Minggu, 13 September 2009

Keris nogopasung

Keris Pusaka Nogopasung


Kho Ping Hoo
Dusun pangkur di kaki Gunung Kawi merupakan sebuah dusun yang cukup besar dengan
penghuninya yang hidup tenteram. Sawah ladang menghasilkan panen yang baik, hujan
turun tepat pada waktunya dan sudah bertahun-tahun tidak ada gangguan hama.
Penghuni dusun itu merasa makmur hidup mereka, walaupun tentu saja kalau diukur
dari pandang mata orang kadipaten atau kerajaan, kehidupan para petani di Dusun
Pangkur itu terlalu sederhana dan miskin.
Gajahporo, seorang pemuda yang berasal dari Dusun Pangkur, merasa bahagia sekali
karena dia berhasil mempersunting Ken Endok, gadis yang dikenal sebagai kembangnya
Dusun Pangkur. Seperti lazimnya perjodohan jaman itu, sebelum bersanding menjadi
pengantin, Ken Endok belum pernah bertemu muka dengan suaminya. Tentu saja
Gajahporo sudah seringkali mencuri pandang dengan sembunyi-sembunyi dan dialah
yang tergila-gila pada Ken Endok. Berkat keadaan bapaknya yang merupakan petani
yang memiliki sawah luas dan belasan ekor kerbau, maka pinangan diterima dan
menikahlah Gajahporo dengan Ken Endok yang cantik jelita.
Ketika Ken Endok menitikkan air mata dan menahan isak pada saat kedua pengantin
dipertemukan, semua orang termasuk Gajahporo hanya menduga bahwa gadis menangis
karena malu, karena terharu atau mungkin juga karena bahagia, pendeknya, semua
pengantin wanita harus menangis kalau tidak mau dijadikan buah celoteh para wanita
yang menjadi tamu!
Akan tetapi hanya Ken Endok sendirilah yang tahu bahwa tangisnya bukan karena semua
itu, melainkan karena kecewa dan berduka. Beberapa pekan yang lalu, ketika mencuci
pakaian di anak sungai luar dusun bersama kawan-kawannya, muncul seorang pemuda
yang menunggang kuda. Melihat pemuda itu menghentikan kudanya di tepi sungai, para
dara dusun itu berlarian sambil menahan tawa. Akan tetapi Ken Endok tiada dapat
melarikan diri. Cuciannya terlampau banyak sehingga tak mungkin ia membawanya pergi
sambil berlari, apalagi cuciannya masih berceceran bahkan sebagian ada yang belum
dicucinya. Dan terpaksa ia mengangkat muka memandang ketika pemuda itu juga
memandangnya tanpa turun dari kudanya. Seorang pemuda yang luar biasa tampannya!
Seperti Sang Arjuna dalam pandangan Ken Endok yang biasanya hanya melihat laki-laki
dusun, pemuda-pemuda yang belepotan lumpur dan dengan pakaian yang serba hitam
dan kumal. Akan tetapi pemuda ini mengenakan pakaian priyayi, dengan baju lengan
pendek, celananya hitam tertutup sarung. Kulit dadanya, lehernya, lengan dan kakinya
yang tampak sedikit itu demikian bersih dan kuning. Wajahnya demikian elok, seolahKeris
Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 2
olah mengeluarkan cahaya gemilang, seperti Dewa Kamajaya baru turun dari
khayangan! Ken Endok terpesona dan lupa bahwa ia menengadah dan memandang
dengan mata terbelalak tanpa berkedip.
Pemuda itu pun terpesona. Dia biasa melihat puteri kadipaten, cantik-cantik memang,
akan tetapi kecantikan yang banyak dibantu oleh mangir, pemutih pipi dan pemerah bibir
penghitam alis, dibantu oleh pakaian yang indah-indah. Akan tetapi dara ini! Hanya
bertapih pinjung dan nampak lekuk dadanya karena tapih itu basah kuyup. Rambutnya
terurai basah pula, mukanya sama sekali tidak riasan, tubuhnya sama sekali tidak
berhias, pendeknya seratus persen wanita! Akhirnya Ken Endok sadar akan keadaan dan
cepat-cepat ia menundukkan mukanya yang berubah menjadi kemerahan. Dan pemuda
itu pun tersenyum sadar bahwa ia pun tadi kehilangan semangat seperti orang yang tibatiba
menjadi linglung!
“Jagat Dewa Bathara......!” Pemuda itu berkata lirih sambil meloncat turun dari kudanya.
Kuda itu pun dibebaskan dari kendali dan dibiarkan makan rumput dan minum air tanpa
melepaskan pandang matanya dari Ken Endok yang merasa gelisah, malu dan salah
tingkah. “Apakah aku sedang mimpi? Ataukah benar-benar aku sedang melihat seorang
bidadari turun dari khayangan dan mandi di anak sungai?”
Tentu saja sukar dilukiskan bagaimana perasaan hati seorang perawan dusun yang
menerima pujian seperti itu! Berdebar-debar jantungnya, berdenyut-denyut darahnya
sampai terasa di pelipis, dan tubuh pun gemetar. Akan tetapi Ken Endok tetap
menundukkan mukanya tidak berani memandang pemuda itu.
“Duhai Puteri Juwita, Siapa gerangan Anda? Apakah Sang Dewi Suprobo yang diutus
Sang Hyang Guru untuk turun ke dunia dan menggoda hatiku? Ataukah Anda Dewi
Penjaga Sungai ini?” Melihat wajah yang dagunya meruncing manis itu masih belum juga
diangkat, pemuda itu menambahkan, “ataukah barangkali seorang bidadari yang gagu!
Alangkah sayangnya kalau begitu!”
Mulut yang kecil manis itu tersenyum dan kembali pemuda itu terpesona. Di mana ada
perawan dusun dengan mulut seperti itu? Ketika tadi tertutup, nampak indah dan manis
sekali, benduk gendawa. Akan tetapi ketika kini tersenyum, menjadi cerah suasana
sekitarnya. Bibir merah membasah dan tipis merekah seperti kembang wijayakusuma
mekar di tengah malam nampak deretan gigi yang rapi dan putih dan rona mulut yang
kemerahan, lidahnya seperti bermain-main di dalamnya, juga merah segar ujungnya.
Lebih jelita lagi, ada dua lesung pipi di kanan dan kiri bibirnya.
“Saya... saya bukan bidadari dan saya.... saya tidak gagu.”
“Aduh para Dewata Yang Maha Kasih! Suaranya.....!”
Gadis itu tidak mengerti, memandang penuh perhatian. “Apa.... apa kata paduka,
Raden?”
“Tidak apa-apa. Aku girang kau tidak gagu,nona manis!” Kedua pipi itu menjadi semakin
merah. Akan tetapi ia khawatir kalau-kalau ada orang yang melihat ia bercakap-cakap
dengan seorang pria asing, maka ia akan berkemas. Mengumpulkan pakaiannya ke
dalam keranjang, tidak sadar betapa semua gerak-geriknya diperhatikan orang, kalau
lengan yang halus itu, lereng bukit kembar dadanya yang membayang di balik tapih
pinjungnya, dan bulu halus dari bawah pangkal lengannya. Kemudian ia pun naik ke tepi
sungai tidak sadar betapa pemuda itu menatap kakinya yang tertutup tapih sampai ke
betis. Masih nampak bagian bawah yang memadi-bunting dan halus. Terutama sekali
pemuda yang berpengalaman itu melihat betapa lekuk kaki di atas tumit itu begitu
cekung dan kecil yang menurut pengetahuan tentang wanita yang diperolehnya, perawan
ini, dengan lekuk tumit dan lesung pipit seperti itu, adalah wanita pilihan!
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 3
“Eh, eh, hendak ke mana, Nona?”
“Maaf, Raden. Saya harus pulang. Bapak akan marah-marah kalau saya terlambat
pulang.”
“Nanti dulu, Nimas.... Aku tidak melarang engkau pulang, akan tetapi perkenalkan dulu
namamu dan engkau tinggal di dusun mana.”
“Biarpun jantungnya berdebar mendengar sebutan “nimas” itu sehingga lehernya seperti
tercekik rasanya, namun ia memaksa diri menjawab, “Nama saya Ken Endok dari Dusun
Pangkur.....” setelah berkata demikian, saking malunya, dara itu pun melarikan diri.
Akan tetapi lelaki itu tidak mengejarnya, melainkan berdiri mengikuti bayangan gadis itu
sampai lenyap di dusun depan.
Setelah bayangan itu lenyap, barulah ia merangkul leher kudanya, menepuk-nepuk
punggung kuda itu sambil berkata, “Dawuk, kalau aku tidak dapat memadu asmara
dengan perawan itu, selama hidupku aku akan merana....” Kuda yang sudah terbiasa
dimanja dan diajak bercengkerama oleh majikannya itu hanya bunyi meringkik buruk.
Sejak pertemuaannya dengan pemuda itu, Ken Endok tidak dapat melupakan dia. Wajah
yang tampan itu, suaranya yang halus itu, selalu terbayang dan terngiang di dalam
hatinya. Siang menjadi kenangan dan malam menjadi impian. Tentu saja ia tidak pernah
berani bercerita tentang pemuda itu kepada siapa pun juga, kepada ayah ibunya pun
tidak. Keadaan perawan yang kini sering melamun itulah yang mendorong ayah ibunya
untuk segera menerima pinangan Gajahporo terhadap Ken Endok. Disangkanya bahwa
anak mereka itu, yang sudah remaja puteri, suka termenung karena ingin kawin! Sudah
menjadi anggapan umum di jaman itu bahwa lewat usia enam belas tahun saja belum
menikah, seorang dara akan diancam sebutan perawan tua.
Inilah sebabnya mengapa Ken Endok menitikkan air mata ketika di pertemukan sebagai
pengantin dengan Gajahporo. Bukan karena pemuda yang menjadi suaminya itu terlalu
buruk rupa atau bercacat. Tidak. Menurut ukuran dusun, Gajahporo sudah cukup baik,
tidak cacat tubuhnya, rajin, berkecukupan. Namun dalam batin Ken Endok yang
membuat perbandingan antara suaminya dan pemuda pujaannya itu, bagaikan melihat
seekor burung gagak dan seekor burung merak!
Dan ini pula yang membuat Ken Endok segan melayani suaminya di pelaminan. Pada
zaman itu, seorang perawan yang menjadi pengantin tidak tergesa-gesa menyerahkan
dirinya kepada pria yang menjadi suaminya, apa lagi menyerahkan diri sebelum
menikah. Penyerahan diri pertama kali di pelaminan itu bagi seorang perawan di jaman
itu merupakan peristiwa yang teramat penting, juga menimbulkan rasa takut, ngeri dan
malu. Oleh karena itu sudah jamak, Gajahporo tidak menjadi marah dan khawatir. Dia
pun tidak menuntut haknya dengan kekerasan, dan menganggap bahwa isterinya belum
mengenal benar keadaan dirinya maka masih malu-malu kucing. Dia dan isterinya kini
tinggal di Dusun Pangkur dan dengan mata rajinnya Gajahporo menggarap sawah
mertuanya.
Sudah tiga bulan lewat sejak Ken Endok menjadi isterinya Gajahporo. Ia sudah tidak
begitu sungkan dan malu kepada isterinya, akan tetapi masih juga belum mau
melayaninya di pelaminan. Bagi Gajahporo, hal itu pasti akan terjadi, tinggal menanti
saat baik saja sekarang.
Pada suatu hari yang cerah, pagi-pagi sekali Gajahporo telah berangkat ke sawah untuk
membajak sawah milik mertuanya yang berada di luar Dusun Pangkur, yaitu di dusun
kecil yang bernama Ayugo, agak jauh dari Pangkur.

“Gendok Ken Endok, aku akan berangkat ke sawah di Ayugo. Hujan sudah mulai turun
dan sawah itu harus dibajak, nanti kau kirim makan ya?”
“Baiklah, kang,” jawab Ken Endok.

Tidak ada komentar: