ken Endok dan dibawanya ke
arah sebuah gubuk di tengah sawah yang agak jauh dari jalan itu. Pada waktu itu, orang
baru saja selesai membajak dan menanam padi. Belum ada padi yang perlu dijaga dari
gangguan burung, maka sawah itu lengang dan gubuk-gubuk di situ kosong.
“Nimas, engkau benar-benar mau menyerahkan jiwa ragamu kepadaku?” bisik pria itu
setelah dia merebahkan tubuh Ken Endok di dalam gubuk. Dara itu membuang muka
saking malunya, akan tetapi mengangguk perlahan.
“Kalau engkau mau menjadi garwaku, engkau tidak boleh berdekatan dengan pria lain,
termasuk suamimu, Bagaimana?”
“Sampai mati aku tidak mau dijamah pria lain, paduka adalah junjungan hamba, Paduka
adalah suami hamba, Paduka adalah Sang Hyang Brahma....”
“Ha-ha-ha!” Pria itu tertawa geli dan gembira dan tidak lama kemudian, tidak terdengar
lagi percakapan mereka kecuali hanya desahan-desahan dan gubuk yang hanya terbuat
dari bambu itupun terguncang-guncang.
Kalaupun pandang mata sudah berpadu
senyum mengandung lautan madu
Uluran tangan sudah pula disambut
Segala sapa sudah dijawab
Kalau dua hati sudah bersatu
Segala pun bisa terjadi!
Melihat isterinya berkali-kali muntah-muntah tanpa mengeluarkan apa-apa dari
mulutnya, Gajahporo terkejut dan merasa heran bukan main. Sudah diusahakan
pengobatan pada istrinya, namun sia-sia saja, bahkan istrinya menolak untuk
dipanggilkan dukun. Wajah istrinya nampak pucat, namun ada cahaya yang membuat
wajah itu menjadi semakin cantik.
Karena kehabisan akal, Gajahporo lalu minta nasihat ibunya. Ibunya segera datang
menengok mantunya betapa kaget hati mereka berdua ketika nenek yang sudah
berpengalaman itu berkata dengan girang, “Kamu ini bagaimana, to, Le (nak)? Lha wong
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 7
istrimu mengandung gitu kok kebingungan sendiri, hik hik!”
Ibu ini tentu saja girang melihat mantunya hamil. Akan tetapi yang terkejut adalah
Gajahporo dan Ken Endok.
“Mengandung? Tidak!!” Gajahporo berseru dengan kaget sambil memandang ke arah
perut isterinya. Memang agak lain dari biasanya. Biarpun ditutup bengkung, masih
nampak mengandung. “Ken Endok katakan bahwa hal itu tidak benar!”
Akan tetapi Ken Endok tidak menjawab, menundukkan mukanya, kemudin malah lari
memasuki biliknya dan menangis.
Tentu saja Gajahporo dan ibunya terkejut dan cepat mengejar lalu memasuki kamar itu.
“Genduk, apa yang terjadi?” Ibu mertua itu membujuk mantunya, sedangkan Gajahpuro
berdiri dengan alis berkerut dan kedua tangan terkepal. Dia merasa terhina sekali.
“Aku....... aku agaknya memang.... mengandung.....”
“Tidak mungkin!” kembali suaminya membentak. “Sejak menikah dengan aku belum
pernah satu kali pun campur, mana bisa mengandung?”
Ibunya terkejut mendengar ini dan menyadari gawatnya persoalan. Akan tetapi sebagai
seorang wanita tua yang berpengalaman, ia tidak melampiaskan rasa penasaran dan
marahnya. Ia merangkul Ken Endok. “Genduk, benarkah apa yang dikatakan suamimu
tadi bahwa engkau selama menikah ini belum pernah melayaninya?”
Ken Endok menubruk ibu mertuanya sambil menangis. “Aduh ibu.....amppunkan saya...,
apa yang dikatakan Kakang Gajahporo memang benar...”
“Ehh....?Kalau begitu, lalu bagaimana engkau bisa mengandung?”
“Huh, apa lagi kalau pelacur ini tidak bermaksud gila dengan laki-laki lain!” Bentak
Gajahpuro dengan mata merah. “Perempuan seperti ini sepantasnya dibunuh saja!”
“Eh, jangan gila, anakku!” Ibunya melarang dan melindungi Ken Endok dalam
dekapannya.
Akan tetapi Ken Endok tidak takut. Memang dara yang pernah menjadi kembang Dusun
Pangkur ini memiliki ketabahan mengagumkan. Ia bangkit dari dekapan ibu mertuanya.
“Kakang Gajahporo! Aku memang telah bersalah kepadamu, akan tetapi engkau bicara
sembarangan saja! Aku memang telah berenang dalam lautan asmara dengan pria lain,
akan tetapi tidak tahukah engkau siapa pria ini? Dia adalah Sang Hyang Brahma sendiri!”
“Bohong! Cuhh! Bohong!” Dia meludah. “Siapa percaya obrolanmu?”
“Sssttt..... jangan kurang ajar, Gajahpuro. Tidak boleh bicara seperti itu terhadap Sang
Hyang Brahma....!” Wanita tua itu cepat-cepat menyembah.
“Tapi ia bohong! Mana mungkin.....”
“Diamlah dan biarkan Ken Endok menceritakan pertemuannya dengan Sang Hyang
Brahma.”
Pada jaman itu umumnya orang amat percaya kepada dewa yang menguasai jagat raya
dan kehidupan manusia, maka sikap ibu dan Gajaporo ini sama sekali tidaklah
Sambil menangis dan suara terputus-putus ken Endok lalu bercerita betapa mula-mula ia
bertemu dengan Sang Hyang Brahma yang menjelma menjadi seorang pemuda priyayi
yang menunggang kuda. Betapa kemudian dewa itu muncul kembali di tengah jalan
ketika ia mengirim nasi suaminya ke ladang Ayugo dan di tengah perjalanan itulah ia
menerima cinta kasih Sang Dewa.
“Pantas nasinya hambar dan sayurnya asam!” bentak Gajahporo marah.
“Hush, tutup mulutmu! Ibunya menghardik. “Di mana terjadinya itu Ken Endok?”
“Di tegal Lalateng, aku.....aku dibawanya terbang ke langit ke tujuh.....” terpaksa Ken
Endok membohong karena ia takut kalau-kalau suaminya itu membunuhnya.
Kembali wanita itu hanya menyembah dan kini Gajapuro sendiri termangu-mangu,
merasa gentar. Kalau benar cerita istrinya, wah....jangan-jangan Sang Hyang Brahma
akan menghukumnya.
“Sudah beberapa kali kau.... kau.... begitu?” Akhirnya suami ini bertanya.
Bagaimana pun juga, kedua pipi itu menjadi merah dan sambil menundukkan mukanya
Ken Endok berterus terang, “Tiga kali, Kakang.....dan beliau berpesan bahwa sebelum
anak ini terlahir, aku tidak boleh disentuh pria lain, dan kelak kalau anak ini terlahir lakilaki
agar diberi nama Ken Arok”
Hampir saja Gajahporo membentak “bohong” lagi, akan tetapi kini dia mulai agak takut.
“Jagat Wasesaning Bathara......!” Ibunya mengeluh dan memanjatkan doa ke atas.
“Segala kehendak Sang Hyang Brahma pun terjadilah!” Dan ia pun bergegas
meninggalkan rumah anaknya dengan hati gembira. Ada berita yang amat
menggembirakan dibawanya. Ia tidak akan merasa malu, malah bangga! Anak mantunya
dipilih oleh Sang Hyang Brahma. Maka nenek inilah yang membawa berita
menggembirakan itu bahwa Ken Endok anak mantunya, mengandung keturunan Sang
Hyang Brahma!
Di dalam dunia ini, segala keadaan tidaklah dapat dikatakan baik atau buruk karena
memang tidak ada sifat demikian. Baru timbul sifat baik atau buruk kalau sudah dinilai
orang. Ketahyulan seperti yang menghuni batin ibu Gajahporo itu, baik atau burukkah?
Ketahyulan itu adalah suatu keadaan yang tak dapat diubah lagi pada saat itu, suatu
keadaan yang terjadi dan timbul karena suasana, karena kebudayaan, karena lingkungan
dan karena jamannya. Baik atau buruk? Bisa dibilang baik tentu bisa pula disebut buruk,
karena penilaian itu mengandung unsur keduanya. Kalau ada baiknya tentu saja ada
buruknya, dan sebagainya lagi. Sampah itu buruk, kotor, sarang penyakit, kan tetapi di
pihak lain juga pupuk yang baik sekali! Tahyul itu bodoh dan menimbulkan diri orang lain
kadang-kadang, akan tetapi dilain pihak, tahyul merupakan suatu kekuatan iman yang
kadang-kadang bermanfaat pula bagi diri sendiri. Ada penyakit yang berat dapat sembuh
begitu saja hanya dengan ditiup ubun-ubunnya!
Kalau mulai sekarang kita memandang segala sesuatu TANPA PENILAIAN, mungkin saja
mata batin kita akan menjadi lebih waspada. Mudah-mudahan!
“Tidak, bagaimanapun, malam ini engkau harus melayaniku! Aku berhak atas dirimu,
Ken Endok! Bukankah engkau istriku dan aku sudah menyerahkan segala syarat ketika
meminangmu? Beberapa ekor kerbau dan sapi juga tenagaku beberapa lama diperas
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 9
ayahmu mengerjakan sawah ladang. Malam ini, mau tidak mau, kau harus melayani aku
sebagai seorang istri!”
“Tapi, Kakang. Aku sedang dalam keadaan hamil!”
“Hamil atau tidak, peduli amat! Bukan aku yang menghamili! Hayo!” Gajahpuro yang
sudah merasa cemburu dan marah itu lalu menangkap lengan istrinya dan menariknya
ke dalam bilik tempat tidur mereka.
“Kakang, engkau akan kualat, akan berdosa terhadap Sang Hyang Brahma!”
“Bohong! Hanya bualanmu saja....” Tiba-tiba sepasang mata Gajahporo terbelalak ketika
entah dari mana datangnya, seorang pemuda yang tampan tahu-tahu telah berdiri di
dalam rungan itu!
Melihat pemuda itu, Ken Endok meronta dan melepaskan diri dari rangkulan suaminya
dan lari menghempiri pemuda itu. “Raden.....!” dan ia menjatuhkan diri di depan kakinya
sambil menangis.
Gajahporo melihat bahwa yang datang itu sama sekali bukan Sang Hyang Brahma
seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng dan dilihatnya dalam bentuk arca,
maka keberaniannya timbul.
“Keparat, jadi engkau yang telah merusak pagar ayuku dan menjinahi istriku? Engkau
harus kubunuh!!” Berkata demikian, Gajahporo yang sudah marah sekali itu menyambar
sebatang arit yang terselip di bilik lalu menyerang dengan cepatnya. Akan tetapi,
pemuda itu tersenyum dan miringkan tubuh. Ketika arit itu meluncur cepat, tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka miring menghantam tepat dan mengenai tengkuk
Gajahpuro.
“Kekk.....! Tubuh Gajahporo tersungkur dan disusul sebuah tendangan yang mengenai
lambungnya. “Ngekkk....!” dan tubuh itu pun tidak bergerak lagi.
Melihat ini, ken Endok ketakutan dan menangis. “Ah, Raden, bagaimana ini.....?”
“Jangan khawatir. Dia tidak akan berani menggangumu lagi. Sekarang juga, kau
pulanglah ke rumah orang tuamu, mari kuantar sampai di sini dan mulai besok, kau
harus minta cerai darinya.”
Ken Endok hanya menyetujui dan ia pun pulang ke rumah orang tuanya, diantar sampai
dekat rumah oleh pemuda itu yang lalu sekali meloncat sudah lenyap dari situ.
Kecepatannya bergerak seperti terbang saja sehingga menyakinkan hati Ken Endok
bahwa anak dalam kandungannya memang seorang Dewa! Orang tuanya juga tak berani
banyak cakap ketika menerima anak mereka karena mereka pun sudah mendengar yang
disebarluaskan oleh ibu Gajahporo tentang anak mereka yang dipilih oleh Sang Hyang
Brahma itu.
Siapakah sebenarnya orang muda tampan yang mengaku titisan Sang Hyang Brahma
itu? Tentu saja dia bukan dewa melainkan manusia biasa. Tentang dia keturunan atau
titisan Sang Hyang Brahma, atau Syiwa, atau Wisnu, siap tahu? Namanya adalah
Ginantoko, seorang yang masih keponakan dari seorang senopati di Kadipaten Tumapel.
Bukan darah adipati atau raja muda, akan tetapi juga termasuk seorang keluarga
priyayi. Ginantoko ini tinggal di Tumapel dan dia seorang yang memiliki aji kesaktian
karena dia seorang murid dari Empu Gandring yang amat terkenal itu. Sebetulnya,
Ginantoko bukan seorang perjaka lagi. Dia sudah mempunyai seorang istri yang pada
waktu itu sedang mengandung. Mungkin karena istrinya sedang mengandung itulah,
maka ketika dia bertemu dengan Ken Endok yang merupakan seorang perawan dusun
yang manis, dia tergila-gila dan menggodanya sehingga dia menghamili gadis itu dengan
menyamar sebagai titisan Sang Hyang Brahma. Hal itu dilakukan dengan dua maksud.
Pertama agar gadis tunduk dan rela menyerahkan diri, kedua agar perbuatannya itu
dapat tersembunyi karena dia pun tidak pernah memperkenalkan dirinya. Kalau sampai
diketahui orang bahwa dia menjinai istri orang, tentu pamannya yang menjadi senapati
akan marah sekali! Memang, Ginantoko yang sakti itu dalam usianya yang belum ada
tiga puluh tahun, memiliki kelemahan yang lazim pada kebanyakan pria, yaitu tukmis
(batuk kelimis), alias mata keranjang! Namun karena dia tampan dan sakti maka
banyaklah wanita yang bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya tanpa dia pernah
menggunakan pemaksaan.
Ginantoko menjadi murid Empu Gandring sejak berusia sepuluh tahun dan dia
sesungguhnya masih terhitung keponakan Empu Gandring sendiri. Seperti tercatat dalam
sejarah, Empu Gandring adalah seorang pembuat keris yang kenamaan di Kerajaan
Tumapel. Akan tetapi selain ahli pembuat keris, dia juga memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan seorang yang sakti mandraguna. Ginantoko mempelajari pembuatan keris
sekedarnya saja akan tetapi lebih tekun mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian.
Karena dia seorang yang mata keranjang, tampan dan pandai merayu wanita, maka
banyak wanita, baik gadis maupun sudah bersuami, yang pernah menjadi kekasihnya
secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak terpaksa sekali, jarang dia memperkenalkan
namanya yang asli, seperti ketika merayu Ken Endok, dia pun bahkan mengatakan
sebagai titisan Sang Hyang Brahma.
Akan tetapi, agaknya sudah lazim di dunia ini bahwa seorang pria yang memiliki watak
mata keranjang, dia bukan seorang yang pecinta sejati dalam arti kata dia tidak
mengenal apa yang dinamakan kesetiaan. Dia mudah bosan dan melupakan yang lama
begitu dia mendapatkan yang baru.
Demikian pula halnya dengan Ginantoko. Dia selalu menghubungi seorang wanita untuk
beberapa bulan saja, atau paling lama setelah wanita itu mengandung, maka dia pun
tentu akan meninggalkannya! Apalagi kalau matanya yang berminyak sudah memperoleh
seorang calon mangsa baru.
Kalau dikaji benar, sifat mata keranjang agaknya memang sudah menjadi pembawaan
setiap pria di dunia ini, atau bahkan mungkin menjadi pembawaan setiap makluk jantan
di dunia ini yang condong untuk berwatak poligami, yaitu ingin memiliki lebih dari satu
kawan hidup atau istri. Hanya saja, manusia mengenal cinta atau kesetiaan dan inilah
yang menjadi pengekangnya. Hanya mereka yang tidak mempunyai cinta dan kesetian,
maka dia akan menjadi liar dan condong oleh sifatnya yang mata keranjang. Dalam hal
ini, pria yang bernama Ginantoko tidak sadar bahwa kebiasaannya itu amat buruk.
Bahkan tidak menjadikannya merasa malu. Sebaliknya malah, dia akan merasa bangga
merasa seperti menjadi seorang Arjuna yang digilai banyak wanita. Betapa tidak?
Bukankah Sang Arjuna yang di dunia pewayangan dijuluki “lelananging jagat” (jantan
dunia) juga seorang pria mata keranjang dan mempunyai banyak sekali istri dan kekasih
gelap?

Tidak ada komentar: