Sabtu, 19 September 2009

keria nagopusong 4

Orang-orang tua memang banyak yang belum memperhatikan tentang pendidikan.

Orang-orang tua menyatakan cinta kasihnya terhadap anak-anaknya melalui pemberianpemberian
dan kemanjaan-kemanjaan. Kalau mereka sudah mampu menuruti semua

permintaan anak-anak, mereka menanggap bahwa mereka telah memenuhi kewajiban
mereka sebagai orang tua dan mereka mengatakan bahwa mereka telah membuktikan
cinta kasih mereka kepada anak-anak mereka. Mereka jarang sekali memperhatikan
pertumbuhan jiwa anak-anak mereka, yang diperhatikan hanyalah pertumbuhan badan
dan mereka saja. Yang terpenting, beri makan secukupnya, beri pakaian secukupnya,
dan sudah selesailah tugas mereka.

Orang-orang tua seperti itu lupa bahwa pakaian robek kelak dapat ditukar dengan yang
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 20
baik, dan perut yang agak kurang makan bahkan kadang-kadang mendatangkan
kekuatan badan. Akan tetapi budi pekerti robek, sekali watak rusak, sukarlah untuk
mengubah atau memperbaikinya. Bukan hanya makanan badan yang amat penting,
melainkan juga makanan jiwa amat penting, bahkan lebih penting. Keindahan budi
pekerti dibawa sebagai modal sampai mati.
Kalaupun ada di antara kita yang katanya menyayang anak, dan melakukan pendidikan,
maka kita mendidik anak-anak kita seperti mendidik anjing-anjing pemburu atau
monyet-monyet untuk dipertontonkan dalam sirkus saja! Kita mendidik anak-anak agar
menurut semua kata-kata kita, mendidik mereka agar menjadi seperti bayangan yang
kita ciptakan sehingga anak-anak itu banyak yang kenal menjadi manusia seperti robot!
Tidak boleh begini, harus begitu, lakukan ini, jauhkan diri dari ini dan itu, dan
sebagainya. Dan kalau kita berhasil,kalau anak itu menurut segala kehendak kita, kita
menjadi bangga dan menganggap anak itu seorang ANAK YANG BAIK. Benarkah anak itu
menjadi anak yang baik? Kita lupa bahwa anak-anak bukanlah benda mati, melainkan
makhluk-makhluk hidup, calon-calon manusia dewasa yang memiliki dunia sendiri,
memiliki akal budi sendiri, selera-selera dan pikiran-pikiran sendiri. Akan tetapi kita
hendak mengekang itu semua, hendak mengurungnya dalam sangkar emas yang kita
ciptakan dengan nama “pendidkan” yang sesungguhnya keliru. Biasanya, kita mendidik
anak BUKAN DEMI SI ANAK, walaupun malu bersumpah demikian, melainkan DEMI
KESENANGAN DIRI SENDIRI. Kalau anak itu menurut kata-kata kita, kitalah yang
senang. Sedang anak itu? Belum tentu senang. Walaupun untuk menyenangkan orang
tuanya, seperti yang diharuskan dan ditanamkan dalam jiwanya, dia akan
memperhatikan muka senang agar orang tuanya senang! Kalau anak itu tidak menurut?
Lalu di maki, dipukul, dianggap anak kurang ajar, tidak patut, murtad,tidak berbakti, dan
sebagainya. Mengapa? Karena tidak menurut berarti TIDAK MEMBIKIN SENANG HATI
ORANG TUA!

Biarpun anak itu sendiri senang, kalau tidak membuat hati orang tua senang, dia
dianggap salah!
Kiranya inilah yang menimbulkan celah atau jurang di antara generasi muda dan
generasi tua, walaupun tidak boleh dikatakan bahwa kesalahan selamanya kesalahannya
selamanya berada di pihak orang tua, karena keadaan lingkungan atau pergaulan juga
mempengaruhi pembentukan watak seseorang. Lalu bagaimana caranya untuk menjadi
pendidik yang baik, menjadi orang tua yag baik agar anak-anak itu menjadi calon
manusia-manusia baik pula?
Pendidikan orang tua terhadap anaknya adalah suatu tindakan yang berdasarkan cinta
kasih. Di mana ada cinta kasih, maka segala tindakannya pasti benar! Cinta kasih berarti
memaksa si anak menjadi seperti dirinya atau seperti apa yang dikendakinya. Cinta kasih
berarti membiarkan orang yang dicintai itu berbahagia! Bukan bahagia kelak, melainkan
bahagia sekarang ini, saat ini, detik demi detik! Nah, kalau sudah ada cinta kasih seperti

ini di hati orang tua, maka pendidkan pun tidak perlu dibicarakan lagi secara mulukmuluk,
karena CINTA KASIH ITULAH PENDIDIKAN. Kalau kita melarang anak kita
memaki dengan hardikan dan makian, apakah itu cinta kasih? Kalau kita melarang anak
melakukan apa yang kita juga lakukan, apakah itu juga cinta kasih? Jelaslah, cinta kasih
itu menyeluruh!
Setelah agak besar, Ken Arok lalu disuruh bekerja di sawah ladang, menggembala
kerbau dan sebagainya. Akan tetapi, saking gemarnya berjudi, Ken Arok bahkan
menghabiskan semua raja-kaya (hewan ternak) milik orang tuanya ini, dihabiskan di
meja judi pula.

Gembong maling Lembong jatuh miskin. Kini dia sudah lanjut usia, untuk melakukan
pekerjaan maling sudah merasa kurang kuat. Kurang kuat membongkar rumah, pintu
atau jendela, kurang kuat pula kalau harus membela diri, dan kurang cepat kalau
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 21
terpaksa harus melarikan diri. Dan semua hartanya yang dikumpulkan sedikit demi
sedikit, hasil pencurian, kelebihan dari yang dimakan sehari-hari,kini diludeskan oleh Ken
Arok! Apakah ini yang dikata orang bahwa uang yang mudah didapat akan mudah pula
lenyap? Entahlah.

Ki Lembong lalu mencari pekerjaan yang halal. Dia menghadap Ki Lurah Lebak untuk
minta agar dipercaya untuk menggaduh (memelihara kerbau orang dengan bagi hasil
kalau kerbau itu sudah melahirkan anak-anak) ternak, yaitu sepasang kerbau yang baik
dan gemuk.

Sepasang kerbau itu diserahkan oleh Ki Lembong kepada Ken Arok. “Anakku yang bagus,
engkau hati-hatilah, Nak. Sepasang kerbau ini milik Ki Lurah Lebak. Jangan sampai sakit
apalagi hilang, dan engkau bertobatlah Nak, jangan berjudi lagi. Apalagi kerbau-kerbau
ini bukan milik kita, jangan diperjudikan. “Demikian pesan ayah dan ibu itu.
Akan tetapi, cerita lama pun terulang lagi. Ken Arok yang sudah gila judi itu tidak
mampu menahan godaan nafsunya sendiri. Sepasang kerbau itu pun diperjudikan dan
dia pun kalah lagi! Dua ekor kerbau milik Ki Lurah Lebak itu pun hilang ke tangan orang
lain!

Di antara segala kebiasaan atau kesenangan yang oleh masyarakat umum dinamakan
kemaksiatan, yang paling berbahaya adalah perjudian! Ada lima kemaksiatan yang
dinamakan dalam Bahasa Jawa sebagai MA lima, yaitu: madat, mabok, maling, madon,
dan main atau dalam bahasa indonesianya: menghisap madat, bermabuk-mabukan,
mencuri, main perempuan dan berjudi. Untuk menghisap madat dan mabuk-mabukan,
kalau tidak mempunyai uang tidak akan mampu melakukannya. Dan kalau sampai rusak,
yang rusak adalah tubuh sendiri. Mencuri, kalau tertangkap, yang celaka juga dirinya
sendiri. Main perempuan juga membutuhkan uang, kalau tidak punya uang, tidak akan
bisa, dan kalau sampai dirinya terkena penyakit, maka yang menanggung adalah dirinya
sendiri pula. Akan tetapi judi? Wah, perjudian itu benar-benar merupakan suatu
kemaksiatan yang dapat mencelakakan semua orang. Satu orang saja berjudi,
sekeluarga bisa berantakan. Dan untuk dapat berjudi, tak perlu pakaian yang baik
bahkan kadang-kadang, tanpa uang sepersenpun dapat saja berjudi karena meminjam
uang untuk berjudi jauh lebih mudah daripada meminjam uang untuk berdagang. Apalagi
kalau sampai rakyat sudah dijangkiti penyakit perjudian ini, wah, sukarlah
memberantasnya dan banyak keluarga akan menjadi sengsara karenanya.

Habislah sepasang kerbau milik Ki Lurah Lebak itu, diperjudikan pula oleh Ken Arok.
Tentu saja Ki Lembong dan Nyi Lembong menjadi marah dan berduka sekali. Mau
diapakan anak mereka yang satu-satunya ini? Kerbau-kerbau itu sudah habis dan untuk
menggantinya, mereka tidak punya uang. Semua barang sudah habis dijual untuk
makan, dan sebagian besar diperjudikan anak mereka. Padahal, menurut perhitungan Ki
Lurah di Dusun Lebak, sepasang kerbau itu dihargai delapan ribu keping uang!
“Aduh, anakku, Ken Arok. Bagaimana pula ini? Celakalah kita sudah!”
“Kita minggat saja meninggalkan Pungkur, Pak,” kata Ken Arok.
“Hemm, ke mana? Dan pula, Ki Lurah Lebak tentu akan menyuruh tukang-tukang
pukulnya untuk mencari kita dan kalau kita tersusul, kita akan celaka. Tidak ada jalan
lain, kita harus berpisah anakku. Biarlah kita tidak menyuruh kamu pergi dari sini, akan
tetapi kami berdua yang akan meninggalkan kamu. Kami harus pergi ke Dusun Lebak
untuk meng- hambakan diri kepada Pak Lurah Lebak, bekeja untuk melunasi hutang dua
ekor kerbau itu yang kita hilangkan.”

Ken Arok hampir menangis mendengar ini, akan tetapi dia seorang yang amat tabah dan
keras hati. Sejak kecilnya, setelah timbul pengertian, hampir tak pernah dia menangis.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 22
Biar dalam perkelahian mengalami babak bundas dan kesakitan, dia tidak pernah
menangis, bahkan tidak mau mengeluh. Kini pun hatinya menangis dan ada pula
penyesalan besar di dalam hatinya bahwa dia telah membikin celaka ayah ibunya. Akan
tetapi dia tidak memperhatikan tangisnya itu.

“Kalau ayah dan ibu tidak mau pergi bersamaku, biarlah aku pergi sendiri.”
“Ke mana, Ken Arok? Kau hendak pergi ke mana anakku?”
“Aku akan pergi mencari uang pengganti kerbau Pak Lurah Lebak!” katanya dan dia pun
larilah meninggalkan rumahnya, Ki dan Nyi Lembong tak dapat menahannya, apalagi
memang mereka pun harus pergi cepat-cepat berangkat ke Lebak sebelum Pak Lurah
mengambil tindakan. Lebih baik mendahuluinya menghadap ke Lebak, mengakui
kesalahan dan menyediakan tenaga mereka untuk bekerja bakti membayar kerugian
yang diderita Pak lurah.

Di dalam sebuah gua yang terpencil sunyi di daerah hutan Rabut Jalu, duduk seorang
laki-laki yang sedang bertapa. Dia bertapa bukan mencari kesaktian, juga bukan mencari
kesucian atau kemajuan batin, melainkan dia bertapa karena putus asa. Pria berusia lima
puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus, berkumis lebat, sekepal sebelah,matanya tajam
agak kemerahan dan sikapnya seperti orang yang suka melakukan kekerasan. Akan
tetapi pada saat itu, dia putus asa dan ansibnya hampir sama dengan nasib yang
menimpa diri anak belum dewasa Ken Arok. Dia telah kalah judi habis-habisan di Dusun
Karuman. Demikian besar kekalahannya sehingga bukan hanya uangnya yang habis,
juga semua harta bendanya, rumah dan sawah. Yang tinggal hanya keluarga, dua orang
istri dan beberapa orang anak yang tidak sehari pun boleh berhenti makan! Maka, saking
bingung dan kesal hatinya,juga putus asa, pergilah dia tanpa pulang lebih dahulu, ke gua
Rabut Jalu yang terkenal angker, keramat dan jarang ada orang berani datang memasuki
gua itu. Tekadnya, kalau di tidak memperoleh petunjuk dewa dan menemukan jalan
keluar untuk mengatasi keadaannya, biarlah dia mati di situ.
Berprihatin atau bertapa, juga berpuasa, amatlah baik bagi kejernihan batin. Dalam
keadaan bertapa, orang tidak memikirkan apa-apa lagi dan batin menjadi kosong,
sehingga jernih dan waspada. Berbeda dengan keadaan sehari-hari di mana batin selalu
dibisingkan oleh pikiran. Pada hari ke tiga setelah Ki Bango Samparan bertapa, pada
suatu malam dia teringat kepada Ken Arok! Dia mengenal anak itu karena sama-sama

tukang judi! Dan dia pun sudah mendengar desas desus tentang anak itu bahwa anak itu
adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Jarang dia melihat anak seperti itu, masih belum
dewasa akan tetapi telah pandai bermain judi, bahkan melawan penjudi-penjudi ulung
yang sudah dewasa. Kalau anak itu kalah, hanya karena para penjudi dewasa yang ulung
itu menipunya dalam permainan judi. Akan tetapi sesungguhnya anak itu mempunyai
bakat yang baik dan juga mempunyai peruntungan yang baik sekali dalam perjudian.
Bango Samparan merasa terheran-heran mengapa semalam itu wajah Ken Arok selalu
terbayang di depan matanya. Seorang keturunan Sang Hyang Brahma, mustahil kalau
tidak luar biasa dan tidak mendatangkan berkah, demikian bisikan hatinya. Setelah
malam lewat, pada keesok harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar meninggalkan gua
itu dengan wajah yang cerah, walaupun agak pucat karena perutnya terasa lapar setelah
tiga hari tiga malam tidak kemasukan apa-apa. Pikirannya tentang Ken Arok itu
dianggapnya sebagai bisikan para dewa! Itulah jalan keluarnya. Dia harus mendekati dan
menggandeng Ken Arok, keturunan Sang Hyang Brahma! Dan setelah mengisi perut
sekedarnya, mulailah dia pergi mencari Ken Arok. Akan tetapi baik di Dusun Pangkur
maupun di Cempoko, dia tidak dapat menemukan Ken Arok, bahkan ia mendengar
bahwa orang tua Ken Arok telah menghambakan diri kepada Lurah Lebak, sedangkan
anak itu sendiri entah pergi ke mana.



Dalam hati penuh keprihatinan Bango Samparan mulai mencari-cari dan akhirnya pada
suatu malam, bertemulah di dengan anak itu di tengah jalan! Bukan main girang rasa
hati Bango Samparan. Perjumpaann ini dianggapnya pula sebagai petunjuk para Dewata!
“Ken Arok, engkaukah itu?” tergurnya ketika mereka berpapasan di jalan.
“Paman Bango Samparan? Hendak ke manakah, Paman?”
“Mencarimu, anakku. Sudah beberapa hari mencarimu ke Pangkur dan Cempoko, kiranya

bertemu di sini.”
“Ada keperluan apakah Paman mencariku?” tanya Ken Arok, kedua kakinya siap untuk
melarikan diri kalau orang ini diutus Paka Lurah Lebak untuk menangkapnya.
Bango Samparan bukan seorang bodoh. Dia sudah mendengar tentang kekalahankekalahan

Ken Arok yang menyebabkan Ki dan Nyi Lembong terpaksa menghambakan
diri ke di Lebak. “Aihh, anakku yang baik. Aku sudah mendengar tentang nasibmu yang
amat buruk. Aku merasa kasihan kepadamu dan aku sudah bertemu dengan kedua orang
tuamu. Mereka menyerahkan engkau kepadaku untuk memelihara dan mendidikmu.
Marilah, Nak, kau ikut bersamaku ke rumahku dan mulai sekarang engkau kuanggap
sebagai anakku sendiri.”

Hampir Ken Arok tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Dia sudah berkeliaran
ke sana sini, sudah sampai ke Dusun Kapundungan, mencari pekerjaan. Akan tetapi
siapa memberi pekerjaan kepada seorang anak kecil yang tenaganya belum beberapa
kuat? Seringkali dia menderita lapar dan haus, dan hanya betinya yang kuat dan tabah
sajalah yang membuat dia masih dapat tertahan. Dan kini, dalam perjalanannya menuju
ke Dusun Karuman, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Ki Bango Samparan, juga seorang
penjudi besar, yang tiba-tiba saja menawarkan diri untuk memelihara dan mendidiknya,
mengambilnya sebagai anak.

Serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Terima kasih Paman,
terima kasih atas kebaikan hati paman kepada aku, anak yang malang ini...”
Paman? Engkau sekarang menjadi anakku, harus menyebut bapak kepadaku, ibu
kepada istriku dan saudara kepada anak-anakku!” kata Bango Samparan dengan girang,
membangkitkan Ken Arok dan menggandengnya, membawanya pulang ke Karuman.
Ki Bango Samparan mempunyai dua orang istri. Yang pertama bernama Genuk Buntu.
Nyi Genuk Buntu tidak mempunyai anak, oleh karena itu ketika suaminya membawa
pulang Ken Arok menjadi anak angkat, Nyi Genuk girang sekali. Apalagi Ken Arok adalah
seorang anak yang berwajah tampan dan bertubuh sehat. Tidak kalah oleh anak-anak
tirinya. Istri ke dua Bango Samparan bernama Tirtoyo dan istri muda inilah yang
mempunyai banyak anak. Ada lima orang anaknya, empat pertama laki-laki bernam

Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal dan Panji Kenengkung, sedangkan yang bungsu
seorang anak perempuan bernama Cucupuranti, yang sudah menjadi perawan cilik yang
manis, sebaya dengan Ken Arok yang sudah berusia empat belas tahun.
Entah kebetulan, memang para dewa memberkahi Bango Samparan lewat Ken Arok,
buktinya, ketika ada perjudian besar-besaran, Bango Samparan mengajak Ken Arok dan
diapun memperolah kemenangan yang amat besar! Memang tak dapat disangkal bahwa
perjalanan hidup manusia ini banyak sekali dipengeruhi oleh “Hal-hal yang kebetulan!"
Yang dinamakan hal yang kebetulan adalah hal-hal yang terjadi di luar persangkaan kita,

di luar perhitungan akal, bahkan kadang-kadang merupakan hal yang agaknya tidak
mungkin. Banyak manusia mengalami perubahan hidup yang amat besar hanya karena
“kebetulan” itulah! Dan yang kebetulan ini, yang tak dapat diperhitungkan dengan akal
ini, itulah yang mujijat, yang gaib, yang tak terjangkau oleh akal pikiran, seolah-oleh
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 24
sudah “ada yang mengeturnya”. Padahal, semua yang terjadi itu, betapa pun penuh
rahasia, sesungguhnya bersumber dari diri pribadi. Ada orang bicara tentang rejeki.
Orang boleh mencari makan, boleh mencari uang, akan tetapi rejeki orang tidaklah

sama. Seolah-olah pada diri setiap manusia sudah ada takaran dan ukurannya sendirisendiri.
Betapapun banyaknya kita mendapatkan hasil, kalau memang takarannya hanya
segelas kecil, maka selebihnya akan tumpah dari gelas itu, meluap dan meluber akhirnya
yang tinggal hanya satu gelas itu saja, entah melalui pembiayaan karena sakit, entah
karena kehilanga, kebakaran dan lain lagi. Kalau takarannya itu segentong besar, biar
nampak air rejeki mengalir sedikit-sedikit, akhirnya akan penuh juga segentong besar
karena tidak ada yang tumpah. Dan besar kecilnya takaran atau ukuran inilah yang
terletak pada diri sendiri! Dengan cara hidup kita, dengan isi batin kita yang lahir
menjadi perbuatan-perbuatan, maka “takaran” ini bisa saja membesar maupun
mengecil!

Hasil yang diperoleh Bango Samparan dan yang dapat menolong keadaannya yang serba
sulit itu mebuat dia dan istri pertamanya semakin cinta kepada Ken Arok. Akan tetapi,
hal ini menimbulkan iri dalam hati para anak istri muda itu, kecuali Cucupuranti tentu
saja karena setelah berkenalan, segera nampak keakraban antara Cucupuranti yang
manis dengan Ken Arok yang ganteng. Justru keakraban agak mesra inilah yang
membuat hati istri muda Bango Samparan semakin tidak suka. Mulailah terjadi
perselisihan dan bentrokan karena Ken Arok dalam keluaga Ki Bango Samparan.
Sejak kecil Ken Arok adalah anak yang miskin, hanya anak keluarga maling. Akan tetapi
justru dalam kemiskinannya itu tumbuh suatu keangkuhan yang bukan bersifat
kesombongan melainkan harga diri yang tinggi, tidak mau tunduk dan tidak mau
merendah terhadap orang lebih kaya. Demikianlah watak Ken Arok. Melihat betapa
keluarga istri muda ayah angkatnya itu tidak suka kepadanya, pada suatu malam dia
minggat dari rumah itu.

“Kakang Arok....!” Tiba-tiba terdengar bisikan halus ketika dia sudah meninggalkan
rumah itu dengan diam-diam, di sebuah jalan tikungan yang sunyi. Dia berhenti dan
menoleh. Kiranya Cucupuranti yang memanggilnya dan dia pun membalikkan tubuhnya
menghadapi perawan remaja itu.
“Kau kah itu, Puranti? Kenapa kau menyusulku? Katakan saja kepada Bapak Bango
Samparan bahwa aku tidak mau lagi kembali ke sana, aku ingin merantau.”
“Aku tidak disuruh oleh Bapak, Kakang.”
“Habis, mau apa kau menyusulku?”
“Kakang Arok, aku mau ikut kalau kau pergi.”
“Ikut? Ehhh..... kenapa? Bukankah kau tinggal senang-senang di rumah bersama
saudara-saudaramu?”

“Tapi aku..... aku tidak mau kau tinggalkan, Kakang.”
Sesuatu yang aneh terjadi dalam dada Ken Arok. Jantungnya berdebar keras dan dia pun
melangkah maju. “Puranti, kenapa begitu?”
“Kakang...... aku akan bersedih kalau kau tidak ada. Aku.... aku senang sekali
bersamamu, Kakang Arok.” Dan anak itu pun menangis.
Ken Arok merangkulnya dan Cucupuranti menangis di pundaknya. Ken Arok mengelus
rambut yang panjang halus itu. “Aku pun suka kepadamu, Puranti. Akan tetapi aku harus
pergi merantau. Tak baik aku makan nasi orang begitu saja tanpa bekerja yang berarti.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 25
Aku akan merantau mencari pekerjaan, dan kalau kelak aku sudah menjadi orang yang
berhasil, aku akan datang, menjumpaimu.”
“Benar, Kakang? Dan kau akan mengajakku untuk hidup bersamamu?”
Ken Arok terkejut. “Hidup.... bersamaku? Maksudmu... maksudmu menjadi.... istriku?”
Dari atas dada Ken Arok, dara itu mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya
masih basah. Ia mengangguk. “Apa engkau tidak mau, kakang? Katakanlah engkau suka
padaku?”
“Yaaa..... ya.... aku suka, tapi..... ah, bagaimana nanti sajalah, Puranti. Pendeknya, aku
berjanji bahwa kelak aku akan menjemputmu.”
Kau tidak akan lupa kepadaku?” tanya dara itu manja.
“Aku? Lupa padamu? Ah, siapa bisa melupakan perawan manis seperti engkau ini?” Dan
entah apa yang menggerakkan, tahu-tahu Ken Arok menundukkan mukanya dan

bibirnya menyentuh bibir gadis itu, hidungnya menyentuh pipi. Akan tetapi hanya
sebentar saja lalu diangkatnya lagi mukanya yang menjadi merah dan dadanya gemetar.
“Kenapa, Kakang? Lagi, Kakang......!” bisik Cucupuranti.
Ken Arok tidak menjawab, lalu kini mencium dengan hidungnya pada pipi kedua gadis itu
dengan penuh kasih sayang, lalu melepaskan pelukannya. “Aku pergi, Puranti!” Dan
seperti dikejar setan dia pun lari dari situ.
“Kakang Arok......!” Puranti berteriak mengejar, akan tetapi Ken Arok tidak perduli dan
berlari semakin cepat sampai lenyap dan gadis itu tidak mampu mengejarnya lagi,
melainkan menangis dan pulang memberi laporan bahwa Ken Arok telah minggat.
Setelah lari agak jauh, Ken Arok berhenti. Napasnya terengah-engah, bukan karena lari
tadi melainkan hal lain. Dia merasa terheran-heran dan tidak sadar bahwa dia mulai
menginjal akhil balik, masa remaja yang mulai dewasa, sudah menginjak masa birahi

Tidak ada komentar: