Sabtu, 12 September 2009

DENDAM ANAK PENGEMIS (tamat)


"Gembel kotor! Busuk...I Pergi dari
Terdengar bentakan kasar dari sebuah kedal yang ramal pengunjungnya. Tampak seorang laki-laki ber-tubuh gemuk, dan perut buncit berdirl bertolak ping-gang, Wajahnya yang berlipat, tampak garang me-merah. Sepasang buka matanya hampir mencuat keluar.
auh cH depannya. terfihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puhih tiga tahun. Tubuhnya kurus kering, dan pakaiannya com pang-camping penuh tam-balan. Rambutnya panjang terural dan kotor. Begitu kurusnya, sehingga tulang-tulang pipi dan iganya menyembul, terfihat jeias Sepasang bola matanya cekung ke dalam, menatap sendu pada laki-laki gemuk yang menghardiknya dengan kasar.
"Ayo! Cepat peTgi...! Atau ingin kulempar ke kandang babi!" bentak laki-laki gemuk itu.
"Beri saya sedikit makanan, Tuan Gemuk," pinta laki-laki muda kurus itu memetas.
"Apa...?! Apa kau bttang tadi?" laki-laki gemuk itu semakin mendelik
"Sudah dua hari saya belum makan. Tolong..., beri..."
Plak Belum lagi menyelesaikan kata katanya, satu tam pa ran keras mendarat di wajah pemuda gembel itu Dia hanya mampu mengaduh, dan tubuhnya mengge-letak di tanah. Tamparan Itu demikian keras. sehingga dari muiutnya mengeluarkan darah. Disekanya da rah A sudut bibir dengan punggung tangannya. Sorot matanya Wni demikian ta>am. Sepertirrya menyimpan dendam yang sukar untuk dikalakan Pclahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Cepat pergi!" bentak laki-laki gemuk itu lagi.
Pemuda kurus kering itu hanya diam sa>a, dan te-tap berdiri sambil menatap tajam. Darah masih menga lirdari sudut bibimya. Seluruh tubuhnya agak bergetar.
"Huh! Pelit!" umpat pemuda itu.
"Hey
Laki gemuk itu terkejut Tangannya pun sudah terangkat hendak menampar lagi. pemuda gembel Itu sudah cepat berlalu meninggalkan kedai itu, hanya saja tidak pergi terlahj Jauh Dia berhenti lalu duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. SeperO cukup untuk berlindung dari sengatan matahari yang amat terik di slang ini.
Beberapa anak-anak menghampiri, dan mengejek-nya dengan kata kata yang menyakitkan telmga Bah kan ada beberapa di antaranya yang melempari batu-batu kerikd. Pemuda itu hanya memandangi anak-anak yang mengejek dan menghinanya bagai seeker anjlng buduk berpenyakitan.
"Huh! Anak-anak kurang ajar! Apa kalian tidak pemah diajar menghormati ora^g lebih tua. heh?!"
6
rungut pemuda gembel itu geram.
Pemuda itu bangkit berdiri. Kontan anak-ana yang mengejek dan melemparinya segera berlarian. tap! tidak jauh. Mereka menghampiri konbab sambil melempari kerikil. Anak-anak lain segera berdatangan, sehingga semakin banyak saja. Bahkan ada beberapa orang tua ikut melemparkan kata kata kotor dan ma kian. Pemuda gembel itu tampak semakin geram, tapi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya berusaha melindungi wajahnya dari rimpukan kerikil-kerikil Itu.
"Berheno! Bubar...! Bubar...!"
T)ba-tiba saja terdengar bentakan keras, ckusul munculnya seseorang yang menunggang kuda. Orang berkuda Itu mcmbubarkan anak-anak yang sedang menimpuki serta melontarkan kata-kata kasar penuh hinaan kepada pemuda gembel itu Anak-anak itu langsung berlarian serabutan sambil bersorak-soral.
Penunggang kuda putih yang temyata seorang wa-nita muda yang cantik itu, melompat turun dari kuda nya. Gerakannya begitu Indah dan ringan, pertanda memillki Umu c4ah kanuragan yang tidak rendah. Dengan senyum terkulum di bibir, dilangkahkan kakinya menghampiri pemuda gembel itu
"Maafkan mereka. Yaaah ... masih anak-anak," ucap wanita berbaju kunlng gading Itu setelah dekat di depan pemuda gembel.
"Tidak apa-apa." sahut pemuda gembel itu dingin. "Aku sering menerima pertakuan begitu Bahkan yang lebih dari itu pun sering."
"Kenapa tidak kau usir?"
7
"Untuk apa? Orang tua mereka saja membiarkan, bahkan sepertJ menganjurkan. Ah, sudahlah! Tidak ada gunanya dibicarakan. Hm... terima kasih atas per-tolonganmu"
Pemuda gembel itu melangkah pelahan-lahan. Rasanya tidak ingin membicarakan kenakaian anak-anak tadi pada dirinya. Sedangkan wanita penunggang kuda putih itu memandanginya saja. Sebentar kemu-dian, dia berbaJik dan melangkah menuju ke kedai sambil menuntun kudanya. Laki-laki gemuk pemllik kedai yang tadi mengusir kasar pemuda gembel itu menyambutnya dengan ramah.
PemiHk kedai itu mempersilakan wanita berbaju kuning gading Itu duduk dekat jendela yang langsung menghadap ke Jalan.
"Makan apa. Nisanak?" tanya pemilik kedai Itu ramah.
"Hanya tuak, dan sedikit makanan kecU," sahut wanita itu
"Balk, sebentar kami siapkan."
"Eh, tunggu," cegah wanita itu kepada pemilik kedai yang akan meninggalkannya.
"Ada yang dipesan lagi, Nisanak?"
"Tidak! Aku hanya Ingin bertanya."
"Silakan."
"Apa nama desa ini?" "Desa Watu Gayam."
Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan pemilik kedai berrubuh gemuk itu bergegas meninggalkannya untuk menyiapkan pesanan. Semen-
8
tara itu, wanita berbaju kuning gading yang tampaknya bam pertama kafi da tang ke desa ini, menga mad sua sana di bar. Masih terfihat pemuda gembel itu yang benalan tertatih-tatih cB tepi jalan utama desa ini
Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, langsung menghindar. Bahkan ada di antaranya yang me-nyemburkan ludah sambil melontarkan kata kata kasar bemada penghinaan. Walaupun agak jauh dari kedai Ini, namun seOap kata yang teriontar dapat didengar. Memang tidak begitu jelas terdengar*
"Ini pesanannya, Nisanak..."
"Oh!" wanita berbaju kuning gading itu langsung memahngkan mukanya dari jendela.
Laki-laki gemuk pemilik kedai ini meletakkan bald pesanan tamunya, kemudian bergegas melangkah pergi seteiah semuanya terhidang cfi atas meja. Laki-laki gemuk Itu kini melayani orang-orang yang berdatangan mengunjungi kedainya. Dengan ramah dilayani setiap pengunjung yang datang. Semen tara itu wanita berbaju kuning gading, menikmarJ hldangannya sambil mengamati keadaan sekeliUngnya."Gembel keparat! Busuk...! Kau pasti yang men-curl ayamku! Keparat...! Hih!"
"Aduh, ampun.... Bukanaku yang mencuri.... am-pun."
"Tidak ada ampun-ampun! Hih...! Mampus kau, gembel keparat!"
9
Pagi yang harusnya henlng dan damal, pecah c4eh bentakan dan makian kasar disertai rata pan dan crangan Hrih minta belas kasihan Beberapa orang mulai berdatangan, tapi maiah ikut memukuli laki-laki muda berpakalan com pang-camping dan kotor berde-bu. Sehiruh tubuhnya yang kurus kering, sudah biru lebam. Darah bercucuran dari kening. hidung, dan mu-hitnya.
'Bunuh saja dia! Gembel tidak tahu dM!" "Bikin kotor kampung saja!" "Buang mayatnya di hutan, War dimakan anjtng bar!"
"Bunuh! Ha Jar sampal mampus!"
Macam-macam makian dan kata-kata kotor terioo-tar. Masing-masing orang berusaha untuk memukul atau menendang laki-laki kurus kering yang sudah tidak berdaya lagi. Rasanya tak mungkin untuk menye-lamatkan cBri. Jangankan untuk berdiri. membuka suara saja sudah tidak mampu lagi.
"BerhentL.!"
Tlba-tiba terdengar bentakan keras menggeJegar. Seketika itu juga. orang yang tengah mengeroyok gembel itu berhenti. Tampak seorang wanita muda dan cantik menunggang kuda putih, berada tidak Jauh dari kerumunan orang yang mengeroyok pemuda gembel tadi.
Wanita cantik berbaju kuning gading ttu melompat turun dari kudanya, dan melangkah menghampiri pemuda gembel itu yang tergeletak tak berdaya. Sebentar cBperiksa luka-luka di tubuh laki-laki kurus kering
10
Itu. Pandangannya kinl merayapi orang yang ber-kerumun cB sekitamya.
"Kenapa Kisanak semua mengeroyok orang tidak berdaya ml?" tanya wanita cantik itu lantang.
"Gembel itu mencuri ayamku!" sahut seorang laki-laki muda berrubuh kekar. Suaranya cukup lantang Juga.
"O.... Jadi hanya karena mencuri ayam, latu kalian akan membunuhnya?" bemada sinis suara wanita itu. Ditatapnya tajam laki-laki yang menyahuti pertanyaan-nya tadi.
"Nisanak! Tampaknya kau bukan penduduk desa inL Sebalknya tidak usah mencampuri urusan kami." tegas seorang laki-laki tua dengan ram but yang sudah memutih.
"Aku tidak akan mencampuri, Jika kalian tidak main keroyok begini!" sahut wanita itu tegas. "Nisanak...."
"Ada apa ini...?!" Qba-tiba terdengar bentakan yang memoiong ucapan laki-laki tua berambut putih itu.
Semua orang menatap ke arah datangnya suara bentakan tadi. Mereka serentak bergerak mundur untuk memberi Jalan seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya indah, dengan kawalan empat orang laki-laki berrubuh tinggi tegap menyandang golok di pinggang.
LaJd-laki setengah baya dan masih kelihatan gagah itu, melangkah mendekati wanita muda cantik berbaju kuning gading. Sebentar dirayapi orang-orang yang
11
berkerumun dl sekitamya.
"Puspa Ntngrum. ada apa in)?" tanya laki-laki setengah baya itu seraya menatap pada pemuda gembel yang masih tergeletak di tanah.
"Mereka mengeroyok orang Ini, Kakang Dtpa," sahut wanita berbaju kuning gading yang dipanggB Puspa Ningrum
"Sudahlah, Puspa Ningrum. Dia itu..."
'Tapi, Kakang...! Orang ini sangat lemah, dan bisa maO kalau dSpukuB mereka!" potong Puspa Ningrum cepat
"Hm.... Kau tidak mengertj, AcHkku" "Kakang,..."
Dipa Sen tana buru-buru mencegah dengan meng goyang-goyangkan kepalanya. Puspa Ntngrum segera diam membisu. karena tidak Ingin membantah kakak-nya yang sangat dihormarJ di desa Ini Kakaknya ada lah Kepala Desa Watu Gayam. Jelas dapat menjatuh kan kewibawaannya kalau berdebat di depan orang banyak.
Puspa Ningrum berbaHk, lalu melangkah merrfng-galkan tempat itu Dia mekxnpat nalk ke punggung kuda putlhnya, dan cepat menggebahnya. Semua orang yang berada di tempat Itu Jadi bengong, karena kepala desa mereka tampak kenal betul dengan wanita yang kehhatannya asing
"Kaftan bawa orang Ini, dan rawat Kika-kikanya," perintah Dipa Sentana pada empat orang pengawal-ny»_
"Baik."
Empat orang berrubuh tegap Itu segera menggo-tong pemuda gembel yang masih pingsan. Kemudtan Dipa Sentana bergegas melangkah pergi. Semua orang yang berkerumun, segera meninggalkan tempat Itu."Oh..."
"Jangan bergerak duhi."
Pemuda berbaju com pang-cam ping Itu terkejut,
dan berusaha bangkit Tapi sehiruh tubuhnya terasa
remuk, dan nyerl sekali Dia meringis sambil merlntih
lirih. Kelopak matanya mengerjap mefthat seraut wejah
cantik yang duduk dl sampingnya.
"Oh..., di mana aku...?" tanya pemuda gembel ttu arih.
"Kau ada di tempat yang aman," sahut wanita itu lembuL
"Siapa kau?" tanya pemuda gembel itu, Septra* pemah mehhat wajahnya Tapi pada saat ini, sukar untuk mengingat ingat. dl mana pemah bertemu wanita cantik ini
"Aku Puspa Ningrum," sahut wanita itu tetap lembut "Dan kau, siapa?"
"Orangorang memanggflku si Gembel"
"Kau pasrJ punya nama, bukan?" desak Puspa Ningrum
"Untuk apa? Tidak ada yang pemah memanggB namaku."


'Tapi aku lebih suka memanggil namamu dari-pada si Gembel"
"Percuma! Kau akan bersikap sama sepertJ mereka kalau tahu siapa aku ini. ¦
Puspa Ningrum hanya lersenyum saja. Begitu manls senyumnya. Dia bangkit bercfiri dan melangkah mendekati Jendela yang terbuka lebar. Sementara itu pemuda gembel merayapi sekitamya. Disadari kalau dirinya kini berada dalam suatu ruangan yang tidak begitu besar Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tidak ada apa-apa di slni, kecuali sebuah di-pan kayu yang kini droduri.
Pemuda itu bangkit dan duduk bersila. Ditatapnya Puspa Ningrum yang berdiri membelakanginya sambil memandang keadaan luar melalui Jendela yang terbuka lebar. Cahaya matahari menerobos masuk mene-rangi seluruh kamar berukuran kecil Ini. Banyak rum-put kering dl lantainya. Sesekali terdengar suara ringkik kuda yang tidak begitu Jauh.
"Aku be ma ma Gota," ujar pemuda gembel itu pelan.
"Nama yang bagus," ucap Puspa Ningrum seraya
memballkkan tubuhnya.
'Terima kasih. tapi aku tidak periu pujlanmu. Aku lebih suka kalau kau menghinaku seperti yang mereka lakukan setiap hari," sahut Gota, agak sinks nada suaranya.
'Tapi aku bukan mereka. Goto."
"Hhh! Aku tahu tempat Ini. Dan kau berada di sinl. tentu salah seorang dari mereka."
14
Puspa Ningrum mengemyitkan keningnya men-dengar kata kata bemada sinis dan tidak bersahabat Itu DUangkahkan kakinya menghampiri laki-laki itu. Pandangannya begitu dalam, seakan akan hendak menyeBdiki kata-kata Gota tadi. Sedangkan yang di-tatap malah membaJasnya dengan tajam.
"Kau tahu tempat ini. Apakah kau pemah berada di sinl sebelumnya? Atau paling tidak, pemah da tang ke sinl?" tanya Puspa Ningrum bemada menyefidik.
"Hhh! Kau bisa tanyakan pada orang yang me-nguasal tempat ini!" Jawab Goto ketus.
Puspa Ningrum Ingin bertanya lagj, tap! diurung-kan niatnya. Pintu kamar ini terkuak, dan muncul seorang laki-laki muda berrubuh tinggi tegap. Sebilah golok terselip di plnggangnya. Pemuda itu mem-Dungkuk sedikit pada Puspa Ningrum.
"Maaf. hamba dipenntahkan untuk memanggil Gusli Ayu," kata pemuda itu penuh hormat
"Gusti Ayu.... Heh...!"gumam Gota pelan, namun terdengar begitu sink.
Puspa Ningrum menatap tajam, namun tetop cttputi rasa penasaran mellhat sikap Goto yang begitu tidak bersahabat Bahkan kata-kata yang diucapkan. selahi bemada sinis. "Gusti Ayu...."
"Siapa yang memanggilku?" tanya Puspa Ningrum mendengar suara pemuda suruhan kakaknya itu. "Gusti Dipa."
Puspa Ningrum terdiam beberapa saat, laru memandang ke luar melalui Jendela yang terbuka Meski-
15
pun jendela itu terbuka lebar. tapi memtHki jerujt yang cukup rapat dan terbuat dari kayu keras. Puspa Ningrum mematingkan mukanya kembaH dan menatap pada Gota yang masih duduk bersila, bersikap tidak pe duB.
"Aku akan datang lagi ke sirri. Gota." ujar Puspa Ningrum.
"Kau bebas datang kapan saja," sahut Gota datar.
Puspa Ningrum membalikkan tubuhnya, lalu melangkah menuju pintu Dia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi Sementara pintu ditutup dart luar. Gota beringsut dan bangkit dari pembaringan. Bibimya menyeringal menahan saklt begitu berdiri. Akibat pu-kulan dan tendangan orang banyak yang menge-royoknya, cttrasakan seluruh tubuhnya begitu nyeri dan saktt.
"Uh! Sial..!" rungumya seraya duduk kembali.
Mata Gota yang cekung dalam merayapi sekitar-nya. Tulangtulang Jari tangannya bergemeletuk kerJka cbkepalkan kuat-kuat Raut wajahnya yang kurus, begitu menegang. Kemudian. dia beringsut ke tengah-tengah ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar daun pandan, lalu duduk bersila. DUetakkan telapak tangannya di lutut, lalu pelahan-lahan matanya terpejam
Gota mulal mengatur jalan napasnya. Dadanya yang kerempeng dan terbuka, bergerak teratur turun naik. Sementara suasana jadi honing, hanya seaekali terdengar ringkik kuda. Gota tetap duduk bersila sambil terpejam. Wajah yang memerah. kini berangsur-angsur normal Dtrtnya semakin kelihatan nang. dan napasnya pun teratur baik
"Hhh...!" Gota menarlk napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat kuat Kemudian dibuka matanya, lalu bangkit dari ranjang kayu Itu Tubuhnya nam pa k segar, dan tidak lagi merasakan satdt pada sekujur tubuhnya. Sebentar cftpandangi sekitamya. Kakinya melangkah mendekati jendela, dan me man-dang ke luar.
"Sialan '" umpatnya begitu mefchat dua orang laki-laki bersenjata goiok berdiri d depan pintu kamar InL
Gota melangkah menghampiri pembaringan kayu Itu. dan kembali duduk bersila, lalu dibaringkan tubuhnya menetentang Matanya yang cekung. terbuka lebar-lebar menatap langH langit yang harnpir dipenuhi sarang laba-laba

"Aku ttdak suka tempat ini, dan hams keluar dari sinl!" dengusnya pelan. "Hm.... nanti ma lam 1 Ya. nantl ma lam aku hams keluar dari sinl!"
17
2
Gelap menyebmurj seluruh Desa Watu Gayam. Malam telah begitu la rut Di beranda depan rumah be-sar yang berdinding batu, tampak Dipa Sentana dan seorang laki-laki tua duduk memandang bulan penuh yang bergelayut di langit hitam. Beberapa orang ber-senjata golok di pinggang. hilir mudik di sekitar rumah besar yang memiliki halaman luas Itu.
"Kudengar kau membawa si Gembel itu ke sini. terdengar suara pelan seperti bergumam.
"Benar." sahut Dipa Sentana seraya mendesah.
"Anak itu bisa jadt duri dalam dirimu, Dipa. Me-ngapa masih Juga kau biarkan hidup?"
Dipa Sentana hanya mendesah saja. Dipalingkan wajahnya menatap laki-laki tua berjubah biru tua di sampingnya. Sebatang tongkat berkepala ular kobra tergenggam di tangan kanan. Sehiruh rambutnya telah putih, dan tergulung rapi ke atas. Pandangan laki-laki tua itu tetap ke depan, merayapi kegelapan yang me-nyefimuti sekitamya.
Bukan sekaB Ini Kl Jayakrama mengatakan demikian, tapi Dipa Sentana selalu tidak bisa menjawab. Dia memang menghormati laki-laki tua yang menjadi guru, sekaligus orang tua asuhnya ini. Tapi juga tidak harus dituruti keinginan Kl Jayakrama. Sebab. sukar
baginya untuk melenyapkan Gota yang selalu dise si Gembel. Ada suatu ganjalan bila mendengar nama itu.
"Aku tahu, kau tidak akan tega membunuhnya. Tapi bukankah bisa menyerahkan pada anak buahmu, dan membuang mayatnya ke dalam hutan. Lag! pula, tidak ada yang mempedulikannya lagL Semua orang membencinya. Tidak ada yang bakal kehilangan kalau dia mad, Dipa," kata Ki Jayakrama lagL
"Kurasa ada, Ki." sahut Dipa Sentana mendesah.
"Dia pun tidak tahu, dan tidak mengenal Gota. Sebelum terlambat, Dipa. Aku berkata demikian hanya untukmu, dan demi kelancaran semua clta-citamu. Ingatiah pesan mendiang ayahmu, Dipa,"
"Aku tidak pemah lupa, Ki."
"Nan! Mengapa tidak kau lenyapkan saja si Gembel itu?"
Dipa Sentana tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dari duduknya. Dilangkahkan kaHnya beberapa rindak ke depan, lalu berdiri bersandar pada pilar yang menyangga atap beranda ini. Sementara Ki Jayakrama masih tetap duduk memandang lurus ke depan, tidak sedikit pun menoleh saat berbicara.
"Gusti...! Gusti..!"
Dipa Sentana menoleh ketika mendengar suara memangglinya. Tampak seorang laki-laki muda ber-lari-lari menghampiri. Pemuda dengan golok terseHp di pinggang itu langsung membungkuk begitu sampai dl depan Dipa Sentana.
"Ada apa?" tanya Dipa Sentana.

"Cetoka, Gusti...! Celaka...!"
"Bicara yang jelas! Ada apa?!" bentak Dipa Sentana agak keras.
"Si Gembel, Gusti...! Dia kabur dan membunuh dua orang penjaga," lapor pemuda itu
"Apa...?!" Dipa Sentana kaget setengah matj mendengar laporan itu.
Bergegas Dipa Sentana melompai dan langsung beriari menuju bagian belakang rumah ini. Begitu cepatnya beriari. sehingga dalam waktu singkat sudah tiba di depan pintu kandang kuda. Tampak sepuluh orang laki-laki berrubuh tegap tengah mengerumuni dua orang yang tergeletak dengan kepala pecah. Sepuluh orang itu menyingkir begitu Dipa Sentana datang,
Dipa Sentana tidak bisa berkata-kata meiihat dua anak buahnya tewas. Darah masih mengalir deras dari kepala yang pecah Itu. Sementara sepuluh orang pembanrunya hanya bisa menunduk tan pa berkata-kata. Saat itu Ki Jayakrama dan seorang yang melapor tadi telah tiba di tempat itu Mereka meiihat bagian depan pintu kamar yang hancur berantakan.
Kamar Itu biasanya digunakan untuk menyimpan barang rongsokan. Hanya baru kemarin digunakan untuk menyekap Gota yang lebih dikenal dengan panggilan si Gembel Dipa Sentana menatap laki-laki tua yang memakai jubah wama biru gelap di samping-nya.
"Kenapa kalian diam saja?! Ayo. cari sampai dapat gembel itu!" perintah Ki Jayakrama membeniak.
20
Sepuluh orang serentak bergerak menghampiri kuda masing-masing, kemucBan segera menggebahnya dengan cepat keluar dari halaman belakang rumah be-sar itu. Sementara dari arah lain, datang sekitar dua puluh orang lagi dengan senjata golok terseRp cfi pinggang. Kl Jayakrama juga segera memerintahkan mereka untuk mencari Gota. Tapi Dipa Sentana me-minta enam orang untuk tetap rjnggal di situ. Ki Jayakrama sencBri bergegas menghampiri kudanya yang berwama coWat, Hnggi dan tegap. Dengan gerakan Indah, dia melompat naik ke punggung kuda itu.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Dipa Sentana.
"Ke rumah pamanmu!" sahut Kl Jayakrama.
"Ki...!" Dipa Sentana ingin mencegah, tapi Ki Jayakrama sudah lebih cepat menggebah kudanya.
Dipa Sentana memandang! kepergian guru yang sekaBgus orang tua angkatnya itu, lalu mendesah pelahan. Tubuhnya kemudian berbaHk dan melangkah pergi setelah memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mengurus mayat dua orang itu. Dipa Sentana melangkah pelan, dan kepalanya tertunduk.
Puspa Ningrum menatap tajam wajah kakaknya yang tertunduk sambil duduk diam. Gadis Itu baru tahu kalau pagi ini Gota melarikan diri dengan men-jebol pintu dan membunuh dua orang penjaga. Dan sekarang hampir semua anak buah Dipa Sentana tengah mencarinya ke seluruh Desa Watu Gayam.
21
Puspa Ningrum juga menyakslkan sendiri, bagai-mana pintu gudang dl samping kandang kuda itu Jebol berantakan, bagai terlanda amukan seeker banteng. Wanita itu hampir tak percaya kalau Gota mampu menjebol pintu kayu jati yang begitu tebal. Gota bukan seorang pendekar, tapi hanya seorang gembel Tubuhnya pun kurus kering, seperti tanpa tenaga. Mana mungkin bisa menjebol pintu tebal itu?
"Ada apa sebenamya, Kakang? Mengapa kau begitu membencinya? Bahkan sampai-sampai memerintahkan anak buah untuk membunuhnya," Puspa Ningrum minta penjelasan.
"Aku tidak membencinya, Puspa. Percayalah!" tegas Dipa Sentana meyakinkan. Sudah berapa kali ini dia berkata demikian untuk meyakinkan adik perempuannya ini.
"Kalau tidak membenci, mengapa kau perintah-kan anak buahmu untuk mencari dan membunuhnya?! Apa Itu namanya...?" agak Onggi nada suara Puspa Ningrum
Dipa Sentana mengangkat kepalanya, lalu menatap tajam bola mata gactis itu. Sedangkan Puspa Ningrum berdiri berkacak pinggang, dan matanya membeBak tak berkedip. Wajahnya yang cantik terfihat tegang.
"Kau tidak mengerti, Puspa. Sejak kecfl kau tidak rJnggal di sinl, dan hanya merighabiskan seluruh waktumu dl padepokan Eyang Lenteng. Kau tidak tahu apa-apa, Puspa...." pelan suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum terdiam. Bisa dirasakan adanya
22
nada tekanan pada nada suara kakaknya. Memang diakui, sejak masih berusia tujuh bulan telah dlbawa Ibunya ke Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketang-gungan. Baru kali Ini dia mengunjungi kakaknya di tanah kelahirannya. Biasanya, memang Dipa Sentana yang selalu berkunjung ke sana. Tapi sekarang Puspa Ningrum yang datang, karena ibunya tujuh hart yang lalu telah meninggal dunia karena tua. Dan itu sudah disampaikan kepada kakaknya ketlka baru datang ke desa ini.
Memang tidak ada lagi tempat berpijak bagi Puspa Ningrum selain di tanah kelahirannya ini. MesWpun tahu kalau kakaknya seorang pemimpin di Desa Watu Gayam Ini, tap! dia tidak pemah tahu keluarga yang lainnya. Ibunya tidak pemah bercerita padanya, bahkan selalu menghindar kalau ditanya masaiah keluarga.
"Kau menyesal karena harus menanggung semua beban Ayah, Kakang?" pelan suara Puspa Ningrum.
'Tidak," sahut Dipa Sentana seraya menggeleng.
"Sejak kecil kita memang tidak pemah bersama-sama. Malah paling tidak hanya bertemu dua atau bga kali dalam satu tahun. Aku tidak menyesal kalau cfi antara kita begitu jauh berbeda meskipun masih dalam ikatan sedarah dari orang tua yang sama. Memang baru kali ini aku turun gunung. Maaf kalau terialu banyak ikut cam pur persoalanmu." ujar Puspa Ningrum menyesal.
Setelah berkata demikian. Puspa Ningrum berbalik dan terus melangkah pelahan meninggalkan kakaknya yang masih duduk memandanginya. Kata-kata gadis
23
Itu membual hati Dipa Sentana tersentuh. Sedikit pun tidak bisa dibantah kebenaran kata-katanya. Tapi untuk sekarang ini suiit untuk menjelaskannya.
"Mau ke mana kau. Puspa?" tanya Dipa Sentana seraya bangkit berdiri.
"Jalan-jalan," sahut Puspa Ningrum tanpa meng-hentikan langkahnya.
"Hati-hati, penduduk di sini beium mengenalmu," pesan Dipa Sentana.
"Hm.... Apakah penduduk desa ini selalu menye-rang orang asing?" Puspa Ningrum langsung berhenti melangkah dan berbalik, tepat di ambang pintu bagian depan ruangan ini.
"Tidak, tapi banyak musuhku diluar sana."
Puspa Ningrum hanya tersenyum tipis, kemudian kembali berbalik dan melangkah ke luar. Seorang pembantu rumah bergegas datang sambil menuntun seekor kuda putih berpelana kuning emas Puspa Ningrum menerima tali kekang kudanya dan langsung me-lompat naik.
'Puspa...," panggil Dipa Sentana yang tahu-tahu sudah berada dl ambang pintu.
Puspa Ningrum tidak jacB menggebah kudanya. Ditoleh dan cBpandanginya kakaknya yang melangkah mendekati. Dipa Sentana berdiri di depan kuda adik-nya, dan mengehis-elus leher kuda putih Itu. Dari sorot matanya. Puspa Ningrum menduga kalau Dipa Sentana hendak mengatakan sesuatu, tapi berat untuk mengucapkannya.
'Pergi dan carilah Gota," kata Dipa Sentana tiba-
24
tiba. Pelan suaranya, hampir tidak terdengar.
Puspa Ningrum terkejut mendengar ucapan itu. Dikerutkan afisnya. dan ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki berusia setengah baya itu. Jarak usia antara dirinya dengan kakaknya memang begitu jauh, bagai-kan anak dan ayah saja. Memang tidak heran, karena mereka satu ayah dan lain ibu Meskipun usia Dipa Sentana hampir berkepala lima, tapi wajah dan tubuhnya masih keBhatan gagah seperti baru berusia tlga puluhan saja.
"Lindungi dia, jangan sampai terjadi sesuatu ter-hadapnya," kata Dipa Sentana lagi.
"Kakang...," Puspa Ningrum ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
"Jangan tanyakan mengapa kau kuminta berbuat demikian. Kau bebas keluar masuk rumah ini, karena ini memang milikmu Juga. Tapi. usahakan jangan sampai menimbulan kecungaan kalau Gota sudah kau te-mukan. Bawa dia ke tempat yang aman. jauh dari jangkauan orang-orangku," jelas Dipa Sentana cepat
Puspa Ningrum masih memandangl kakaknya.
¦Pergilah." ujar Dipa Sentana sambil menepuk leher kuda putih itu.
Kuda putih itu meringkik. dan beriari cepat se-belum Puspa Ningrum mengherrtakkan tali kekangnya. Diam-diam, Dipa Sentana menepuk leher kuda itu disertai penyaluran hawa panas pada tela pa k tangannya. Akibatnya. kuda putih itu langsung melesat kencang. Puspa Ningrum agak tersentak kaget, tap! cepat-cepat mengendalikan kudanya agar beriari tidak
25
terlalu kencang. Sementara Dipa Sentana masih berdiri memandangi adiknya yang sudah berbelok melewati pintu gerbang yang dijaga dua orang bersenjata golok
Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya setelah sampal di tepi sungal yang tidak begitu besar. Aimya sangat Jemlh, sehingga dasamya terfihat jelas. Gadis itu meiompat turun dari punggung kudanya. dan membiarkan kuda putih itu mendekati tepian sungal untuk minum di sana. Puspa Ningrum sendiri juga menghampiri sungai itu. lalu membasuh wajahnya.
Air yang jemih dan sejuk itu membuat wajahnya segar kemerahan, sehingga terfihat semakin cantik. Puspa Ningrum memandangi wajahnya yang terpantul di permukaan air sungal Itu. Tiba-tiba keningnya berkerut begitu di permukaan air sungai. samarsamar terpantul wajah sese orang yang berdiri di seberang. Puspa Ningrum mengangkat kepalanya.
Gadis itu tersentak kaget, begitu mengangkat kepalanya. Tiba-tiba terfihat satu bayangan berkelebat cepat di seberang sungal sana. Begitu cepatnya. sehingga sulit untuk dikenali bayangan Itu. Puspa Ningrum mengedarkan pandangannya berkeliling Tidak ada seorang pun yang terfihat di sekitarnya
"Hm..., orang Itu pakalannya penuh tambalan Apakah dia Gota...? Tapi. ah! Bukan...! Wajahnya bu-kan Gota. dan tampaknya lebih gemuk dan sudah
26
tua...." Puspa Ningrum bergumam sendiri.
Puspa Ningrum kembali terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras. Buru-buru dia bangkit berdiri. Tapi mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menyambamya. Sejenak gadis itu lerperangah, namun cepat cepat di banting tubuhnya ke samping dan bergulingan sejauh dua batang tombak. Cepat sekali gerakannya ketika meiompat bangkit Matanya membeliak begitu meiihat dl depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua be ram but dan berjanggut putih. Laki-laki itulah yang dilihatnya tacfi di seberang sungai. Pakaiannya compang-cam ping dan penuh tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat hltam pekat yang tidak Jelas bentuknya.
"Hhh...!" Puspa Ningrum mendesah pendek. Kemudian kakinya menggescr ke samping beberapa tindak.
Namun baru empat tindak kakinya digerakkan. mendadak dari baHk pohon dan semak belukar ber-munculan beberapa orang berpakaian seperti gembel. Nalurinya langsung mengatakan kalau harus waspada. Tangannya meraba sabuk yang mellltt plnggangnya. Sabuk itu berwama keperakan dan tampaknya terbuat dari bahan logam yang a mat tipis dan lentur.
"Siapa kau. Nisanak? Dan apa keperluanmu me-masuki wllayahku ini?" tanya laki-laki tua bertongkat hltam Itu.
"Namaku Puspa Ningrum." sahut Puspa Ningrum memperkenalkan diri. "Aku ke sini hanya sebentar. karena kudaku perfu minum "
27
"Hm.... Nampaknya kau bukan dari Desa Watu Gayam: Apakah kau seorang pengembara?" tanya laki-laki tua itu ramah.
"Benar." sahut Puspa Ningrum tidak punya jawab-an lain.
"Kalau begitu, sebaiknya cepadah tinggalkan tempat ini."
'Tunggu duhi!" sen tak Puspa Ningrum cepat "Aku kira ini masih termasuk wilayah Desa Watu Gayam. Mengapa tadi kau katakan Ini daerah kekuasaan-mu?"
"Kau bdak perlu tahu, Nisanak!" tegas jawaban laW-laki tua Itu. Namun masih bemada ramah.
"Balk, aku memang tidak perlu tahu. Lagi pula aku tidak ada hubungannya dengan Desa Watu Gayam," ujar Puspa Ningrum. Sengaja berkata demikian, karena nalurinya mengatakan dirinya dalam baha-ya besar kalau berkata terus terang.
"Dia aclik Dipa Sentana, Ki Tunggul!"
Puspa Ningrum tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar kata-kata keras dari arah kanan. Lebih terkejut lagi, begitu meiihat Gota telah berdiri tegak di antara orang-orang yang berpakalan pengemis. Sementara laki-laki tua yang be mama Ki Tunggul itu menatap tajam Puspa Ningrum. Gota melangkah beberapa tindak mendekati gadis itu, lalu berdiri tegak sambil menatap tajam.
28
"Dia ke sinl past! atas perintah kakaknya!" kata Gota ketus. Tatapannya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Puspa Ningrum.
Trek!
Dua puluh orang berpakaian pengemis yang sejak tadi mengurung Puspa Ningrum. menghentakkan tong-katnya. Wajah mereka tampak berang, memerah bagai bara api yang tersimpan dalam sekam. Tatapan matanya begitu tajam penuh rasa kebencian meiihat Puspa Ningrum. Sementara gadis itu semakin waspada saja.
'Tahan!" bentak Ki Tunggul keras, lalu melangkah bga tindak mendekati gadis Itu.
Sementara Gota bergerak menggeser kakinya ke samping Ki Tunggul. Namun, pandangan matanya tetap tertuju pada gadis cantik di depannya. Ki Tunggul merentangkan tangannya sedtkit Serentak, sekitar dua puluh orang yang mengepung, bergerak mundur teratur. Kembali dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan. Jarak antara laki-laki tua itu dengan Puspa Ningrum tinggal Hma langkah lagi.
"Benar kau adik dari Dipa Sentana?" tanya Ki Tunggul masih bemada ramah.
"Benar," sahut Puspa Ningrum tegas. Tidak ada gunanya Lag! berbohong.
"Kau datang ke sinl diutus kakakmu?" tanya Ki Tunggul lagi.
'Tidak! Sengaja aku datang ke sinl memang untuk mencari Gota, tap! aku tidak tahu kalau dia ada di si-ni." jawab Puspa Ningrum sambil melemparkan pan-dangannya pada pemuda kurus kering yang berdiri di
29
samping Ki Tunggul agak ke belakang sedikit
"Untuk apa kau mencariku? Ingin kau serahkan pada kakakmu? Atau ingin kau htna diriku?" dengus Gota sengit
"Kau salah, Gota. Sengaja kau kucari karena aku kaget mendengar kau membunuh dua orang penjaga. Lagi pula aku ingtn menjelaskan kalau sekarang ini Kakang Dipa sudah menyej»ar orang-orangnya untuk menangkapmu kembali." kata Puspa Ningrum tenang.
"Hhh!" Gota mendengus.
"Gota! Bteakah kau pergi dari sini?" ucap Ki Tunggul tiba-tiba.
"Ki...!" Gota terkejuL
"Juga kalian semua!" seru Ki Tunggul tidak mempedulikan keterkejutan pemuda itu
Dua puluh orang yang masih muda dan berpa-kaian com pang-camping itu membungkuk sedikit, kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan di sekitar sungai kecli ini. Gota masih tetap berdiri disertai pandangan tidak mengerti pada Ki Tunggul Sedangkan orang tua itu menatapnya lajam.
"Baiklah. aku pergi. Tapi tidak akan Jauh-Jauh dari slni," kata Gota menyerah.
"Kau tidak perlu mencemaskan diriku, Gota," kata Ki Tunggul.
Gota menatap sebentar pada Puspa Ningrum. kemudian berbalik dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Setelah Gota lenyap ditelan kelebatan pe-POhonan. Kl Tunggul melangkah menghampiri sebong-k^h batu ceper, lalu duduk di sana. Puspa Ningrum
30
masih berdiri tegak. Hatinya diiiputj kerJdakmengertian pada laki-laki tua yang tampaknya begitu dihormati oleh orang orang berpakalan pengemis tadi
"Kemari, dan duduklah di sinl," kata Ki Tunggul seraya menunjuk sebuah batu tidak Jauh di depannya.
Puspa Ningrum melirik batu yang ditunjuk, kemudian melangkah mendekati batu itu. Dia duduk di sana, tapi sikapnya masih penuh kewaspadaan. Disadari kalau di sekitamya pasti masih banyak orang berpakalan pengemis tadi. Sedikit saja bertindak salah, mereka pasti akan keluar dan mengeroyoknya.
'Terus terang, aku begitu terkejut mendengar kalau kau adalah adik dari Dipa Sentana...," Ki Tunggul mulai membuka suara.
"Memang benar," ujar Puspa Ningrum tegas.
"Aku lahir di sinl, dan sampai tua bangka beginl pun masih Juga berada di sini. Aku kenal betul siapa Dipa Sentana itu, dan seluruh keluarganya. Aku kenal dengan kakeknya, ayahnya...," suara Ki Tunggul ter-putus Ditatapnya dalam-dalam gadis di depannya Tatapannya mengandung nada penuh selidlk.
"Tampaknya kau tidak percaya, Ki Tunggul," agak sinis nada suara Puspa Ningrum.
"Siapa nama ibumu?" tanya Ki Tunggul tidak mempedulikan kesinisan gadis itu.
"Untuk apa kau tanyakan ibuku?" dengvs Puspa Ningrum tidak senang.
"Aku harus tahu untuk membuktikan benar tidak-nya bahwa kau adik Dipa Sentana!" tegas Ki Tunggul.
"Wulandari!" sahut Puspa Ningrum masih bemada
31
kurang senang. "Ayahmu?"
"Kau keterialuan. Orang Tua!"
"Jawab saja pertanyaanku, atau kau tidak ingin meiihat matahari lagL..?!"
Merah padam muka Puspa Ningrum mendengar ancaman itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya yang tajam meiihat salah satu semak bergoyang. Juga di situ terfihat kepala menyembul keluar dari bafck pohon Dugaannya benar. Dtrinya masih dalam ke-adaan terkepung saat ini. Dan yang pasti bukan hanya dua puluh orang saja yang ada, mungkin dua kali lipat dari yang tadi.
'Paradlpa," ujar Puspa Ningrum dongkol.
"He he he...!" Kl Tunggul tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh! Kenapa kau tertawa...?!" bentak Puspa Ningrum sengit
Ki Tunggul bukannya berhenti, tapi malah semakin keras saja tawanya. Hal itu membuat Puspa Ningrum Jadl berang. Tiba-tiba saja dia meiompat sambil mengi-rimkan dua pukulan bertenaga dalam penuh secara beruntun.
Masih tertawa terbahak-bahak, Kl Tunggul meng-hadang serangan itu sambil menyilangkan tongkamya di depan dada. Dua pukulan bertenaga dalam yang chlepaskan Puspa Ningrum. menghantam tongkat hltam laki-laki tua pengemis Itu.
"Akh!" Puspa Ningrum memekik tertahan.
Tubuh ramping gadis rtu kembali mencelat ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara. Berdiri nya agak limbung begitu kakinya mendarat lunak dl tanah. Dia meringis merasakan kedua tangannya seperti kesemutan. Sungguh tinggi tenaga dalam yang dimlllki Ki Tunggul. Laki-laki tua pengemis Itu masih tetap duduk bersila, meskipun tadi menahan dua pukulan beruntun bertenaga dalam cukup tinggi.
Puspa Ningrum sadar. kalau tingkat kepandaian-nya masih berada di bawah Ki Tunggul, tapi tidak rJpedubkannya. Untuk keluar dari tempat Ini, laki-laki tua itu hams bisa dikalahkannya Gadis itu segera bersiap untuk mengadakan serangan kembafi. Dilepas-kan sabuk berwama keperakan Dengan sekali kebut saja, sabuk itu menegang kaku, dan menjadi sebtlah pedang perak tipis.
"Kau bisa tertawa, Kakek Tua! Tapi sekarang rasa-kanlah Sabuk Saktl-ku!" dengus Puspa Ningrum di-
DENDAM ANAK PENGEMIS
33
ngin.
"He he he...!" Ki Tunggul hanya lerkekeh saja. "Hup! Hiyaaa...!"
Puspa Ningrum sudah meiompat men ye rang cepat kembali. Sabuk keperakan yang sudah kaku bagai pedang tipis itu, berkelebatan cepat mengarah ke bagSan-bagian tubuh Ki Tunggul yang mematikan. Namun laki-laki tua pengemis itu hanya menggerakkan tongkatnya beberapa kali tanpa beranjak dari duduk-nya dl batu pipih.
Trang! Trang!
Puspa Ningrum tersentak begitu senjata kebang-gaannya bersentuhan keras dengan tongkat hltam Ki Tunggul. Tangannya langsung bergetar kesemutan. Jari-Jari tangannya menegang kaku, dan terasa nyeri seketika. Bum-bum dia meiompat mundur sambil meringis kesakitan. Namun tatapan matanya tajam menusuk
Kl Tunggul bangkit dari duduknya, lalu berdiri dengan ujung tongkat menekan ke tanah. Biblmya masih menyunggingkan senyuman, namun tidak terdengar lagi suara tawanya. Pelahan dilangkahkan kakinya menghampiri Puspa Ningmm yang masih diliputi ber-bagai macam perasaan.
"Pergilah! Katakan pada Dipa, bahwa antara Par-tal Pengemis Tongkat Hltam dan Desa Watu Gayam bdak ada persoalan. Yang kulnginkan hanyalah, agar Ki Jayakrama meninggalkan desa itu untuk selamanya. Hanya itu! Blarkantah kami semua hidup bebas seperti dulu lagi," kata Kl Tunggul tenang, namun bemada
34
tegas
Puspa Ningmm masih tetap berdiri tegak. Pan-dangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua pengemis itu. Pada saat itu, Gota muncul kembali dengan langkah ringan. Didekatinya gadis Itu, lalu berdiri di depannya, di samping krri Ki Tunggul
"Ki Tunggul, boleh aku bicara dengannya sebentar?" pinta Gota penuh nada hormat
"He he he...," Ki Tunggul tertawa terkekeh.
Tanpa bicara lagi dia berbalik dan melangkah pergi. Gota memandanginya dari sudut matanya. Sedangkan Puspa Ningmm memasukkan kembali sabuk peraknya ke dalam tali ikat pinggangnya. Raut wajahnya masih teriihat kaku, dan sorot matanya tetap tajam menusuk.
"Aku ingin bicara denganmu, bukan sebagai mu-suh," kata Gota setelah Ki Tunggul tidak terfihat lagi.
Puspa Ningrum tidak menyahuti, tapi malah ber-Jalan menghampiri kudanya yang tengah merumput Dia meiompat naik ke punggung kuda putih Itu. Gota meiompat dan mencekal tali kekang kuda putih itu dekat mulutnya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" dengus Puspa Ningrum ketus.
Setelah berkata demikian, Puspa Ningmm meng-hentakkan tall kekang kudanya, kemudian meng-gebahnya keras-keras. Kuda putih Itu meringkik keras, kemudian meiompat, membuat Gota hams menyingkir cepat-cepat Kuda putih itu metesat cepat bagafkan
35
anak pariah lepas dari busumya. Gota hanya memandang) kepergian gadis itu.
Pemuda kurus kering berpakakan com pang-camping itu, masih tetap berdiri mesklpun Puspa Ningrum sudah tidak terfihat lagi bayangannya. Pandangannya lurus ke arah kepergian gadis itu, sampai-sampai tidak menyadari kalau Ki Tunggul sudah berada di samping-nya. Laki-laki tua itu mendehem dua kali. Gota ter-sentak kaget, dan buru-buru menoleh.
"Kasihan dia, Ki. Dia harus tahu siapa dirinya yang sebenarnya," kata Gota pelan.
"Jangan ikuti perasaanmu, Gota," ujar Ki Tunggul menasehati.
"Sejak semula memang sudah kuduga, KX Dan sekarang sudah jelas. Dua kali dia menolongku dari kekejaman mereka," masih terdengar pelan suara Gota.
'Tanpa pertotengannya pun kau tidak akan bisa dlkaJahkan mereka."
"Benar. Tapi aku tidak ingin menunjukkannya, Ki. Aku hanya ingin tahu, apakah penduduk Desa Watu Gayam benar-benar membenci Partai Pengemis Tongkat Hitam atau karena hanya mendapat tekanan saja dari manusia keparat itu," agak tertahan nada suara Gota.
"Bagaimana penllaianmu selama satu bulan berada di tengah-tengah penduduk Desa Watu Gayam?" tanya Ki Tunggul.
"Entahlah...." sahut Gota tidak yakin.
"He he he.. kau ingin mencobanya lagi?"
36
"Kalau Ki Tunggul mengijinkan "
"Aku percaya, kau mampu menjaga dirimu sendiri. Tapi satu pesanku, Jangan biarkan mereka meng-aniayamu kembali. Kalaupun sampai terjadi, gunakan ilmu 'Raga Baja'. Ini berguna agar dirimu tidak sengsara dan tahan segala macam pukulan atau senjata tajam. Mengerti, Gota?"
"Aku mengerti, Ki."
"Nah, pergilah. Jlka ada sesuatu yang berat dan tidak bisa dlhadapi sendiri, cepat-cepat hubungi aku." •Balk, Ki." "Hm."
Gota membungkukkan badannya memberi hor-mat, kemudian melangkah pergi meninggalkan laki-laki tua pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam Itu. Sementara Ki Tunggul memandanginya sampai pung-gung pemuda kurus kering ilu lenyap dari pandangannya.
"Hhh.... Kasihan kau. Gota. Hidupmu jadi sengsara karena manusia serakah itu,..!" desah Ki Tunggul seraya mengayunkan langkahnya pelahan.
Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya dengan tiba-tiba. Kuda putih Itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya. Gadis itu langsung meiompat turun, tapi tidak jadi bergerak mendekati pertempuran yang berlangsung di depannya Perta-rungan yang berlangsung antara seorang laki-laki muda
37
Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya dengan tiba-tiba. Dia meiihat pertarungan yang berlangsung antara seorang laki-laki muda berrubuh kurus kering melawan beberapa laki-laki bersenjata golok.
Tampak jelas laki-laki kurus kering berpakaian com pang-camping itu kian terdesak Beberapa pukulan dan sabetan golok telah mendaral di tubuhnya!
38
berrubuh kurus kering melawan empat orang laki-laki berrubuh tinggi tegap dan bersenjata golok.
Tampak jelas kalau laki-laki kurus kering berpakaian comping-camping itu kian terdesak Beberapa pukulan mendarat di tubuhnya. Dia berguHngan di tanah. Namun begitu bangkit, satu pukulan telak meng-gedor dadanya. Sementara Puspa Ningrum yang me-nyaksikan peristiwa itu. sudah bisa menduga kalau laki-laki muda kurus kering itu bakal mati di tangan empat orang yang menghajamya secara bergantian.
"Hentikan...!" bentak Puspa Ningrum keras.
Seketika itu juga pertarungan berhenti. Empat orang berrubuh tegap, langsung meiompat mundur. Mereka membungkukkan badannya sedikit pada Puspa Ningrum. Sedangkan gadis itu tidak mempedulikan-nya, tapi malah melangkah menghampiri pemuda kurus kering yang sedang berusaha bangkit berdiri
"Gota. apa yang kau lakukan di sini?" tanya Puspa Ningrum.
"Apa urusanmu? Aku bebas berbuat apa saja di sini!" dengus Gota menolakkan tangan Puspa Ningrum yang Ingin membantunya berdiri.
Puspa Ningrum tidak berkecll hati mendapatkan Jawaban yang ketus dan tidak bersahabat Itu Dia melangkah mundur satu tindak, membiarkan Gota berdiri Gadis itu menatap tajam pada empat orang yang Jelas-jelas anak buah Dipa Sentana.
"Memalukan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya!" dengus Puspa Ningrum ketus.
"Gusti Ayu.... kaml hanya menjalankan perintah."
39
kilah salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Perintah siapa?" bentak Puspa Ningrum.
Em pal orang Itu saling berpandangan.
"Jawab! Siapa yang memerintah kalian berbuat pengecut sepertJ ini?" bentak Puspa Ningrum gusar.
"Aku!"
Tiba-tiba saja terdengar Jawaban keras bertenaga dalam tinggi. Semua kepala menoleh ke a rah datang-nya suara itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah biru gelap tahu-tahu sudah berdiri tidak Jauh dari mereka. Laki-laki tua yang menggenggam tongkat itu tidak asing lagi bag! mereka semua. Tongkat yang pada ujung bagian atas berbentuk kepala ular kobra itu cfihentakkan ke tanah riga kali. Serentak empat orang yang mengeroyok Gota tadi, meiompat ke belakang Kl Jayakrama.
"Puspa Ningrum, cepatiah pulang! Ini bukan unjsanmu." perintah Ki Jayakrama. dingin nada suaranya.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Puspa Ningrum.
Ki Jayakrama tampak serba salah, namun tidak ditunjukkannya. Malah, ditatapnya la jam tajam gadis cantik yang berdiri membelakangi Gota. Seolah-olah Puspa Ningrum sengaja mellndungi pemuda yang bia-sa dipanggil si Gembel itu.
"Puspa Ningrum, pulanglah. Tidak ada gunanya mem be la si Gembel itu. Dia musuh besar kakakmu," tegas Ki Jayakrama, tapi agak melunak suaranya.
'Tapi dia bukan musuhku. Pantang bagiku mem-blarkan orang tidak berdaya dlkeroyok seenak hati!
40
Apa kesalahannya, sehingga kalian begitu ingin membunuhnya!" lantang kata-kata Puspa Ningrum.
Merah pa dam wajah Ki Jayakrama seketika, namun masih bisa ditahan kesabarannya. Dia tidak ingin membuat gadis ini berang. Hal Itu harus cfijaga, mesJdpun telinganya sudah saklt mendengar kata-kata bemada menantang itu
"Balklah, kali ini aku mengalah. Tapi cepatiah pulang, dan temui kakakmu!" tegas kata-kata Ki Jayakrama.
"O.... Kau Ingin mengadukan hal ini pada Kakang Dipa...?! Balk! Adukanlah kalau aku membela Gota, dan tidak pedull pada kalian semua!" ujar Puspa Ningrum tegas.
Kl Jayakrama mendengus menahan geram, dan langsung berbalik melangkah cepat meninggalkan tempat itu Empat orang yang tadi mengeroyok Gota, Juga bergegas pergi. Puspa Ningrum baru berbalik setelah lima orang itu tidak terfihat lagi
'Tidak ada gunanya bersikap begitu, Puspa." kata Gota pelan
"Apakah aku tidak boleh mellndungi orang yang lemah?" Puspa NBngrum malah mem beri kan per-tanyaaa
Sebenamya Gota ingin tertawa mendengar per-tanyaan gadis Itu Tapi sebisa mungkin, ditahan rasa geftnya. Meskipun tadi dipukuli dan ditendangi empat orang bertenaga besar, namun Itu tidak berarti sama sekaU pada tubuhnya yang kurus kering. Sebab dia tact menggunakan llmu 'Raga Baja', sehingga setiap
41
pukulan dan tendangan empat orang itu tidak terasa sama sekalt
"Terima kasih, Puspa Aku tahu kau tidak seperti yang lainnya. Tapi ptkirkanlah keselamatan dirimu juga. Mereka orang orang yang kejam, dan jelas tidak akan memandangmu lagi sebagai adik Dipa. kalau terus-terusan membelaku. Percayalah padaku. Puspa! Jangan libatkan dirimu dalam persoalan ini." pinta Gota, mengharapkan pengertJan gadis itu.
'Temyata kau Juga keras kepala seperti kakakku, Gota." dingjn nada suara Puspa Ningrum.
"Ini demi kebaikanmu Juga, Puspa. Pulanglah. sebetum keadaan bertambah parah."
Puspa Ningrum memandang lurus ke arah bola mata pemuda Itu. Pada saat yang sama, Gota Juga menatap pada gadis Itu. Sesaat mereka saling tatap tanpa berkata-kata. Pelahan-lahan Puspa Ningrum me-nunduk Entah mengapa, Jantungnya Jadi berdetak cepat dan wajahnya bersemu merah dadu. Gota sendin menarlk napas dalam dalam Juga dirasakan seperti ada yang tak beres dalam cfirinya ketika mereka saling pandang tadi
'Pulanglah. Puspa...,'* ucap Gota pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Gota...," Puspa Ningrum mengangkat kepalanya. Kembafi mereka saling tatap.
'Pulanglah "
Puspa Ningrum melangkah mundur beberapa tindak ke belakang, kemucftan berbalik dan menghampiri kudanya. Dengan gerakan yang indah, dia melom
42
pat naik ke punggung kuda putih Itu. Tatapannya masih tertuju pada pemuda berrubuh kurus dengan baju compang-camping itu. Kemudian cBgebahnya kudanya dengan cepat
Gota menghenyakkan tubuhnya ke tanah berum-put Terdengar tarlkan napas yang panjang dan berat, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang tiba tiba saja Jadi terasa sesak Gota yang akan bangkit Jadi terkejut setengah matt Tiba tiba dart batik pepohonan, bermunculan sekiiar enam orang bersenjata golok ter-hunus. Gota langsung menggerinjang bangkit berdiri Behim hilang rasa lerkejutnya. muncul Ki Jayakrama yang langsung meiompat menerjangnya.
"Hup!"
Tidak ada lagi kesempatan buat Gota untuk meng-hindari serangan yang cepat dan mendadak itu. Hanya ada satu eara, dan itu harus dilakukan dengan cepat Tangannya terangkat ke depan sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh. Satu benturan keras terjadi cfeertal suara ledakan menggelegar begitu dua pasang tela pa k tangan beradu.
Gota terpental sejauh tiga batang tombak, sedangkan Ki Jayakrama hanya terdorong beberapa langkah saja. Meskipun Gota masih bisa berdiri. namun tubuhnya Bmbung Juga Seluruh tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa Bergetar, dan terasa panas luar
btaai
43
"He he he... Rupanya kau punya simpanan juga. Gembel!" dengus Ki Jayakrama seraya terkekeh
Gota hanya mendengus saja, lalu kembali bersiap siap menerima serangan laki-laki tua itu. Sebentar kemudian. Ki Jayakrama kembali menyerang mengguna-kan jurus-jurus yang cepat dan berbahaya. Namun tanpa diduga sama sekafi, Goto mampu mengimbangi-nya dengan gesit pula. Tentu saja hal ini membuat Ki Jayakrama tercengang, sekaligus penasarart
Seorang gembel kotor kurus kering, mampu mela-yaninya sampai sepuluh jurus lebih. Hal ini tidak per-nah terpikirkan olehnya selama ini. Makanya Ki Jayakrama semakin memperhebat serangan-serangannya. Dan saat mulai dikeluarkan satu jurus andalan, Gota sudah kelihatan kewalahan menghadapinya. Lebih -lebih lagi ketika satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang dl dada Gota. Akibatnya, pemuda gembel itu kini tidak bisa lagi mengendallkan dirinya.
"Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Gembel!" Ki Jayakrama tertawa terbahak-bahak kegirangan.
Buk! Buk!
Dua kali pukulan bersarang di tubuh Gota. dan membuatnya terhuyung-huyung ke belakang Pada saat Itu. Ki Jayakrama menjentikkan jarinya tiga kali. Seketika empat orang yang menyertainya langsung meiompat sambil mengibaskan golok ke arah si Gembel Itu. Tapi rupanya Gota masih alot Juga. bahkan berhasil menghindari gc4ok-goiok yang mengancam tubuhnya. Namun satu tendangan keras membuat tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang
44
tombak.
"Hoek..!" Gota memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Pemuda gembel itu berusaha bangkit Namun. satu pukulan bertenaga dalam cukup tinggi kembali menghajar dadanya. Pemuda gembel itu kembali terpental. Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga turn bang. Dan pada saat tubuhnya mengge-letak. satu Wlatan golok berkelebat cepat ke arah lehernya.
"Dewata Yang Agung... matilah aku kali keluh Gota seraya memejamkan matanya.
Golok salah seorang anak buah Ki Jayakrama. begitu cepat berkelebat Dan yang pasti, Gota tidak mampu lagi menghindarinya. Namun pada saat yang kritis Itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh pemuda gembel itu, sambil me-nyentil golok yang hampir menebas leher Gota.
"Akh!" orang itu terpekik tertahan, tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Semua orang yang berada di tempat Itu. jadi tercengang. Seperti hantu saja. bayangan putih itu melesat cepat bagai kil.u membawa pergi si Gembel. Terlebih lagi, Ki Jayakrama yang Jadi bengong sehingga tidak bisa berbuat sesuatu. Namun ketika disadari. maka diperintahkanlah seluruh anak buahnya untuk mengejar.
"Kejar! Bunuh mereka...!" seru Ki Jayakrama keras.
Semua anak buahnya segera berlompatan menge-
45
Jar bayangan putih yang membawa kabur si Gembel Tapi usaha mereka Jelas stasia Bayangan itu sudah lenyap, dan tidak Jelas lagi arah kepergiannya. Ki Jayakrama bersungut-sungut kesal. Orang yang sela-ma H ingin cSenyapkan. masih bisa lolos pada saat kematiannya sudah di ambang pintu
"Setan keparat! Siapa yang menolongnya...?'' dengus Ki Jayakrama kesal
Kekesalan Kl Jayakrama terbawa sampai ke rumah. Dipa Sentana benar benar tidak mengerti ter-hadap tingkah gurunya Itu Semua anak buahnya kena semprot, mesklpun tidak melakukan kesalahan Kl Jayakrama benar-benar kesal Orang yang selama ini ingin dimusnahkan. bisa lolos setelah tidak berdaya lag! Bahkan tinggaJ seujung kuku lag! nyawanya pasti terengguL
"Apa yang membuatmu kesal, Ki?" tanya Dipa Sentana setelah mefihat Ki Jayakrama agak tenang, duduk di bangku taman belakang,
"Anak Itu!" rungut Ki Jayakrama masih dihtnggapi kekesalan.
"Siapa?" tanya Dipa Sentana tidak mengerti "Gembel Itu!"
Dipa Sentana baru mengerti kalau kekesalan Kl Jayakrama cttsebabkan gagal membunuh Gota. Di-langkahkan kakinya menghampiri Kl Jayakrama, lalu duduk di sebelahnya. Matanya terus merayapi wajah
46
tua yang memerah menahan kekesalan hatinya.
'"Kau sudah menemukannya, Ki?" tanya Dipa Sentana lagi
"Sudah. tapi lolos!" masih bemada sengit jawaban Kl Jayakrama.
"Lolos...?" Dipa Sentana terheran-heran men dengamya. Rasanya mustahkl kalau si Gembel itu bisa lolos dari tangan laki-laki tua yang memtbki tingkat kepandalan tinggi Ini Dipa Sentana menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua di sebelahnya
"Dipa! anak itu! Dia bisa Jad penghalang semua tujuan kita!" kata Kl Jayakrama seraya memafingkan mukanya menatap pada Dipa Sentana.
"Aku tidak mengerti yang kau maksud, Ki." kata Dipa Sentana dengan alts bertaut menjacfi satu.
"Huh! Kau benar-benar bodoh. Dipa! Apa sih un-tungnya memperhatikan anak itu? Berrjndakiah yang tegas, Dipa. Anak Itu sudah be rani mencampuri urusan kita! Bahkan terang-terangan membela si Gembel Itu!" rungut Ki Jayakrama.
"Puspa Ningrum, maksudmu?" tebak Dipa Sentana.
"Siapa lagi yang kau anggap adik. hen?!"
Dipa Sentana terdiam Tidak disangka kalau kekesalan hati Kl Jayakrama juga cfcsebabkan Puspa Ningrum. Memang sudah cbduga kalau Puspa Ningrum Juga dapat menemukan Gota. dan menghalangi maksud Ki Jayakrama untuk membunuhnya. Tapi Dipa Sentana Juga tidak percaya begitu saja. Dia kenal betul Ki
47
Jayakrama, yang mcrupakan seorang tokoh berilmu tinggi. Slkapnya, tidak pemah memandang saudara atau kerabat untuk meraih semua keinginannya.
Rasanya tidak masuk akal kalau Kl Jayakrama mengalah begitu saja kepada Puspa Ningrum. Teriebih lagi, gadis itu menghalangi maksudnya untuk membunuh Gota. Sejak usia lima belas tahun Dipa Sentana selalu mengikuti Ki Jayakrama, dan tahu betul watak laki-laki tua ini Baginya membunuh manusia sama saja dengan menyembelih ayam!
"Dipa! Kau boleh-boJeh saja membalas budi. tapi jangan sampai menyuHtkan dirimu sendiri. Sejak semu-la aku tidak setuju kalau anak Itu ada di sini. Sekarang sudah terbukrJ kalau dia jadi penghalang besar bagimu! Kau harus ingat dta-clta ayahmu, dan janjimu sendiri o*3 hadapan pusara ayahmu!" jelas Kl Jayakrama tanpa member! kesempatan Dipa Sentana untuk membuka mulut
Kepala Desa Watu Gayam Itu hanya berdiam din saja. Sedikit pun tidak ada keberanlan untuk memban-tah setiap kata yang dikeluarkan laki-laki tua ml Kalau bukan karena Ki Jayakrama, mungkin dirinya sudah tidak ada lagi di dunia. Kalaupun masih hldup, pasti nasibnya jauh lebih buruk lagi daripada Gota sekarang ini Di lain pihak. dirinya juga tidak setuju kalau harus menyingkirkan Puspa Ningrum. Biar bagalmanapun dia tetap sayang pada adiknya. Di samping itu pula. dia pun harus selalu pa run pada Ki Jayakrama, mes-kipun hidup laki-laki tua itu selalu bergelfmang noda dan darah. Dipa Sentana Bdak akan pemah melu-
48
pakan jasa baik seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut
"Apa yang kau plkirkan, Dipa?" tegur Ki Jayakrama meiihat Dipa Sentana hanya diam tertunduk
'Tidak ada," sahut Dipa Sentana mendesah sera-ya mengangkat kepalanya.
"Dipa, urusan Puspa Ningrum adalah urusanmu. Aku tidak ingin mencampuri, meskJpun dia telah lan-cang mencampuri urusanku Hanya satu yang kuingin-kan, kau harus tegas melarang adlkmu keluar rumah sebehim kubereskan si Gembel itu!" tegas kata-kata Ki Jayakrama.
"Tidak mungkin, Kl Dia juga punya hak tf rumah ini Bahkan..."
"Dipa!" sen tak Ki Jayakrama keras, memotong ucapan Dipa Sentana.
"Kl..., selama ini selalu kuturuti dan kuhormati ke-beradaanmu. Karena kau adalah guruku, sekaBgus ayah angkatku. Tapi untuk yang satu ini.... Rasanya sukar sekali, Kl," kata Dipa Sentana seraya meng-geleng-gelengkan kepalanya,
"Aku tidak peduli dengan segala macam alasan-mu, Dipa. Tujuan kita tidak boleh putus di tengah jalan. Kau mengerti itu, Dipa!" agak keras nada suara Kl Jayakrama.
Dipa Sentana terdlam.
Ki Jayakrama bangkit berdiri begitu matanya meiihat Puspa Ningrum melangkah menghampiri. Gadis Itu menatap tidak senang pada Ki Jayakrama, namun tetap menghampiri tempat itu. Sedangkan tanpa
49
berkata-kata lagi. Kl Jayakrama beriahj meninggalkan taman belakang Ini. Puspa Ningrum memandang) kepergian laki-laki tua itu, kemudian duduk dl samping kakaknya
"Dari mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana ber-usaha tersenyum. Namun senyum itu terasa a mat di-paksakan. dan getir sekaH
"Jalan jalan." sahut Puspa Ningrum menatap wajah laki-laki setengah baya di samptngnya "Ada apa. Kakang? KeHhatannya kusut sekaii "
"Tidak ada apa-apa," sahut Dipa Sentana sera ya mendesah panjang. Dia bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan mendekati kolam. di tengah-tengah taman Ini.
Puspa Ningrum memandangi laki-laki yang selalu dianggap sebagal kakak satu-satunya. Dirasakan kalau ada sesuatu dl dalam diri Dipa Sentana. Tadi sempat difihatnya pandangan mata Kl Jayakrama. yang menyi ratkan begitu banyak misteri yang terkandung dl da lamnya Puspa Ningrum lkut bangkit dan melangkah mengikutJ Dipa Sentana yang sudah sampai cfi tepi kolam
50
4
Malam Ini Puspa Ningrum tampak gefisah di kamamya yang besar dan cukup indah. Sudah larut malam, tapi gadis itu beium da pat bdur juga. Meme jamkan mata sa>a rasanya sulit Dia berjalan mondar-mandrr di dalam kamamya. Maksudnya datang ke sini sebenamya untuk mencari ketenangan setelah ibunya meninggal dunia. Semua kenangan di Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan ingin cfilupakan-nya.
Malam terus merayap semakin larut Namun Puspa Ningrum masih juga belum bisa tenang. Sejak berada dl Desa Watu Gayam ini, sudah beberapa kali ditemukan persoalan yang dirasakan begitu janggal Dia juga tidak mengerti akan sikap kakaknya yang melarangnya keluar dari rumah dalam beberapa hari ini Pikirannya terpaut pada pemuda kurus kering yang dijuluki si Gembel
Entah mengapa, Puspa Ningrum merasakan ada sesuatu setiap kafi menatap mata pemuda yang berrubuh kurus kering itu Puspa Ningrum melangkah menghampiri jendela, dan membukanya lebar lebar Angln malam yang cBngin. langsung menerpa wajahnya begitu jendela kamar itu terbuka lebar. Sambil berdiri mematung, dipandanglnya bulan penuh yang
51
bergelayut dl langit keiam PiWrannya kembali tertuju pada Gota.
"Gota..." desah Puspa Ningrum tanpa sadar.
Puspa Ningrum menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam mele-sat masuk melalui jendela. Puspa Ningrum terkejut setengah marl, sampai-sampai terpekik tertahan. Tapi bayangan hitam itu lebih cepat lagi bergerak menotok jalan darah gadis itu. sebeium Puspa Ningrum sempat melakukan sesuatu.
"Oh...," Puspa Ningrum langsung jatuh lunglal ke fental kamamya.
Hanya sesaat dia bisa meiihat orang berbaju serba hitam yang wajahnya juga terbungkus kaln hitam. Hanya kilatan cahaya matanya saja teriihat Sesaat kemudian, gadis Itu sudah tidak sadarkan
"Puspa...! Puspa Ningrum...1"
Tiba-tiba saja terdengar panggilan keras, dtsertai gedoran pintu. Panggilan itu terdengar berulang-ulang, dan gedoran di pintu juga semakin keras. Orang berbaju serba hitam itu agak kebingungan, namun dengan cepat dipondongnya tubuh Puspa Ningrum. Tepat ketika pintu kamar itu didobrak dari luar. tubuh berbaju hitam itu mencelal lewat jendela membawa gadis itu dalam pondongannya ke luar.
"Puspa...!"
Dipa Sentana menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan, dan langsung beriari ke arah jendela. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah lenyap bagai terbenam pekatnya malam. Dipa Sentana segera
52
melompati jendela Itu, dan beriari cepat menerobos malam yang pekat dan dingin. Dia berhenti begitu tiba di batas pagar baru yang tinggi
Dipa Sentana memandangi tembok yang men-julang tinggi. kokoh menantang di depannya Pada saat Itu, Ki Jayakrama dan enam orang anak buahnya datang menghampiri sambil beriarf-lari. Ki Jayakrama cepat melentingkan tubuhnya ke atas tembok, dan berdiri tegak di bibir tembok yang tebal itu. Sebentar cBayangkan pandangannya ke sekeliling luar tembok itu, kemudian meiompat turun dengan indahnya. Tanpa bersuara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat di depan Dipa Sentana.
"Ada yang mencuHk Puspa Ningrum...," ucap Dipa Sentana pelan.
"Aku dengar ribut-ribut tadi." kata Ki Jayakrama.
"Aku terlambat, Ki."
"Sudahiah! Besok lata cari," kata Ki Jayakrama seraya mengajak Dipa Sentana pergi
Namun Dipa Sentana menyentakkan tangan laki-laki tua Itu. Ki Jayakrama menatap tajam pada mu-ridnya In), namun dibalas tidak kalah tajam pula oleh Dipa Sentana. Sesaat mereka saling menatap tajam.
"Aku harus mencarinya malam ini juga! Tidak ada seorang pun yang boieh mencelakakannya!" tegas Dipa Sentana. Agak keras suaranya.
"Dipa, ini sudah tengah malam," Ki Jayakrama mencoba mencegah
"Aku tidak peduli!" seru Dipa Sentana seraya me-lesat cepat ke atas.
53
Hanya sekali kxnpatan sa)a, lakilaki setengah baya namun masih kefihatan gagah itu, sudah melewati bibir tembok yang tinggi dan tebal. Tubuhnya kemu-dian meluruk ianpa menyentuh tembok itu. Kl Jayakrama memerintahkan anak buahnya untuk menyusul, sedangkan ctia senctiri bergegas kembaB kc rumah be-sar yang sebagian sudah gelap tanpa penerangan sedlkit pun. Tampa k )endela kamar Puspa Ningrum maslh terbuka lebar.
Ki Jayakrama tidak masuk ke da lam rumah itu, tapi segera menyerukan kepada sebagian besar anak buahnya untuk mengejar Dipa Sentana dan mem-bawanya kembali pulang. Sama sekali lidak dising-gung-anggung teniang penculikan Puspa Ningrum, tap! hanya ditekankan agar membawa pulang Dipa Sentana sa)a. Sekitar dua puhih orang anak buahnya langsung bergerak dengan menggunakan kuda ma lam itu Juga. Kl Jayakrama baru masuk ke dalam rumah setelah dua puhih orang anak buahnya menlnggalkan halaman rumah besar itu.
•**
Malam yang gelap dan dingin seperti ini, blasanya orang enggan untuk berada di luar rumah. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang yang memakal baju serba hitam Orang itu bertari cepal bagal angin Di pundaknya tersandang sesosok tubuh ramping yang tidak sadarkan din. Orang yang seiuruh tubuhnya mengenakan baju hitam itu, terus bertari masuk ke
54
dalam hulan.
Orang itu baru berhenrj berlari setelah sampai di sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Diturunkan tubuh ramping di pundaknya dengan kasar. Sosok tubuh berbaju biru muda itu menggehmpang jatuh kc tanah. Tampak wajahnya yang cantik bagai (ertidur pulas. Orang itu membuka kedoknya yang terbuat dari kain hitam. Tampak wajahnya yang kasar dan penuh brewok itu.
"Ha ha ha...! Tidak terlalu sukar membawamu ke sini. Anak Manis," ucap orang yang telah membuka kedoknya itu.
Orang itu, melangkah menghampiri tubuh ramping yang tergek-tak di tanah tidak sadarkan dm Diamati wajah cantik itu dengan bola mala berblnar. Lidahnya menjulur, menjilati bibimya yang tebal
'Tidak kusangka, kau begini cantik...," desah laki-laki berwajah kasar itu.
Pelahan lahan dia beriutut di samping wanita yang temyata adalah Puspa Ningrum. Tangannya menjulur meraba wajah yang berkullt halus itu. Tangannya agak gemetar begitu menyentuh kulil halus pada leher yang Jenjang. Pelahan-lahan jari-Jari tangannya merayap menyentuh dada yang membusung indah terbungkus baju biru muda.
"Kau cantik sekali! Sayang sekali jika dilewalkan begitu saja," gumam lakl-laki Itu.
Dengan tangan agak gemetar, dicobanya untuk membuka sabuk perak yang melilit pinggang Puspa Ningrum. terkejut, karena sabuk itu sukar
55
cfflepaskan Wajahnya jadi menegang, dan matanya liar menatap raut wajah cantik yang masih juga befum sadarkan diri. "Hih!"
Laki-laki berwajah penuh brewok itu, menotok bagian leher. Seketika itu juga Puspa Ningrum lerba-ngun dari kebdaksadarannya. Gadis itu terkejut begitu mefihat seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok berada cH dekatnya. Lebih terkejut lagi saat dlkenalinya orang itu.
"Paman Kumbana! Apa yang kau lakukan di sinl?" sentak Puspa Ningrum sambil berusaha menggelinjang.
Namun gadis itu jadi terkejut setengah mati. Seluruh tubuhnya terasa kaku, sukar digerakkan. Puspa Ningrum menyadari kalau telah terkena totokan yang melumpuhkan tubuhnya. Masih diingatnya keja-dian yang menyebabkannya berada dl sini bersama seorang laki-laki yang dlkenalnya.
"Kau masih ingat aku rupanya, Puspa Ningrum. Tidak kusangka, kau tumbuh men jadi seorang gadis cantik menggiurkan. He he he...," laki-laki yang dikenali Puspa Ningrum bemama Kumbana itu ter-kekeh. Matanya bar m era ya pi wajah gadis Itu.
Puspa Ningrum bergidik juga mendengamya Dia tahu betul siapa Paman Kumbana Ini. Seorang laki-laki berwajah menyeramkan, penuh brewok, dan ada luka codet memanjang mem be la h ptpi kanannya. Luka itu yang membuat wajahnya semakin menyeramkan. Gadis itu ingat Luka di wajah laki-laki itu dibuat oleh gurunya ketika Kumbana Ingin membawa paksa diri
56
Puspa Ningrum dan Ibunya dari Padepokan Tapak Wisa.
Sebenamya dulu Kumbana adalah abdl setia ayah dari Dipa Sentana. Dia memisahkan diri, lalu mem-bentuk kekuatan baru. Setelah kekuatannya kuat dia memberontak. meruntuhkan kekuasaan ayah dari Dipa Sentana dl Desa Watu Gayam. Dulu desa itu sebuah kadipaten yang tidak begitu besar. Tapi karena runtuh akibat perang saudara dan banyaknya kekacauan yang terjadi, akibatnya sehiruh penduduk meninggalkan tempat Itu. Dan sampai sekarang di tempat itu tinggal segefintir orang saja yang masih bertahan. Dipa Sentana kemudian membangun kembali bekas kadipaten itu menjadi sebuah desa. Semua itu diketahui Puspa Ningrum dari cerita guru maupun Ibunya yang selalu mendampingi di Padepokan Tapak Wisa.
'Paman! Apa yang kau lakukaa..?" sentak Puspa Ningrum terbangun dari lamunannya.
Gadis itu berusaha menggefinjang ketika tangan Kumbana berusaha menyenruh dadanya, tapi seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagL Jari-jari tangan Kumbana yang kasar, merayapJ da da yang mem-bukit indah itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumbana!" bentak Puspa Ningrum, merah padam wajahnya. Tidak ada lagi rasa hormat pada laki-laki berhati binatang itu.
"He he he.... Kau tidak akan bisa membunuhku, Puspa Ningrum. Kau Dhat in!...!" Kumbana menunjuk-kan luka codet di pipi kanannya.
Puspa Ningrum bergidik meiihat luka memanjang
57
membelah pipi kanan laki-laki itu.
"Sebentar lagi akan datang seseorang yang sangat mcmbutuhkanmu Tap! kau pun tak akan kukpaskan begitu saja, tanpa.... He he he..." Kumbana terkekeh menyeringai. menambah seram wajahnya.
Lepaskan aku!" bentak Puspa Ningrum bergerak ketakutan. Sudah btsa ditebak, apa yang akan dilakukan Kumbana pada dirinya.
Puspa Ningrum berusaha memberontak melepas-kan totokan di tubuhnya. Tapi totokan itu demHdan kuaL Bahkan hawa mumi di dalam tubuhnya juga tidak mampu membebaskannya. Sementara Kumbana dengan leluasa menggerayangi tubuh gadis itu. Napasnya mendengus bagai kuda yang dipacu cepat Liurnya hampir menetes, merayapi tubuh gadis itu.
"Bajingan! Keparat...! Kubunuh kau, Kumbana!" maki Puspa Ningrum sambil menghindari serangan d-uman laki-laki itu pacla wajahnya.
Tapi Kumbana tidak lagi peduli. Dengan kasar dl-renggutnya baju gadis itu, sehingga bagjan tubuh yang berkulit putth menyembul keluar. Bola mata Kumbana membellak lebar mendaparJ bagian dada yang membu-kit indah terbuka lebar.
"Setan! Keparat...!" maki Puspa Ningrum berang.
"Kau tidak akan btsa lepas dariku malam inl, Manis," desah Kumbana di sela napasnya yang memburu.
Hampir serak Puspa Ningrum memaki, tapi Kumbana benar-benar sudah kerasukan setan. Tidak dfpe-dulikan lagi jeritan dan makian gadis itu. Puspa
58
Ningrum terus memaki dan menjerit-jerit berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki berhati iblis Hu. Tapi usahanya hanya sia-sia saja. Makian dan je-ritannya bagaikan satu alunan nyanyian merdu di tefinga Kumbana.
Namun ketika seluruh penutup tubuh Puspa Ningrum hampir terbuka, mendadak saja tubuh Kumbana mencelat ke atas, dan jatuh keras ke tanah. Belum sempat disadari apa yang terjadi, Puspa Ningrum merasakan adanya beberapa totokan di tubuhnya. Saat Itu juga cfirasakan tubuhnya bisa digerakkan lagi dengan bebas. Gacfis Hu bergegas mengenakan kern-baH pakalannya walaupun sudah bdak sempuma lagi. Buru-buru dia bangkit berdiri.
"Setan belang! Slapa yang berani mencampuri urusanku, heh?!" bentak Kumbana gerarn, seraya bangkit berdiri.
"Aku!" terdengar sahutan dari belakang Kumbana.
Laki-laki codet itu, langsung berbalik Dia men-deHk melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh darinya. Pemuda Itu berbaju rompi putih, tengah berdiri membelakangi Puspa Ningrum, seakan-akan sengaja meBndungfnya.
"Keparat' Apa kau sudah bosan hldup, bocah?!" bentak Kumbana geram.
"Asal tahu saja, aku paling tidak suka melihat ibiis berkedok manusia macam kau!" tajam sekali kata-kata pemuda itu.
"Setan alas! Berani kau berkata begitu, heh?!
59
Bocah...! Sebutkan namamu sebelum kukirim ke ne-raka!•,
"Namaku tidak ada artinya bagimu. Iblis!"
"Babi buntung! KadaL...!" maki Kumbana geram.
Tanpa mempedulikan siapa sesungguhnya pemuda berbaju rompi putih itu, langsung dlcabut senjatanya yang mirip golok penjaga! hewan. Golok yang keli-hatan berat Itu. terayun mengarah ke kepala pemuda Itu. Ayunannya begitu kuat, sehingga menimbulkan tiupan angin Vang sangat keras.
"Uts!"
Pemuda berbaju rompi itu meiompat ke belakang dua tindak. Tebasan golok besar Kumbana hanya me-nyambar angin saja. Dan pada saat itu, kakJ kanan pemuda itu melayang menghajar pergelangan tangan Kumbana yang memegang senjata.
"Akh!" Kumbana memekik tertahan.
Buru-buru ditan*k mundur tubuhnya beberapa tindak, sambil meringis merasakan sakii pada pergelangan tangannya. Sebentar diurut-urut pergelangan tangan kanannya, kemudian dlayun-ayunkan goloknya di atas kepala. Suara angin menderu-deru bagai hendak terjadl badal topan yang sangat dahsyat. Daun-daun berguguran lertiup angin yang ditimbulkan oleh putaran golok besar itu.
"Hebat! Ayam kampung bisa man kaku meiihat golokmu, setan tua!" ejek pemuda itu tersenyum sinis.
"Kadal buduk!" umpat Kumbana marah.
60
Kumbana benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan kekuatan penuh, diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang selalu mengejek sehingga darahnya mendidih. Dengan ayu nan goloknya yang besar, diserangnya pemuda itu. Namun setiap serangannya selalu dapat dihindari dengan manis. Bahkan satu dua pukulan bersarang di tubuh laki-laki berwajah codet itu.
Sementara dari jarak yang cukup jauh, Puspa Ningrum memperhatikan saja pertarungan itu. Dia beham ingin terjun dalam pertempuran, meskjpun hatinya terbakar a marah akibat kekurangajaran Kumbana padanya. Pantang baginya untuk mengeroyok seseorang dalam pertempuran. Gurunya tidak pernah mengajarkan untuk berlaku curang meskipun dalam keadaan diliputi kemarahan
Pertempuran antara Kumbana melawan pemuda berbaju rompi putih, masih lerus berlangsung sengit. Entah sudah berapa puluh Jurus dimalnkan Kumbana, tapi belum ada satu serangan pun yang berhasil me-ngenai sasaran Sementara sudah tidak terhltung lagi pukulan dan tendangan pemuda Itu mendarat di tubuhnya. Meiihat pemuda berbaju rompi putih itu se-akan-akan sengaja memperlambat pertempuran. Puspa Ningrum Jadi tidak sabaran.
"Persetan!" geram Puspa Ningrum langsung meiompat masuk dalam pertempuran itu. "Hiyaaat..!"
Kumbana jadi kelabakan begitu pukulan Puspa Ningrum hampir bersarang di kepalanya. Laki-laki berwajah kasar itu langsung meiompat mundur. tapi
61
Puspa Ningrum terus mendesak sambtl mengirimkan pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga dalam cu-kup tinggi. Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih tidak lagi bergerak Sambil berdiri, perhatiannya tak lepas ke arah pertempuran itu dari jarak yang bdak seberapa jauh. Sret!
Puspa Ningrum melepas sabuknya yang berwama keperakan. Dipegangnya sabuk itu pada bagjan kepala yang berbentuk kepala seekor macan. Dengan sekali kebut saja, sabuk itu menegang kaku dan berubah jad) sebilah pedang tipis berwama keperakan. Dengan senjata andalannya ini, Puspa Ningrum semakin dah-syat mencecar Kumbana. Tidak ada lagi kesempatan diberikan pada laki-laki itu untuk mengambil napas dan balas menyerang.
"Mampus kau, hiyaaaL..!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Puspa Ningrum mengibaskan senjatanya ke arah leher. Namun Kumbana gesit sekali menyampok dengan goloknya.
Tring!
Begitu dua senjata beradu, Puspa Ningrum meng-gunakan tenaga lawannya untuk memutar senjatanya. Langsung saja dia berkelebat merobek dada Kumbana. Satu gerakan tipuan yang tidak terduga sama sekaK, membuat Kumbana terpekik dan terhuyung. Darah se-gar mengucur deras dari dadanya yang sobek cukup panjang dan dalam.
"Htyaaa...!"
Puspa Ningrum yang tidak lagi memberi kesem-
62
patan, segera melompat sambil berteriak keras Senjatanya dikebutkan ke arah leher. Pada saat itu, Kumbana berusaha merunduk Namun, gerakannya teriam-bat, karena seketika Itu juga senjata Puspa Ningrum lebih dulu menebas lehemya.
"Aaa...!" Kumbana menjerit melengking tinggi.
•¦Halt'"
Puspa Ningrum melayangkan satu tendangan keras mendupak dada Kumbana. Tubuh tinggi besar itu terjungkal ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Hanya sebentar Kumbana mampu berkelojotan, sesaat kemudlan cfiam tidak bergerak-gerak lagi. Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Puspa Ningrum melilitkan kembali sabuknya selelah dikebutkan untuk dilemaskan kembali.
"Ck ck ck..!"
"Eh...!" Puspa Ningrum tersentak kagel
Gadis itu baru sadar kalau di tempat ini masih ada
seorang yang telah menyelamatkan kehormatannya
dari maksud kotor Kumbana. Dia segera berbalik dan
berdiri terpaku menatap wajah tampan di depannya.
Sejenak Puspa Ningrum terpaku, sesaat kemudian di-
palingkan wajahnya ke arah lain.
'Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Puspa
Ningrum tan pa memandang pemuda berbaju rompi
putih ttu.
"Simpan saja rasa terima kasihmu itu, Puspa Ningrum," sahut pemuda itu.
"He...! Kau tahu namaku?" Puspa Ningrum ter-kejut, sampai-sampai harus menatap pemuda itu kembali
tentu. Karena kau yang kucari, dan kebetuian bertemu dl sinl," sahut pemuda Itu kalem.
"Hhh! Siapa kau?" Puspa Ningrum JacB curiga.
"Namaku Rangga," pemuda itu memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang betjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...," Puspa Ningrum bergumam pelan. Dirayapi seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih dl depannya, seolah-olah sedang menyelidiki pemuda yang mengaku bemama Rangga Iru
"Kenapa kau menatapku demikian?" tegur Rangga agak risih
"Sepertinya aku pemah mendengar namamu...," pelan suara Puspa Ningrum, hampir tidak terdengar. Dia seperti bicara dengan dirinya sendiri.
"Mungkin salah dengar. Sebab, baru kali ini aku bertemu denganmu. Dan kau tentunya juga demikian," kata Rangga tetap kalem.
"Memang, kita baru bertemu kali InL Tapi aku yakin pemah mendengar namamu," sahut Puspa Ningrum tetap pada pendinannya, tapi juga tengah mengjngat-ingat
"Ah, sudahlah. Se...," ucapan Rangga terputus se ketika.
Pendengaran Pendekar RajawaB Sakti itu tajam hoar biasa, karena dapat menangkap adanya satu gerakan halus mendekati tempat in). Tanpa berkata-kata lagi, Rangga langsung meiompat cepat bagalkan kilat menyambar tubuh gadis itu.
64
"Hey...!" Puspa Ningrum tersentak kaget.
Tapi Rangga cepat menyumpal mukitnya. Pendekar RajawaB SaktJ itu menjejakkan kakinya cB atas se batang dahan yang cukup tinggi dan teriindung oleh lebatnya dedaunan pohon itu. DUepaskan bekapannya pada mukit Puspa Ningrum.
"Kurang ajar...!" umpat Puspa Ningrum.
"Ssst..!" cepat-cepat Rangga memberi isyarat agar diam.
Puspa Ningrum ingin memald, tapi segera dV urungkaa Memang dia juga mendengar adanya lang-kah kakj beberapa orang yang mendekati tempat itu. Kedua tola matanya membefiak begitu dari ballk se-mak dan pepohonan yang m era pat di sekitar hutan ini, muncul beberapa orang Dan gadis Itu mengenalnya....
•••
DENDAM ANAK PENGEMIS

Rangga mencekal tangan Puspa Ningrum saat mefihat gelagat gadis itu akan melompat turun dari dahan pohon ini. Juga, buru-buru disumpal mulut gadis itu dengan menyilangkan jari telunjuk di bibir gadis itu yang mungil memerah. Puspa Ningrum menatap sejenak. lalu perhafiannya kembali beralih pada sebe-las orang yang berada di bawahnya.
Tampak salah seorang yang mengenakan Jubah biru tua dengan tongkat kepala ular di tangan, beriutut di samping mayat Kumbana, Tongkatnya dihentakkan riga kali ke tanah. Dia bangkit berdiri dan memandang sekitamya. Sementara sepuluh orang bersenjata golok terhunus, membentuk lingkaran yang cukup lebar. Sikap mereka berjaga-jaga.
"Hdak lama mereka berada di tempat itu, kemu-dian bergegas pergi terburu-buru. Jelas mereka meng-gunakan Umu meringankan tubuh, karena sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya hutan. Rangga baru melompat turun disusul Puspa Ningrum, dan mendarat manis di tanah. Puspa Ningrum memandangi arah ke-pergian sebelas orang tadi.
"Kau kenal mereka, Puspa?" tanya Rangga.
'Tentu," sahut Puspa Ningrum mendesah. seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Beberapa kaHmat memang teriontar dari mulut laki-laki tua berjubah biru tua tadi. Dan kata-kata itulah yang membuat Puspa Ningrum tidak percaya. Tapi se-muanya dilihat dan didengar jelas. Dia sadar, dan tidak sedang bermimpi saat ini.
"Sebalknya kita cepat tinggalkan tempat ini, Puspa," ajak Rangga.
Puspa Ningrum tidak segera menyahuti, tapi ma-lah menatap dalam-dalam pada Pendekar RajawaB Saktj itu. Sorot matanya seperti sedang memlnta pen-jelasan tentang apa yang baru dilihat dan didengamya barusan. Rangga mendekari dan menyentuh lembut pundak gadis itu. Dengan lembut pula diajaknya gadis itu untuk segera pergi.
"Apa artinya semua Ini. Rangga?" tanya Puspa Ningrum sambil berjalan pelahan di samping Pendekar Rajawab Sakrj itu.
"Kenapa kau tanyakan itu padaku?" Rangga ma-lah balik bertanya.
"Kau aba-tiba muncul dan menolongku. Mustahil kalau berada di sini hanya secara kebetulan. Lagi pula kau tadi mengatakan memang sengaja mencariku!" kata Puspa Ningrum, jelas bemada curiga.
"Kau cerdik sekali, Puspa," puji Rangga tulus.
"Aku tidak buruh pujian, tapi butuh penjelasan," sentak Puspa Ningrum.
'Penjelasan apa?" tanya Rangga seenaknya.
"Jangan berpura-pura, Rangga. Apa maksudmu mencariku?" desak Puspa Ningrum.
"Ada seseorang yang memintaku untuk membawamu kcpadanya," sahut Rangga kalem. "Seseorang..!? Siapa?"
"Sayang sekali, dia tidak suka kalau aku menga-takannya. Dia ingin agar kau sendiri yang menge-tahuJnya."
"Sepertinya kau bukan orang bayaran. Dan lag) memang aku tidak percaya kalau kau dlbayar sese-orang hanya untuk mencariku tanpa atasan pasti!" dengus Puspa Ningrum sambil bergumam.
Rangga tersenyum getfr. Benar-benar pa tut dipuji kecerdlkan gadis Ini. Tap* dia sudah Janji untuk tidak mengatakan apa pun pada gadis ini, dan hanya untuk membawa Puspa Ningrum dengan selamaL Hanya Itu saja!
"Di mana dia menungguku?" tanya Puspa Ning-rum, merasa tidak mungkin bisa mendesak Pendekar Rajawab Sakti itu. jauh dari sini," sahut Rangga.
"Kau bdak bermaksud buruk padaku, bukan?" sefldlk Puspa Ningrum.
Rangga hanya tertawa saja, tawanya begitu lepas, dan terdengar renyah di telinga Namun Puspa Ningrum jadi bersungut Dirinya merasa dipermalnkan, tap* jadi penasaran juga. Ingin diketahul, siapa yang me-nunggunya, dan apa maksudnya Ingin bertemu dengannya
"Kalau tidak salah, kau katakan tadi pemah men-dengar namaku. Kalau tahu siapa aku, pasti kau tidak punya pikiran buruk terhadapku," kata Rangga setelah reda tawanya.
68
Puspa Ningrum terdiam Memang pemah dide-ngamya nama itu. Tapi.... Mendadak gadis itu tersen-tak. Langsung saja langkahnya tern en rl DHatapnya dalam-dalam wajah pemuda itu yang ikut berhenti berjalan. Hampir-hampir tidak percaya kalau sekarang ini dia tengah berjalan dengan seorang tokoh rimba persilatan yang begitu temama dan menjadi buah bibir di mana-mana.
Gadis itu baru ingat. Gurunya. yang be ma ma Eyang Lenteng, sering bercerita tentang sepak terjang orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan ber-nama asti Rangga Pari Permadi. Eyang Lenteng sering mengatakan padanya kalau tindakan dan tingkah laku Pendekar Rajawali Sakti patut jadi tela dan bagi pen dekar-pendekar lainnya di muka bumi ini Puspa Ningrum hampir tidak percaya, kalau orang yang disegani seluruh tokoh rimba persilatan, temyata masih muda dan begitu tampan.
"Apa yang kau pikirkan, Puspa?" tegur Rangga lembut
"Oh...!" Puspa Ningrum tersentak dari lamunanya.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Rangga.
Mereka kembali melangkah menembus hutan yang semakin lebat. Sementara ma lam terus merambat semakin larut. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, sehlngga harus hati-hati melangkah agar tidak tersangkut akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Maaf, seharusnya aku tidak bersikap ketus padamu." ucap Puspa Ningrum setelah cukup lama ter-dam
"Lupakan saja," sahut Rangga kalem Puspa Ningrum memandangi mulut goa yang ter-pampang di depannya. Kedua bola matanya tiba-tiba membehak tak berke-dip meiihat seorang lakllak) kurus kering telah berdiri di depan mulut goa Itu. Sebentar tatapannya t era rah ke depan, sebentar kemudian beraBh pada Pendekar RajawaB Sakti di sampingnya. Sementara laki-laki bertubuh kurus kering dan berbaju compang -camping itu, menghampiri-
"Terima kaslh atas kedatanganmu ke sini, Puspa," ucap laki-laki muda bertubuh kurus kering itu
"Gota...," hanya itu yang bisa terucapkan Puspa Ningrum.
"Mungkin kau sangka, aku sudah tewas di tangan Kl Jayakrama dan orang-orangnya. Kalau saja Pendekar RajawaB sakti ini tidak menyelamatkan nyawaku, entah apa Jadlnya," kata Gota seraya melirik Rangga.
"Hanya kebetuian saja," ucap Rangga merendah.
"Memang, aku yakin kau bisa selamat, Gota Kakang Dipa pun mengatakannya padaku," kata Puspa Ningrum.
"Balk sekail dia." agak sinis nada suara Gota. "Gota. apa maksudmu ingin bertemu denganku?" tanya Puspa Ningrum langsung pada pokok persoalannya
Gota bdak segera menjawab. tapi malah matrik Rangga yang masih berdiri di samping Puspa Ningrum. Rangga. mengerti, dan segera menyingkir.
"Aku ada di dalam jika kalian membutuhkanku," pesan Rangga sambil terus melangkah mendekati goa.
Gota menggamlt lengan gadis Itu, kemudian mengajaknya duduk cB bawah sebatang pchon kemu-nlng. Mereka masih berdiam diri dan saBng pandang saja, meskipun sudah cukup lama Rangga menlnggal-kan tempat Itu. Maslng-masing membisu. tanpa ada yang bicara sedikit pun.
"Kau mengundangku ke sini bukan untuk jacfl pa-tung. bukan?" tegur Puspa Ntngrum jengah
"Maaf." ucap Gota buru buru
"Apa maksudmu sebenamya, Gota?" tanya Puspa Ningrum tegas. Dia bdak ingin hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba menggayut di hatinya. Perasaan aneh yang behim pemah dirasakan sebelumnya
"Puspa, sebenamya ha) ini tidak boleh ku kata kan padamu Tapi Juga bdak mungkin kupendam terus-menerus, sementara Dipa Sentana dan Kl Jayakrama ma kin menJadijacB saja." kata Gota pelan dan terdengar berat nada suaranya.
"Gota. Aku tidak tahu, persoalan apakah yang terjadt antara kau dengan kakakku. Sebenamya aku tidak Ingin terlibat. tapi...," Puspa Ningrum menghen-tlkan kata ka tanya, dan langsung teringat ucapan Ki Jayakrama dl depan mayat Kumbana.
'Puspa! Ingatkah kau ketika kau sebutkan namamu dan nama kedua orang tuamu pada gunjku?" tanya Gota mengingatkan.
"Ki Tunggui, maksudmu? Ya aku ingat," Puspa Ningrum mengangguk pasti.
"Sebenamya Kl Tunggui tidak bermaksud meng-hinamu. Dia tertawa karena mendengar keteranganmu yang menyebutkan nama Para dipa dan Wulandari se-bagai kedua orang tuamu," kata Gota tan pa bermaksud menyinggung perasaan gadis ini.
"Aku mengatakan yang sebenamya!" sentak Puspa Ningrum agak tersinggung juga
"Aku tahu, Puspa. Memang, kau mengatakan yang sebenamya. Tapi tidak demlklan bagi Ki Tunggui Dan aku sendrri sebenamya...."
"Kau juga menertawakanku, Gota?" potong Puspa Ningrum cepat.
'Tidak," sahut Gota tegas. "Justru aku merasa iba padamu."
"Kau jangan main-main, Gota!" sentak Puspa Ningrum. Mendadak perasaannya jadi tidak enak.
"Aku tidak main-main, Puspa. Aku sungguh-sungguh iba padamu, dan ingin mengemballkan dirimu yang sesungguhnya. Tidak ada maksud buruk terselip di hatiku," terdengar serius nada suara Goto kali ini.
Puspa Ningrum terdiam. Perasaannya semakin tidak menentu. Teriebih lagi mendengar nada suara Goto yang begitu serius. Selama Ini kehidupannya memang selaru dalam lingkungan padepokan yang tertutup dan terpencil, sehingga yang dlkenali hanya wajah Ibunya. Sejak kecil dia tidak pemah melihat
72
wajah ayahnya, meskipun sering mendengar nama ayahnya cfisebut-sebut
"Puspa, apakah kau tidak pemah mendengar atau meminto fbumu menceritekan perihal ayahmu?" tanya Goto.
"Sering," sahut Puspa Ningrum pelan.
"Kau mempercayai semua ceritonya?"
Puspa Ningrum tidak menjawab, tapi hanya menatap tajam pada laki-laki yang kelihatan baru berusia sekttor dua puluh tehun ini. Wajahnya yang kurus dengan mata cekung ke dalam, membuat tompang Goto jauh lebih tua.
"Aku tohu siapa Eyang Lenteng. Kami sering ber-temu dan berbicara di luar padepokan. Sebenamya dia juga iba padamu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu. Terpaksa dirimu dijejali dengan cerito-cerita palsu," jelas Gota lagi.
"Goto, apa maksudmu sebenamya? Kau ingin me-mecah belah diriku dengan Kakang Dipa? Kau pikir aku masih bocah ingusan yang dapat dengan mudah diperdayai? Jangan harap, Gota!" Puspa Ningrum jadi sengit Dia menebak ada maksud buruk yang tersem-bunyi dalam diri laki-laki pengemls ini.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Puspa."
"Kalau tidak, lalu untuk apa mengatakan hal Itu padaku?"
"Demi kebenaran. Puspa."
"Kebenaran untuk mempengaruhiku, sehingga harus memusuhl kakakku sendiri. Begitu?" "Puspa..Cukup, Goto!" sentak Puspa Ningmm seraya berdiri. "Aku bdak suka lagi mendengar segala macam ocehan busukmu!"
"Memang benar apa yang dikatakan Eyang Len-teng. SuKt menjeiaskan hal ini padamu...." desah Gota setengah bergumam.
"Jangan bawa-bawa nama guruku. Gota. Befiau icrialu suci untuk dteertakan dalam kebusukan hab-mu!" bentak Puspa Ningrum sengtt
"Tidak kusalahkan pendHanmu, Puspa. Kau memang punya hak untuk bdak mem percaya iku Tapi ketahuilah! Dipa Sentana itu bukan kakakmu ParadJpa juga bukan ayahmu. Ayahmu yang sebenamya adalah Ki Sawung! Dia tewas karena membela kehormatan Ibumu Dipa Sentana lah yang membunuh ayahmu!" agak keras suara Gota.
"Tidak! Kau bohong...! Kau dusta...!" bentak Puspa Ningrum kaiap.
"Sayang sekah ibumu sudah meninggal Kalau saja masih hldup, bisa kau desak agar menceritakan yang sebenamya. Bagalmana waktu itu hampir dkperkoaa oleh Paradipa. Kau tahu, siapa bajingan tengik itu? Dia adalah ayah kandung Dipa Sentana. Paradipa tewas dl tangan ayahmu, dan secara bdak sengaja Dipa Sentana membunuh ayahmu Dia menyesal, lalu membawa ibumu yang waktu itu hamil bga bulan ke Padepokan Tapak Wtea. Bahkan Juga berianjl akan mengangkatmu sebagai adik setelah kau lahir. Janji itu dibukbkannya untuk menebus segala dosa dan kesa-lahan yang dilakukan orang tua serta dirinya!"Cukup!" bentak Puspa Ningrum sambil menutup ftalhganya.
'Tapi turunan ba)lngan tetap saja bajingan! Ibumu bdak kuasa, dan terpaksa melayani kemauan Dipa Sentana. Kau tahu, apa yang tenadi setelah kau lahir? Setelah kau berusia dua tahun. lahir kembali seorang anak laki-laki dari rahim ibumu. yang kemuc&an di-buang ke dalam hutan. Dipa Sentana mengira bayi merah itu akan dimakan binatang buas. Tapi Dewata masih mefindunginya. Bayi Itu ditemukan seorang laki-laki tua yang hkJup serba kekurangan. Seorang pengemis, tapi berjiwa luhur dan satria Kau tahu Puspa, siapa anak laki-laki itu? Aku...!"
"Tidak...! Tidak mungkin...!" Puspa Ningrum menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita kakak beradik, Puspa. Mesklpun lain ayah. Tapi, sama sekali Dipa Sentana bdak kuakul sebagai ayahku Dia seorang ibtts yang telah membuang darah dagingnya sendiri. Orang macam Itukah yang kau hormab. kau sanjung. dan kau anggap sebagai kakak? Buka matamu lebar-lebar. Puspa. Uhabah perbedaan usiamu dengan Dipa Sentana! Berapa usia ibumu saat meninggal? Berapa sekarang usia Dipa Sentana? Adakah seorang anak yang hanya terpaut bga tahun dari Ibunya? Kau buta, Puspa. Bukan hanya matamu. tapi hatimu pun buta!"
'Tidak..." rinbh Puspa Ningrum langsung men-Jatuhkan dirinya cfi atas rerumputan. Gadis itu bdak kuasa lagi menahan air matanya, dan menangis sambil merinbh menggeleng-gelengkan kepalanya. Semen -
75
tara Gota hanya berdiri saja sambil memandang lurus pada Puspa Ningrum yang menangls dan merintih.
"Maafkan aku, Puspa Ningrum. Terpaksa kubuka semua rahasia ini. Aku..., aku...," tersendat suara Goto.
Goto juga tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ola jatuh duduk dan memukufi tanah berumput di depannya. Sementora itu, di depan mulut goa, Rangga hanya memperhatikan saja. Semua percakapan itu te-lah cBdengamya. Mesktpun sebeJumnya sudah cfiberi-tohu oleh Goto, topi keharuan maslh juga menyelmufi hatinya. Pertemuan yang seharusnya menggembtra-kan, topi maiah sebabknya.Seharian penuh Puspa Ningrum duduk memandang matohari yang hampir tenggelam di dalam peraduannya. Dia duduk sambil melamunkan semua kato-kata yang diucapkan Goto semalam. Memang, semuanya tidak dipercayai begitu saja, topi hati kecfi-nya membenarkan juga semua cento Goto, Puspa Ningrum juga tidak bisa membantah, bahwa ada satu ikatan barin yang begitu kuat antora dirinya dengan pemuda pengemis itu.
Perasaan itu memang sudah dirasakan kerika per-toma kali bertemu. Puspa Ningrum tidak tahu, kenapa memibki perasaan itu pada seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seorang pemuda gembcl kurus kering yang raut wajahnya lebih tua sepuhih tohun dari usia sebenamya. Semakin dipikirkan kata-kato Goto semalam, semakin bimbang hatinya. Sampai-sampal tidak cBketahui ada seseorang mendekatinya. Gadis itu pun juga tidak menyadari kalau orang itu sudah duduk cB sampingnya. "Puspa...."
Puspa Ningrum tersentok bangun dari lamunan-nya, lahi menoleh Kepalanya terrunduk kerika men da pari Rangga sudah duduk di sampingnya. Dua kali gadfe ttu menarik napas panjang dan dihembuskan kuat-kuat, seakan-akan ingin dilonggarkan rongga da-danya yang terasa sesak seketika.
"Boleh kutemanl duduk cB sini?" pinto Rangga.
"Hhh...!" Puspa Ningrum hanya menghembuskan napasnya saja.
"Aku Ikut prihatin dengan ..."
Terima kasih," potong Puspa Ningrum cepat
"Aku mendengar semua pembicaraan kalian semalam," kata Rangga lagi.
Puspa Ningrum menatap lurus ke bola Pendekar Rajawali Sakti itu. Agak terkejut juga mendengamya, tapi kemudian dipalingkan mukanya. Kembali ditatop-nya matohari yang sudah hampir tenggelam.
"Memang berat untuk menghadapi kenyataan pahH ini. Tapi aku yakin kau mampu mengatasinya dengan balk," kata Rangga, berusaha menghibur.
Puspa Ningrum hanya diam saja.
'Tidak mudah untuk menentukan siapa yang sa-lah, dan siapa yang benar. Hanya kau dan Goto yang btsa menentukannya Aku bisa memahaml perasaanmu. Maaf kalau aku terialu banyak ikut campur dalam hal ini," kata Rangga pelan.
Puspa Ningrum kembali menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar ditengadahkan kepalanya menatap langit yang me-merah jingga. kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"MungWn saat ini aku membutuhkan seseorang untuk bicara." ujar Puspa Ningrum setengah mende-sah.
"Kaiau kau percaya padaku...." sambut Rangga dengan hati la pang.
"Kau terialu balk...," ucapan Puspa Ningrum ter-putus. "Bolehkah aku memanggilmu kakang?"
"Dengan senang hati."
-Puspa Ningrum tersenyum tipis.
"Eyang Lenteng sering bercerita tentang dirimu. Mungkln kau orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ah.... Aku terialu berharap padamu, Kakang. Semua Ini persoalan pribadi, bdak seharusnya kau kusertakan."
"Adakalanya persoalan pribadi membutuhkan orang lain untuk menyelesaikannya." kata Rangga bi-jaksana.
'Terima kasih." ucap Puspa Ningrum.
"Nah, apa yang ingin kau katakan padaku?"
"Entahlah, aku masih bingung. Sepertinya aku kehilangan diriku sendW. Tidak tahu lagi, apa yang harus kukatakan. Aku seperti orang yang terbuang tanpa cinta," pelan suara Puspa Ningrum.'Tidak seburuk yang dialami Gota," rimpal Rangga.
"Gota...?" Puspa Ningrum menatap Rangga.
"Kau masih beruntung, Puspa. Ada orang yang menyayangi, mendntai, mengurus, serta memperhati-kanmu. Tapi Gota...? Sejak bayi sudah dibuang ke te-ngah hutan, dan hidup bersama pengemis tua yang untuk hldup sendiri saja sudah sufit"
Puspa Ningrum terdiam, dan Jadi teringat kerika pertama kali bertemu Gota. Terbayang kembali per-lakuan penduduk Desa Watu Gayam yang begitu merendahkan dan menghina seperti seonggok sampah busuk.
"Kakang benarkah yang dikatakan Gota sema-lam?" tanya Puspa Ningrum.
"Menurutmu bagaimana?" Rangga malah balik bertanya.
"Entahlah! Aku bingung,'' sahut Puspa Ningrum ragu-ragu
"Cobalah ambil dari kenyataan yang ada, Puspa," usul Rangga.
"Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang palsu. Sepertinya aku ini hidup di alam lain," keluh Puspa Ningrum.
"Sebenamya aku tidak memihak pada siapa pun. dan hanya berada di tengah-tengah. Tapi menurut pendapat pribadiku, Gota ada benamya Juga. Dan di pihakmu, juga tidak semuanya salah. Orang yang kau anggap kakak selama ini, telah berbuat baik padamu dengan alasan tertentu. Sedangkan Ibumu, kurasa sangat tertekan, sehingga tidak sanggup menceritakan yang sebenamya padamu. Demikian pula dengan Eyang Lenteng. Mungkin ada satu persoalan pada dirinya, sehingga tidak bisa menceritakan yang seharus-nya diceritakan, Dan sebenamya, hanya kau sendirilah yang bisa menilai," jelas Rangga panjang lebar, men coba membuka jalan pikhan gadis Itu.
"Apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum meminta saran.
Rangga hanya mengangkat bahu. Tidak mudah baginya untuk memberi sedikit saran pada Puspa Ningrum. Masalahnya, persoalan yang dihadapl gadis itu sangat pelik, dan terialu pribadi silatnya. Sampai saat ini, behim juga bisa ditentukan, mana yang salah dan mana yang benar. Persoalan ini sangat peka, dan sukar dlselesalkan.Hampir satu pekan Puspa Ningrum menghilang. Dan selama Itu Dipa Sentana seperti tidak bergairah lagL Sehari-hari, kerjanya hanya duduk melamun cH beranda depan rumahnya. Sedangkan Kl Jayakrama semakin sibuk, karena belakangan ini banyak pengemis bermuncuian. Tidak dlketahui, dari mana datang -nya dan apa maksudnya pengemis-pengemis itu bermuncuian di Desa Watu Gayam ini.
"Rasanya bosan melihatmu begitu terus, Dipa!" tiba-tiba Kl Jayakrama muncul sambil bersungut-su-nguL
"Hhh...!" Dipa Sentana mendesah panjang seraya mengangkat kepalanya.
"Sudah berapa kali kukatakan, jangan menyesali diri! Kau sudah cukup menebus kesalahanmu! Biarkan Puspa Ningrum hidup dengan caranya sendiri!" rungut Ki Jayakrama lagi.
Dipa Sentana hanya menarik napas panjang saja. Sedikit pun tidak disahuti gerutuan itu. Pandangannya lurus menatap ke depan
"Dipa, keadaan kini semakin bertambah parah. Kian hari kian banyak pengemis yang datang ke sinl. Mereka berpakaian pengemis, tapi tidak pemah me-n germs. Bahkan untuk ma kan mereka membeli. Aku jadi curiga. Perhatikanlah perubahan itu, Dipa!" kata Ki Jayakrama lagi.
"Mungkin mereka teman-temannya Gota," cele-tuk Dipa Sentana asal saja.
"Itu yang aku khawatirkan, Dipa!" sergah Ki Jayakrama cepaL
Dipa Sentana menoleh, langsung menatap bola mata laki-laki tua yang sudah duduk di sampingnya. Hanya sebuah meja bundar yang menghalangi mereka. Tadi sebenamya dia hanya berkata seenaknya saja, tapi Justru perkataannya itu yang terpenting.
"Kau tahu, Dipa. Setiap hari, satu atau dua orang kita lenyap tanpa diketahui Jejaknya. Sekarang Jumlah-nya tidak ada tiga puluh orang lagi. Keyakinanku, pastJ ada ancaman serius yang tidak bisa dianggap enteng. Dan ini ada hubungannya dengan kemunculan penge-mte-pengemis itu!" agak keras nada suara Ki Jayakrama.
"Mereka hanya menuntut hak saja, Kl," ujar Dipa Sentana setengah bergumam.
"BJcaramu semakin tidak karuan saja. Dipa!" dengus Ki Jayakrama sengit
'Terus terang, beberapa hari ini sudah kupiklrkan dan kutimbang masak-masak. Kita memang tidak pu-nya hak di sini. Kita tidak ubahnya gerombolan pe-rampok yang menikmati hidup dari merebut hak oranq
lain...."
"Dipa! Kau ini bicara apa...?" sentak Ki Jayakrama terkejut
"Aku bicara yang sebenamya, Kl Selama ini hidup
82
kita selalu dipenuhi kepalsuan! Kau gembar-gembor-kan kalau akulah yang membangun dan menghidup-kan kembali desa ini setelah musnah akibat peperang-an. Padahal semua itu paku! Bukan aku yang telah berbuat banyak begitu, tapi...."
"Dipa...!" bentak Ki Jayakrama gusar.
"Blarkan aku bicara, Ki. Rasanya beban dalam dada akan berkurang kalau sudah kukeluarkan semua yang ada di sini!" Dipa Sentana menepuk dadanya.
"Kau hanya membesar besarkan perasaan saja, Dipa," agak hinak suara Ki Jayakrama.
"Justru ingin kuperkecil kesalahan ini, Kl Kau selalu mengatakan kalau aku sudah menebus semua dosa dan kesalahanku dan orang tuaku. Tapi kenyata-annya, justru semakin besar dosa-dosaku. Tidak sepa-tutnya Puspa Ningrum dan ibunya kupeiiakukan seperti Itu. Dan sekarang dia lenyap. Padahal, aku sudah berjanji pada Eyang Lenteng untuk menjaga dan memberikan haknya kelak!" lantang kata-kata Dipa Sentana.
"Cukup, Dipa! Aku tidak suka mendengar lagi ocehan tololmu!" bentak Kl Jayakrama sengit
'Told...? Heh...! Siapa yangtolol!" terdengar sinis nada suara Dipa Sentana.
"Kau mulai berani padaku, Dipa. Hati-hatilah! Aku tidak segan-segan menghukum muridku sendiri!" an-cam Ki Jayakrama.
"Aku memang pantas dihukum. Ki!" tantang Dipa Sentana.
"Setan! Darah pengkhianat rupanya mengalir juga pada dirimu!" dengus Ki Jayakrama seraya bangkit berdiri.
"Ayahku memang pengkhianat! Dan aku tidak ingin meneruskan Jejaknya untuk mengnancurkan Desa Watu Gayam ini! Aku muak semua ini! Aku muak...!"
"Cukup!" bentak Ki Jayakrama geram. Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Dipa Sentana. Laki-laki yang usianya hampir berkepata lima itu langsung berdiri. Merah seluruh wajahnya. Kedua bola matanya berapi-api menatap tajam orang tua yang selama ini membimbing dan mendampinginya. Tamparan itu memang keras, dan sangat menyakitkan. Tapi yang lebih sakit lagi adalah hatinya!
"Dipa, ingattah pesan mendiang ayahmu. Kau harus meneruskan cita-citanya! Bangunlah desa ini agar menjadi lebih besar. Ubahiah menjadi sebuah kadipaten, bahkan kalau bisa menjadi sebuah kerajaan, dan kau menjadi raja di sini. Itu semua kulakukan untuk meneruskan cita-cita ayahmu, adik kandungku! Mengertikah kau, Dipa Sentana?! Kau dengar itu...?!" agak keras suara Ki Jayakrama.
"Dengan merebut kekuasaan orang lam?! Mengnancurkan sebuah kadipaten yang sudah ada, dan membangkitkannya kembali seperti dulu? Tidak, Ki! Kehancuran Kadipaten Watu Gayam disebabkan oleh ayahku, dan saudara-saudaraku sendiri yang ha us kekuasaan. Mereka telah membantai semua orang yang menentang. dan membiarkan orang-orang yang patuh
pada kita. Tapi coba lihat! Apakah mereka bisa hidup dengan layak!? Apakah mereka bahagia?" Dipa Sentana menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kaH "Mereka sengsara, Ki! Tidak ubahnya hidup cfi atas bara a pi neraka. Sayang, mereka tidak punya kekuatan untuk menentang!"
"Setan mana yang masuk ke dalam dirimu, Dipa?" dengus Ki Jayakrama.
"Kesadaran. Kl Kesadaran yang terlambat, tapi ingin kuperbaiki!" tegas Dipa Sentana.
"Heh! Percuma saja bicara banyak-banyak padamu, Dipa. Pengawal..!"
Empat orang bersenjata golok di pinggang bergegas menghampiri, lalu mem bung kuk memberi hor-mat
"Masukkan anak setan Ini ke penjara!" perintah Ki Jayakrama.
Empat orang itu terperangah mendengar perintah Ki Jayakrama. Sedangkan Dipa Sentana hanya ter-senyum sinis, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung melangkah pergi
"Aku akan masuk sendiri, biar kau puas!" lantang suara Dipa Sentana.
"Anak setan!" gerutu Ki Jayakrama sambil mende-ngus.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah mcnyusul Dipa Sentana, diikuti empat orang yang dipanggil tadi. Sementara Dipa Sentana terus berjalan menuju ke bangunan penjara yang terietak di belakang rumah besar yang dulunya adalah sebuah kadipatenDipa Sentana terus saja melangkah masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari baru kafi lnl tanpa menoieh sedikit pun. Dua orang penjaga tampak ke-bingungan, tapi langsung membungkuk memberi hor-mat Kl Jayakrama berdiri di depan pintu penjara itu, dan mengunclnya dengan rantai baja.
"Jangan biarkan seorang pun menengoknya. ke-cuafi aku!" pesan Kl Jayakrama.
"Balk, Gustt"
"Lipat gandakan penjagaan, jangan sampai lolos!"
Setelah berkata demikian, Ki Jayakrama berbalik dan melangkah pergi. KaWnya selalu menghentak, pertanda sedang dilipub kekesalan Sementara delapan orang penjaga hanya btsa bengong bertanya-tanya, mengapa pemimpm mereka dtyebtoskan ke dalam ta-hanan?Kl Jayakrama semakin kewalahan menghadapl serbuan pengemls yang semakin hari semakin bertam-bah banyak jumlahnya. Tidak sedikit penduduk yang mengadu. Para pengemls itu temyata semakin berani, bahkan tidak segan-segan merampas dan beriaku kasar. Ki Jayakrama mencoba mengirim anak buahnya untuk mengusir para pengemls itu. Tapi di luar dugaan, Bma orang anak buahnya dalam keadaan babak belur begitu mereka kembali
Mereka mengadu kalau pengemis-pengemis itu memlfiki kepandaian yang cukup tinggi. Laki-laki tua yang memegang tongkat berbentuk ular cobra itu, jadi semakin kelabakan. Dibpatgandakan penjagaan di seldtor rumah besar itu. Hal ini dllakukan karena ada lima orang pengemis yang mencoba menembus penjagaan, tapi semuanya tewas di tangan Ki Jayakrama. Laki-laki tua itu berpendapat kalau pengemis-pengemis memang sengaja da tang untuk meruntuhkan kekua-saannya di Desa Watu Gayam lnl.
Slang itu Kl Jayakrama tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di beranda depan rumah besar yang dijaga ketat Dia seperti menunggu seseorang yang akan datang hari ini. Scbentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah pintu gerbang yang tertutup rapat Kl Jayakrama bergegas turun dari beranda begitu pintu gerbang terbuka.
Terfihat tiga orang penunggang kuda menerobes masuk Dua penjaga pintu gerbang, bergegas menu tup pintu itu kembafi Tkja penunggang kuda itu langsung beriompaton turun dengan gerakan yang indah dan segera menghamptri Kl Jayakrama Ki Jayakrama tampak gembira menyambut mereka, dan segera membawa masuk ke dalam rumah. Mereka kemudian duduk menghadapl meja bundar dari batu pualam putih.
'Terima kasih, kalian bersedla datang memenuhi undanganku," ucap Ki Jayakrama. Wajahnya cerah beraeri-seri.
"Kite berempat sudah mengikat janji untuk sating mem bantu. Jangan kau sangsikan kesediaan kami untuk mem be la mu. Jayakrama," jelas seorang yang keiihatannya berusia sekrtar Hma puluh tahun. Di tangannya tergenggam tombak panjang berrnata bga.
'Terima kasih, Tombak Ibfis," ucap Ki Jayakrama. "Dan kau juga, Pedang Setan, Cakar Maut"
"Langsung saja, Jayakrama. Apa kesuBtanmu sehingga mlnta bantuan kami?" selak si Pedang Setan.
"Hm..., kalian tentu sudah menyaksikan di luar sana. Tempat in) bagatkan desa pengemis. Dl mana-mana hanya ada pengemis berkeharan," jelas Kl Jayakrama membuka permasalahannya.
"Hanya karena pengemis kau memlnta bantuan, Jayakrama...?" si Cakar Maut setengah bdak percaya.
"Kalau hanya pengemis biasa, bdak perlu meminta bantuan kalian."
'Teruskan, Jayakrama," pinta si Tombak Ibfis.
"Pengemis-pengemis Itu ada yang memimptn! Mereka adalah Partai Pengemis Tongkat Hitam."
'Tunggul...," desis si Tombak Iblis pelan.
Semua mata memandang si Tombak Ibfis Namun yang dipandang hanya menghentak-hentakkan tom-baknya ke lantal
"Berapa tahun kau menguasai desa ini, Jayakrama?" si Tombak Iblis malah bertanya.
"Sekttar dua puluh dua tahun," sahut Kl Jayakrama.
"Selama itu rupanya kau sudah lupa karena ber-gelimang kesenangan. Kau rebut tempat ini dari sau-daramu sendiri, dan kau hancurkan mereka. Dan sekarang, kau bangun kembali desa Ini dengan akal B-cikmu memecah belah semua orang? Kau lupa,
Jayakrama! Ki Tunggul adalah pemimpin besar Partai Pengemis Tongkat Hitam!" tenang namun tegas kata-kata si Tombak Ibfis.
Kl Jayakrama tersentak mendengar penjelasan itu. Dia seperti baru terbangun dari mimpi panjang yang meienakannya. Sungguh bdak disadari kalau para pengemis itu adalah anak buah Ki Tunggul, bekas adi-pab di Watu Gayam ini, yang juga adik kandungnya sendiri. Kini baru disadari kalau para pengemis itu menghimpun kekuatan dan ingin meruntuhkannya.
'Tapi kau tidak perlu khawatir, Jayakrama. Besok orang-orangku yang berjumlah tiga puluh orang datang ke sinl. Meskipun selama ini kau telah mehipakan sahabat, tap! sebagai pribadi aku tidak akan berdiam cfiri begitu saja meBhatmu dalam kesufitan," kata si Pedang Setan.
"Maaf, aku telah buta. Aku tidak lagi memandang kalian sebagai sahabat," sesal Ki Jayakrama.
"Sudahlah, hipakan semua itu Yang penting sekarang apa keinginanmu?" celetuk si Cakar Maut
'Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati."
"Hm..., sejak tadi aku tidak meiihat murid tungga! mu, Jayakrama. Ke mana dia?" selak si Tombak iblis tiba-tiba.
Kl Jayakrama terdiam. Dipandangi satu persatu sahabatnya. Pelahan-lahan cticeritakannya tentang Dipa Sentana yang telah berubah, dan sekarang men-dekam dalam penjara. Semua itu terpaksa dilakukan. karena bdak ingin segala sesuatu yang telah diper-Juangkannya selama puluhan tahun berantakan. Tombak Ibfa. Pedang .Setan, dan si Cakar Maut mende-ngarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kl Jayakrama diam cukup lama setelah selesai menceritakan semuanya. Memang berat, tapi hams dilakukan. Bagjnya kehUangan seorang murid tidak ada artinya, Jika dibanding dengan segala yang diingln-kannya di Watu Gayam lnl Dan itu memang disadari ketiga sahabatnya. Mereka Juga tidak memberikan komentar a pa-a pa, karena itu adalah urusan pribadi Ki Jayakrama sendiri terhadap muridnya. Mereka tahu betul, siapa Kl Jayakrama Itu. Dia tidak akan pemah memandang saudara, murid, atau kerabat, untuk men-capai setiap keinginannya. Bagjnya penghalang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya
"Bdeh aku melihatnya, Jayakrama?" pinta si Pe-dang Solan.
"SUakan. Aku juga Ingin mlnta pendapat ka&an, hukuman apa yang pantas bagl murid dumaka itu," sahut Kl Jayakrama, agak tertahan suaranya.
"Kau yang menentukan, Jayakrama," sahut si Tombak Iblis
"Mart, kuantarkan menengoknya Setelah Itu aku akan memberi hukuman padanya di depan kalian."
Mereka bangkit berdiri dan berjalan ke luar. Ki Jayakrama berjalan paling depan Tkja sahabatnya menglkuri dari belakang setelah sahng melempar pan-dangan. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pemah terucapkan. Saran apa pun yang dike-luarkan, tidak akan pemah ditanggapi Kl Jayakrama. mesldpun laki-laki Itu memintanya. Mereka ingin tahu.
hukuman apa yang akan diberikan kepada Dipa Sentana.
Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara. Dua orang prajurit penjaga pintu penjara segera membung-kukkan badan begitu Ki Jayakrama dan ketiga sahabatnya sampai di depan pintu penjara. Kl Jayakrama memandang ketiga sahabatnya sebentar, kemudlan memberi feyarat pada penjaga untuk membuka pinta Salah seorang penjaga bergegas membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari baja itu. Kl Jayakrama melangkah masuk dHkuti ketiga sahabatnya. Seketika mereka tersentak begitu berada di dalam ruangan ta-hanan yang tidak begitu besar itu.
"Setan! Terkutuk kau, Dipa Sentana...!" umpat Kl Jayakrama berang
Dengan wajah merah padam, Ki Jayakrama bergegas ke luar. Ketiga sahabatnya mengikuri sambil sahng melempar pandang Di dalam kamar tahanan itu tidak ada seorang pun yang teriihaL Semuanya kosong. dan dinding bagian belakang jebol berantakaa Ki Jayakrama memanggil semua anak buahnya. Dengan suara lantang menggelegar. diperintahkari anak buahnya untuk mencari Dipa Sentana.
"Blar aku yang mencarinya, Jayakrama." kata si Tombak Iblis
Kl Jayakrama memandang sahabatnya itu.
'Perintahkan keputusanmu," desak Tombak Iblis.
"Bunuh anak keparat rtu!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Aku akan membawa kepalanya padamu," janjl
91
si Tombak Ibas mantap.
"Aku Juga akan mencartnya, Jayakrama,'' setak si Cakar Maut
"Aku bdak bisa mencegah. Tapi, hati-hatilah pada Partai Pengemls Tongkat Hitam Aku yaWn, anak keparat ttu bergabung bersama mereka."
Si Tongkat Iblis dan si Cakar Maut bergegas melangkah menghamptri kudanya. kemudian melompat naik dan menggebah cepat kudanya Sedangkan Kl Jayakrama tTUjtjas kembali ke dalam rumah besar ttu. Si Pedang Setan mengikutinya Dia bdak ikut mencari Dipa Sentana, karena harus menunggu anak buahnya duduk Sementara itu Jauh di tengah hutan sebelah Barat Data Watu Gayam, Rangga tengah berjalan bersama Puspa Ningrum dan Gota. Di belakang, ada dua orang berpakaian com pang-camping Arah yang dituju, tabs Desa Watu Gayam. Mendadak langkah mereka ter hentt. Tampak dari kejauhan, terdengar suara orang tengah bertarung PeWk melengking bercampur men-JacB satu bersama denting senjata.
"Hup!"
Rangga langsung melompat cepat bagai kilaL Begitu sempumanya ilmu meringankan tubuh yang dlmi-Hki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tidak tertthat lagi. Gota segera meng-gamit tangan Puspa Ningrum. dan mengajaknya beriari ke arah suara pertempuran itu.
Sementara Rangga sudah lebih dahukj sampal di tempat pertempuran Itu. Agak terkejut juga dia kerika melihat dua orang bertempur sengit menggunakan senjata. Yang seorang memegang pedang panjang berkilat, sedangkan seorang lagi menggunakan tombak panjang bermata tiga
"Hm...," Rangga bergumam pelaa
Dia hanya berdiri memperhatikan, karena sama sekali tidak mengenab kedua orang Itu. Saat Pendekar
93
Rajawali Sakti itu tengah berptldr, muncul Gota dan Puspa Ningmm, yang langsung menghampiri Rangga.
"Kakang..." Puspa Ningmm mendesh begitu me-ngenah orang yang memegang pedang.
"Dipa Sentana..." Gota Juga mendesis tertahaa Gota dan Puspa Ningmm saling berpandangaa Pertentangan batm terJacB dl antara mereka berdua. Gota sangat mem bene) Dipa Sentana. meskrpun selak semuia tahu kalau laki-laki Itu adalah ayahnya yang telah membuangnya sejak masih bayi. Sedangkan lain lagi yang dirasakan Puspa Ningmm Dia masih betum percaya penuh terhadap perbuatan bumk Dipa Sentana pada ayah dan Ibunya. Gadis Itu masih difipuO ke-bimbangan. Selama ini yang dlketahulnya bahwa Dipa Sentana adalah kakaknya, meskipun habnya mem ban -tah karena perbedaan usia yang begitu menyoiok
"Aku akan membunuhnya. Puspa." kata Gota, agak tersendat suaranya.
Puspa Ningmm hanya diam saja. karena tidak tahu hams berkata apa lagi Saat ini batmnya ruga sedang berperang. Sementara Itu pertarungan masih terns berlangsung. dan Jelas terUhat kalau Dipa Sentana terdesak Gota yang akan terjun ke dalam pertarungan itu. cepat-cepat cflcegah Rangga
"Siapa pun lawannya, aku bdak peduli! Dia harus mab dl tanganku!" sentak Gota menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti Itu.
"Bukan satrla Jlka mengeroyok orang yang terdesak," kata Rangga memperingatkan "Dia Juga bukan satria! Dia Iblis!"
Pada saat itu, tanpa cHduga sama sekaU Puspa Ningmm meiompat sambil berteriak keras. Rangga dan Gota tersentak kaget Gadb itu telah meWoskan sabuk peraknya, dan dlkebutkan kuat-kuat Sabuk yang langsung menegang itu, cUdbaskan ke arah leher orang yang bertarung melawan Dipa Sentana.
"Puspa Ningmm...!" sentak Dipa Sentana terkejut
"Uts!"
Orang yang menggunakan tombak bermata bga, langsung mengegoskan kepalanya, dan bum-bum meiompat mundur. Dia mengumpat habis-habisan, tapi Puspa Ningmm terus mencecar tanpa memberi kesempatan orang itu memberi kan periawanan. Sementara Dipa Sentana terpaku sesaat kemudian meiompat hendak mem bantu Puspa Ningrum. Namun pada saat Itu, Gota meiompat menghadangnya. "Gota...,** desis Dipa Sentana kembali terkejut "Lama aku menunggu kesempatan ini, Dipa!" dmgtn nada suara Gota
"Gota, aku tahu kau membenciku. Tapi ingabah, aku ayahmu**
"Ayah...?! Iblis' Tidak parttas rasanya mengaku ayah padaku' Kau sudah membuangku Kau bukan manusia, Dipa! Kau lofts...!"
"Kuakul kesalahanku. Gota. Sekarang aku bdak akan melawan seandalnya kau membunuhku Hukum-an apa pun akan kuterima Jlka ingin kau Bmpah kan padaku Lakukan, Gota," Dipa Sentana membuang pedangnya.
"Setan! Ambil pedangmu, keparat'" geram Gota.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Gota. Laku-kan, dan aku tidak akan melawan. Aku rela mati di tanganmu, Gota. Bunuhlah aku!" tegas kata-kata Dipa Sentana.
Gota mengangkat tongkatnya yang berwama hitam pekat Satu ujungnya yang runcing, cfcarahkan ke dada Dipa Sentana. Namun behim sempat ujung tongkatnya dirusukkan, mendadak letdengar suara pe-kikan keras. Dipa dan Gota langsung menoleh, dan kontan terkejut melihat Puspa Ningrum terjajar meme-gangi dadanya. Dari sudut Dibit gadis itu merembes darah kental
¦Puspa..:r
"Puspa Ningrum ..!"
"Ha ha ha...! Bagus! Rupanya kalian sudah kum pul semua! Bagus...! Sekarang bisa kubawa kepala kaftan pada Jayakrama!"
Gota bertari menghampiri Puspa Ningrum yang tengah berusaha bangkit berdiri. lalu mem bantu gadis itu berdiri. Puspa Ningrum berdahak, dan memuntah-kan kembali darah kental dari mulutnya Dengan pung-gung tangan. dlsekanya darah yang mengotori bibtr.
"Kau tidak apa-apa. Puspa?" ada nada kecemasan pada suara Gota.
"Uh. dadaku...." kehih Puspa Ningrum tersendat
"Dudukiah dulu "
Gota dan Puspa Ningrum menoleh Entah kapan datangnya. tahu-tahu Rangga sudah berada di belakang mereka. Pendekar Rajawali Sakti itu menuntun Puspa Ningrum, dan membawanya ke bawah pohon
Rangga duduk berstla di depan Puspa Nrngrum. Sebentar dipe»amkan matanya, lalu dipusatkan hawa mumi pada telapak tangannya. Kemudlan pelahan-lahan ditempelkan telapak tangannya di dada gad* itu. Puspa Ningrum agak terser tak. Namun tx-gitu merasa kan hawa panas mengalir melarul dadanya. dia terdiam dengan mata terpejam.
DENDAM ANAK PENGEMB
Dimintanya gadis itu untuk duduk berate Puspa Ningrum tidak membantah, lalu duduk bersfta. Kedua telapak tangannya menempel di lutut
Rangga kemudian duduk berstla di depan Puspa Ningrum. Sebentar dtpetemkan ma tanya. lalu dlpusat-kan hawa mumi pada telapak tangannya. Kemudian pelahan-lahan ditempelkan telapak tangannya dt dada gacfts itu. Puspa Ningrum agak tersentak Namun begitu merasa kan hawa panas mengahr melaiui dadanya. dia tercfiam dengan mata terpejam
-Hoek.r
Puspa Ningrum memuntahkan darah kental berwama merah kekuning kurringan Sesaat kemudian. tubuhnya mengejang, lalu roboh lungiat Gota langsung memburu. tapi buru-buru dkregah Rangga. Pemuda pengemls Itu hanya bisa memperhatikan di samping gadis itu. Sedang kan Rangga menggerakkan jari-jari tangannya di beberapa bagkan tubuh Puspa Ningrum.
"Hlh!"
"Akh!" Puspa Ningrum terpekik tertahan.
Satu hentakan tangan Rangga menggoncangkan dada gadis Itu. Namun Puspa Ningrum hanya menntih brth. lalu bangkit duduk bcrsila kembali Sementara Rangga menarlk napas panjang Dia bangkit ivrdiri dan membiarkan gadis itu bersemadl
'Bagalmana dia?" tanya Gota bdak dapat me-nyembunyikan kecemasannya.
"Tidak apa. untung belum teriambal." sahut Rangga sedikit mendesah.
Terkena racun?" lebak Gota. "BetuL Tapi sekarang bdak lag) Puspa Ningrum bufuh beberapa saat untuk bersemadl Pasb akan pulh
kembaB "
"Oh. syukurteh .." desah Gota Gota mengahhkan perhatiannya pada Dipa Sentana dan lab-laid setengoh baya bersenjata tombak panjang bermata rtga. Kedua orang itu sudah terfebat kembal dalam pertarungan Sementara Puspa Ning rum maslh tetap bersema memtahkan tenaga dan mengasuarkan sisa-sba racun yang mengendap dalam tubuhnya."Modar! Hryaaa...!" "Akh!"
Sambl menjerit keras. Drpa Sentana terpental deras ke belakang setelah satu pukulan tetek bertenaga dalam penuh mendarat di dadanya LakMakl bersen-jata tombak mata bga. langsung melompat mengejar sambi menghunjamkan ujung senjatanya ke arah dada Dtpa Sentana Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat c«pat. lalu menycntfl ujung tombak itu " Tombak Iblis tersentak kaget Buru-buru dia menarlk pulang senjatanya, tubuhnya dua kali ke belakang Mania sekali sepasang kakinya mendarat di tanah Sedangkan Rangga teteh berdiri tegak membelakangj Dipa Sentana yang tengah berusaha bangkit, namun Jatuh kembali sambil memuntah-kan darah kental yang berwama merah ke kuning-ku-rbngan"Jangan bergerak! Pusatkan hawa mumi ke Jan-tung dan seluruh aliran darah/' kata Rangga tanpa menoleh. Dia tahu kalau si Tombak Ibfis mendaratkan pukulan beracun yang sangat mematikan.
Dipa Sentana segera memusatkan hawa mumi-nya, tapi malah memuntahkan darah kembalL Tubuhnya kini tergeletak dan napasnya terengah-engah.
"Gota, sahirkan hawa mumi melalui punggung-nya!" seru Rangga.
Gota terfihat ragu-ragu Kebenclan dan rasa dendam pada Dipa Sentana menyayat dadanya. Tap! meiihat laki-laki yang telah membuang dan menyia-nyiakannya dalam keadaan kribs, hatinya tidak tega juga. Dengan perasaan masih belum menentu, dlham-pirinya juga. Gota membantu Dipa Sentana duduk bersila. kemudian ia sendiri duduk bersila di belakang laki-laki yang sebenamya ayahnya itu. Dengan kedua tela pa k tangan menempel pada punggung Drpa Sentana, Gota menyahjrkan hawa mumi untuk mencegah menjalamya racun ke seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
'Tutup jalan darahnya, Gota," perintah Rangga seraya menggeser kakinya ke depan beberapa lang-kah.
"Hup...!" Gota bergegas menutup beberapa jalan darah yang belum dimasuki racun.
Sementara Rangga kembali melangkah ke depan
mendekati si Tombak Ibfis. Tatapan matanya tajam menusuk, dan bibimya terkatup rapat Sedangkan si Tombak Ibfis sudah bersiap-siap hendak menyerang kembaL
"Setan keparat1 Aku tak peduli siapa dirimu! Yang jelas, kau harus mampus di tanganku! Hiyaaat..!"
Si Tombak lolls meiompat menerjang sambil menggeram marah. Senjatanya yang bermata bga, dlkebutkan dan drtusukkan dengan kecep>tan tinggi Pendekar RajawaB Sakti beri om pa tan meiuk bukkan tubuhnya menghlndari serangan beruntun itu. Dikerah-kan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang selalu digunakan pada awal-awal pertarungan nya. Dengan jurus itu Rangga dapat mengukur bngkat kepandaian la wan.
Si Tombak Ibfis sudah mengeluarkan fima Jurus, tapi belum Juga dapat menyentuh tubuh Pendekar RajawaB Sakti Dan Itu sudah dirasakan cukup oieh Rangga untuk mengetahul tingkat kepandaian lawan-nya. Maka langsung dtrubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh RajawaB*.
"Awas kepala!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Uts!"
Si Tombak Ibfis langsung merunduk begitu satu pukulan keras dan tiba-tiba, melayang ke arah kepalanya. Tapi tanpa cfiduga sama sekali. satu tendangan melayang mengarah ke pinggang. Si Tombak Ibfis merungut kesal Buru-buru ditarik mundur tubuhnya. Dan pada saat itu. Rangga mengibaskan tangan kiri ke arah da da
101
Si Tombak lolls menangkis menggunakan tombak-nya Betapa terpens ngahnya cHa. karena dengan cepat sekali Rangga memutar tangannya dan langsung me nyodok baglan atas perut Si Tombak Iblis jadi terbehak mendapat serangan yang begitu cepat dan beruntun. Bum-bum dia melompat mundur beberapa langkah. Namun pada saat itu Gota melompat cepat sambil menglbaskan tongkatnya ke arah punggung.
"Akhf si Tombak Ibfis memeklk tertahaa
Tubuhnya langsung terhuyung ke depan. Pada saat yang sama, Rangga yang sudah melompat menge-rahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', menjadi terkejut dan tak mungkin lagi menarlk pulang serangannya. Maka satu tendangan keras mendarat cB kepala si Tombak Iblis.
"Aaa...!" si Tombak Iblis meraung keras sambil memegangi kepala nya.
Darah merembes kekiar dari sela sola jarinya Se-lagi si Tombak IbBs meraung sambil terhuyung. Gota kembali melancarkan pukulan dlbarengi tendangan. Segera diakhirinya pertaningan Itu dengan satu tu-sukan tepat ke jantung si Tombak Ibfis
"Aaa...!" sekaU lag! si Tombak I Wis menjerit melengking tinggi.
Bersamaan dengan Gota menarlk keluar tongkatnya, tubuh si Tombak iblis terjungkal jatuh Seketlka Itu Juga nyawanya melayang dari badan. Darah me-ngucur dari kepala yang retak dan dada bedubang dalam sampai (embus ke punggung. Gota memandangi
mayat yang membujur bersimbah darah itu. Tidak jauh di seberangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti Agak lama Juga Rangga bersama Gota menunggu Puspa Ningrum dan Dipa Sentana selesal bersemadl. Sedang kan dua orang pengemls yang menyertai mereka, sudah menyiapkan ranting kering untuk a pi ung-gun Saat lnl senja memang sudah mulai m era yap turun. Langtt mulai remang remang bersimbah cahaya merah jlngga Mayat si Tombak Iblis masih mengge-letak membujur. Darah di sekujur tubuhnya mulai me-ngering.
"Tunggu...!" cegah Rangga ketlka Gota akan bangkit begitu melihat Dipa Sentana sudah selesal bersemadl
Gota duduk kembali, namun pandangannya tetap tajam tertuju pada laki-laki setengah baya itu. Sementara Dipa Sentana menggerak-gerakkan tangannya, menyempumakan keadaan tubuhnya. Dia langsung menatap Gota. lalu bangkit beret! Dengan langkah tegap. Dipa Sentana menghampiri pemuda pengemis itu.
"Sebaiknya kau cepat pergi sebelum pikkanku berubah," ujar Gota ketus.
"Kau telah menyelamatkan nyawaku, Gota Aku harus membalas budimu." ucap Dipa Sentana lembuL
"Aku bdak mengharapkan imbalan darimu!" ketus jawaban Gota.
"Mungkin kau tidak membutuhkan Tapi. teman temanmu semua memerlukan. Goto Aku tahu. kau kini bergabung dengan Partai Pengemis Tongkat Hltam yang sekarang semuanya berada dl Watu Gayam Aku tahu maksudnya. topi itu akan sla-sla safe. Meski pun kaftan berjurnlah seribu orang. tidak akan mampu mengalahkan Ki Jayakrama dan teman temannya." kata Dtpa Sentana, tetap tenang suaranya.
"Satu orang sudah mampus!" dengus Gota seraya mearik mayat si Tombak Ibas
Dtpa Sentana tercBam. Memang bam satu orang. topi yang lam nya masih banyak
Dipa Sentana menatap Gota. kemudton hsrpaing memandang Rangga yang ada dl sebeiah pemuda pengemis itu. Pandangan Dtpa Sentana kembali beralih ke arah Puspa Ningmm yang sudah bangun dari se-macanya Gadis itu berdm dan metongkah menghampiri, lalu berhenti di antara Goto dan Dipa Sentana.
"Malapetoka besar akan merampa Watu Gayam,*1 desah Dipa Sentana setengah bergumam.
"Ya. seperti yang kau lakukan terhadap ayahnya Puspa Ningmm!" dengus Goto
Dipa Sentana mendesah panjang, stakan akan Ingin mefonggarkan dadanya yang mendadak ta)a jadi tesak Sebentar ditatapnya Puspa Ningrum. ki-mucfian pdahan-lahan kepalanya tertunduk. Saat itu Goto bangkit berdm dttkuti Rangga Se>ak tadi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam sa>a. Dia sendin tidak tahu harus berbuat apa Tertalu rJpis Jenjang pemlsah antara yang benar dan salah
"Bertahun-tahun kau selalu meracunj gadis tidak berdosa Hu Kau menjejafinya dengan "Kakang...," agak bergetar suara Puspa Ningrum. "Dia bukan kakakmu, Puspa!" sentak Goto sengtL "Kakang. benarkah itu?" Puspa Ningrum meminta kepastlan.
Dtpa Sentana menarik napas panjang, dan meng hembuskannya kuat-kuat Ditatapnya dalam dalam gacfts cantik yang tengah dihputi kebimbangan. Pela-han kepalanya terangguk lemah
"Oh...!" Puspa Ningrum menu tup bibirnya.
Sepasang bola mata yang indah membefiak lebar menatap tidak percaya pada Dipa Sentana. Pelahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak. Tubuhnya agak bergetar bagal terserang demam Sementara Dipa Sentana hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh rasa pcnyesalan Sudah bisa dtduga hal ini pasti terjacb. topi peridraannya tidak akan sebumk ini Dipa Sentana melangkah hendak mendekati gadis itu.
| "Jangan dekatJ" sentak Puspa Ningmm tiba-tiba
"Puspa.... maaflcan aku Aku..." tersendat suara Dtpa Sentana.
"Penipu! Pembohong.. ! Kau yang selama ini ku-hormati. temyata tidak lebih dari seorang bajingan!
Pcnoacut..!" pekik Puspa Ningrum. beriinang air ma-tanye.
"Maaikan aku, Puspa...," ucap Dipa Sentana pe-nuh penyesalan.
"Pergi kau! PerajL..!" (art Puspa Ningrum rasterts. Puspa Ningrum menangis sesenggukan Rangga menghampiri dan merengkuh gadb Itu ke dalam pesu-kannya. Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan Puspa Ningrum menangis ell dalam pelukannya. Sementara Gota tampak bergetar menahan ma rah Sedangkan Dipa Sentana tertunduk diam penuh penyesalan.
"Bajingan kau, Dipa...!" geram Gota memuncak amarahnya "Hryaaat..!"
"Gota...!" sentak Rangga terkejut Tapi Gota tidak bisa lagi membendung amarah dan dendamnya. Dia sudah melompat dan menr^rtm-kan beberapa pukulan beruntun. Dipa Sentana yang sedang dlhinggapi rasa penyesalan. tidak metawan sedlktt pun. Dibiarkan saja tubuhnya menjadi saearan empuk pukulan dan tendangan pemuda pengemls yang tana* dart darah dagjngnya sendkt Pemuda yang sewaktu bay! dibuang karena tidak ingin menimbulkan malapetaka
"Gota, hentikan...!" teriak Puspa Ningrum langsung meiepaskan diri dari pelukan Rangga.
"Biar kubunuh dia! Manusia keparat! Setan...!* Gota seperti kemasukan setan saja. Dia menga-muk dan menghajar Dipa Sentana dengan pukulan-pu-kulan dan tendangan yang keras. Namun tidak sedttdt pun Dipa Sentana melawan. Dia dam saja, Jatuh
106
bangun kena amukan pemuda pengemls Itu. Darah sudah mengucur dari sudut bibimya. Tubuhnya babak besur, biru lebam.
"Gota, hentikan!" bentak Rangga langsung melompat, dan mencekal tangan pemuda Itu.
"Lepaskan! Biar kubunuh dia !" Jerit Gota berusaha memberontak
Tapi Rangga mencekalnya kuat kuat. Sementara Puspa Ningrum Jadi termangu Sebentar dltatapnya Dipa Sentana yang menggeletak mengerang erih. sebentar kemudian beraan ke arah Gota yang tengah memberontak mencoba meiepaskan diri.
"Kendakkan amarahmu. Gota. Tidak ada gunanya mengumbar amarah..." kata Rangga mencoba me nyadarkan pemuda pengemls itu.
"Oh...!" Gota mengeluh
Tubuhnya bergetar menggigil. dan Jatuh berlutut Dia menangis sesenggukan seperti anak kecfl. Rangga meiepaskan cekalannya pada tangan pemuda tax Dibtarian saja Gota yang menangis memukufi tanah berumput Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Dipa Sentana, dan memeriksa luka lukanya
"Kenapa kau mencegahnya? Aku rela matt d tangannya. Hanya itu Jalan satu satunya untuk menebus semua dosa-dosaku padanya. Aku memang pantas mat... Aku bukan ayah yang balk. Aku tetah mem-buangriya hanya untuk kekuasaan Aku berdoaa. . rtndh Dipa Sentana llrih.
Puspa Ningrum menghampiri dan berlutut d samping Rangga. Dipa Sentana memandang gads itu. Ada
107
setitJk air bening mengguflr dari sudut matanya.
"Maafkan aku, Puspa...," Brih suara Dipa Sentana.
"Kakang...," ujar Puspa Ningrum cB seia isaknya.
"Tkiak pantas aku menerima air matamu, Puspa. Aku telah membunuh ayahmu, memperkosa ibumu. Meruntuhkan kejayaan orang ruamu Kaulah satu-satunya ahH waris Watu Gayam. Aku bukan kakakmu. Aku hanya seorang pembunuh yang haus kekuasaan, Maafkan aku, Puspa...." semakin lirih suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum tidak bisa berkata-kata lag! Dia hanya menangis, tidak tahu apa yang harus dllakukan. Pengakuan Dipa Sentana memang menghancurkan hatinya, tapi juga membahagiakannya. En tab apa lagi yang ada dalam hatinya saat ini. Hanya air mata yang bisa cBtumpahkan untuk mengeluarkan perasaannya.
Tangan Dipa Sentana bergetar menggapai men-julur. Dlusapnya air mata yang beriinang membasahi pipi Puspa Ningrum. Bfbimya yang berlumuran darah, bergetar mem beri kan senyumaa Sesaat kemudian. tubuhnya mengejang, lalu jatuh lunglai
"Oh! Tidak..!" jerit Puspa Ningrum tersentak
Rangga cepat-cepat merengkuh bahu gadis itu, dan memehiknya erat-erat. Puspa Ningrum semakin keras tangisnya. Sementara Dipa Sentana sudah ter-bujur mail dengan bibir mengulas senyum Rangga membawa Puspa Ningrum bangkit dan melangkah men jauh Sempat diHriknya Gota yang menatap ter-paku pada tubuh Dipa Sentana.
"Ayah...," bergetar dan pelan sekali suara Gota.
"Ayaaah...!"
Tiba-tiba saja Gota meiompat dan menubruk tubuh Dipa Sentana yang membujur kaku. Gota terus histeris sambil memeiuk memanggil manggil ayahnya. Sementara Rangga yang menyaksikan itu menjadi serba salah. Dia harus menenangkan Puspa Ningrum, tapi sekarang Gota malah histeris memeiuk dan mengguncang-guncang tubuh Dipa Sentana.
"Oh, tidak...! Tkiak.... Ayah, kau tidak boleh matL Kau harus hidup...! Kau ayahku!" rintih Gota seraya mengguncang-guncang tubuh yang tak bemyawa lagi itu.
Mendadak, Gota teretiam. Dipandanginya wajah Dipa Sentana yang berada di dalam pehikannya. Pe-lahan-lahan diturunkan tubuh ayah kandungnya itu, kemudian bangkit berdiri. Tatapan matanya tetap ter-tuju pada tubuh Dipa Sentana yang membujur tidak bergerak lagi
"Aku tidak membunuhmu, Ayah. Mereka yang menyebabkan semua ini!" dengus Gota dlngin. "Jayakrama.... Kau harus membayar mahal nyawa ayahku. Kau harus mam pus. Jayakrama keparat..!"
Suara Gota terdengar keras menggelegar. Tanpa disadari teriakannya dlsertai pengerahan tenaga dalam, sehingga suaranya bagaikan mengguncangkan bumi, dan menggugurkan daun-daun.
"Kubunuh kau, Jayakrama...!"
Lima ekor kuda berpacu cepat membeJah fajar yang baru saja menyingsing Sinar matahari mcmbias di cakrawala Tlmur. Kabut maslh menyelimuti permu-kaan Desa Watu Gayam. Lima ekor kuda Itu terus berpacu meninggalkan debu yang mengepul dl udara. Beberapa orang yang kebetulan berada dl jalan itu bergegas menyingldr, karena takul terianda kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Lima ekor kuda itu berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang yang tertutup rapat Tembok benteng yang tinggi dan kokoh menghalangi mereka. Lima penunggang kuda itu berlompatan turun. Mereka adalah Rangga, Gota, Puspa Ningrum, dan dua orang lelaki bertongkat hitam yang masih muda dengan baju com-pang-camptng Semuanya berdiri tegak di depan pintu gerbang itu.
"Jayakrama! Keluar kau...!" teriak Gota lantang.
Teriakan yang disertal penyaluran tenaga dalam itu menggema, membuat burung-burung yang tengah berkicau langsung terdiam. Sepertinya gema suara itu dipantuikan oleh bukit yang mengeiilingl desa ini Namun suasana tetap sepi, tidak ada sahutan dari dalam benteng itu.
Rupanya teriakan Gota yang begitu keras. mengeJutkan semua orang Tampak dari berbagai arah. bermunculan orang berpakaian com pang-camping, Tampak di antara mereka ada Ki Tunggui, pemimpin Partal Pengemls Tongkat Hitam. Laki-laki tua bertongkat hitam Itu menghampiri Gota.
"Mereka masih dl dalam. Sejak kemarin tempat ini kuawasi terus." kata Kl Tunggui memberitahu.
"Awas...!" tiba-tiba Rangga berseru keras.
Pada saat itu, dari atas tembok benteng yang tinggi bermunculan beberapa kepala Dan hampir bersamaan pula, meluruk puluhan anak panah bagai hujan. Rangga dengan sigap merampas tongkat salah seorang pengemis yang berada di dekatnya. Disertal gerakan cepat, drputamya tongkat itu bagai baling-baling. Sementara para pengemls yang berkumpul, langsung berlompatan menghindar. Beberapa di antaranya bdak sempat menghlndari hujan anak panah Itu.
Jerit melengking terdengar saling sahut Hujan anak panah itu terus berdatangan tanpa henrj. Rangga memerintahkan untuk menjauhi benteng ini. Tongkat rampasannya terus berputar meUndungi orang-orang yang berada dl dekatnya. Dia sendrri bergerak mundur, dan baru berhenti setelah berada dalam jarak yang cukup jauh dari jangkauan anak panah.
"Keparat! Pengecut..!" geram Gota sengit
Rangga mengembaHkan tongkat itu pada pemilik-nya. Dipandanglnya pintu benteng yang masih tertutup rapat dan kokoh. Terdengar suara gumaman pelan, kemudian pelahan-lahan tangannya bergerak ke atas, meraih tangkal pedangnya.Apa yang akan kau lakukan. Kakang?" tanya Puspa Ningmm sebelum Rangga mencabut pedang-nya.
"Aku hams menjebol pintu itu," sahut Rangga tanpa berpaling
"Jangan nekad, Kakang. Anak panah akan meng-hujanlmu!" sentak Puspa Ningmm.
"Tidak ada jalan lain. Bersiap-siapiah,•, kata Rangga mantap.
Sret!
Cring...!
Cahaya biru berkilau langsung menyeruak begitu pedang RajawaB Sakti keluar dari warangkanya. Semua orang yang meiihat, membefiak lebar. Belum per-nah cBsaksikan pamor pedang yang begitu dahsyat Mata mereka menjadi silau meiihat cahaya biru yang me ma near dari pedang itu.
Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian diangkatnya Onggj-dnggj sampai di atas kepala. Dengan kaki terpentang lebar dan agak ter-tekuk, dltarik pedangnya menyamping. Tangkai pedang digenggam erat dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian...
"frtiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti Itu meiompat cepat bagalkan kilat Pada saat yang sama, puluhan anak panah menghujaninye. Namun Rangga mengibaskan cepat pedangnya menghalau anak panah itu. Dan begitu Jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan pintu, dia meiompat cepat sambil
berteriak keras menggelegar. "Hh/aaa..!" Gtorrr...!
Begitu pedang RajawaB Sakti menghantam pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, terdengar ledakan dahsyat Seketika, pintu itu hancur berkepingkeping. Tubuh Pendekar RajawaB Sakti langsung menerobos masuk.
"Seraaang...!" teriak Gota memberi komando.
Tanpa menunggu perintah dua kaB, puluhan pengemis beriarian sambil berteriak menyemkan pekik peperangan. Tampak cahaya biru berkilatan di atas1 tembok benteng. Terdengar suara-suara jeritan me-tengkjng tinggi. Beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah jatuh dari atas tembok benteng itu. Puluhan pengemis yang dl komando Gota, menyerbu masuk melalui pintu gerbang yang sudah hancur berantakan.
Pertempuran tidak dapat dihindari lagL Jerit kema-tian dan pekik pertempuran bercampur-baur dengan denting senjata beradu Tubuh-tubuh bersimbah darah bergeUmpangan. Sementara Puspa Ningmm dan Gota mengamuk bo gal sepasang harimau Senjata mereka berkelebatan cepat meminta nyawa dari orang-orang yang mendekattnya. Tidak terhitung lagi nyawa yang melayang tersambar senjata mereka.
"Ha ha ha...! Hayo keluar semua, anjing-anjing keparat! Biar kurobek perut kalian! Ha ha ha...!" ditempat lain, terahat Kl Tunggui bertarung sambil terra wa-tawa
Meskrpun sudah berusla lanjut.
namun Pemlmpin
Partal Pengemts Tongkat Hitam itu masih gesit Gerak-an tubuhnya cepat luar biasa Settap kebutan dan tu-sukan tongkat hitamnya selalu memlnta nyawa la wan.
Sementara itu Rangga melompat mendekati Puspa Ningrum yang mengamuk dahsyat bagai singa betma kehllangan anaknya Rangga hanya sesekali saja me-ngjbaskan pedangnya Diikutinya settap gerak langkah kaW gadis itu. Merasa tidak ada gunanya menggunakan pedang, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan senjata pusaka Itu ke dalam warangkanya di baUk punggung
"Kau bdak mengatakan jumlah mereka begtni ba-nyak, Puspa Ningrum," kata Rangga sambil melayang-kan tangan pada salah seorang yang mencoba menye-rangnya.
Orang itu kontan terjungkal muntah darah, dan bdak bangun-bangun lagi Rangga terus mengikub settap gerak gadb di depannya. Satu dua orang yang mencoba menyerang, harus meiepaskan nyawanya.
"Aku bdak tahu. kemarin jumlah mereka bga puhih orang." sahut Puspa Ningrum sambil bdak henti hentinya mengebutkan sabuk peraknya.
"Ini bukan ttga puhih orang. tapi seratus!" dengue Rangga.
"Mereka anak buahnya si Cakar Maut!" tiba-tiba Kl Tunggui menyahutt.
Rangga melirik pada laki-laki tua itu yang jaraknya cukup jauh juga. Pendekar Rajawali Sakti itu kagum juga pada kehebatan Kl Tunggui yang bisa mendengar mesldpun sibuk mengatasl lawan lawannya
"Aku tak mehhat Jayakrama, Puspa?" tanya Rangga.
"Mungkin ada di ruangan depan." sahut Puspa Ninjaiim
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat melewab beberapa kepala Dua kali berputaran d udara, kemudian dengan manks tubuhnya male tat, dan mendarat di tangga depan. Namun pada saat Itu enam orang kehiar dari dalam, dan langsung menyerang.
"Uts! Hlyaaa...!"
Rangga bdak tanggung tanggung lagi. Langsung dikeJuarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak cepat Kedua tangannya bergerak bagai kilat menghajar enam orang yang bba-ttba menyerangnya Mereka memang bukan tandlngan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu singkat sudah menggeletak tak bemyawa lagL
,fHup!"
Rangga langsung melompat ke beranda. Dan begitu kakinya menjejak beranda, melesat seorang laki-laki samWI memegang pedang terhunus Tanpa ber-kata-kata lagi. c&serangnya Rangga dengan ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah slap, bdak mengalaml kesuhtan untuk berkeftt menghindarl serangan orang itu."Hab-hab, Anak Muda! Dia si Pedang Setan ! Pedangnya bisa mengeluarkan uap beracun!" tiba-tiba Kl Tunggul memperingatkan.
Terima kasih. Ki!" seru Rangga semakin kagum pada laki-laki tua Itu.
Bagaimana tidak? Dalam keadaan bertarung pun masih sempat memperhabkan ke arah lain, dan n ember! peringatan. Hal itu sudah menandakan kalau tlngkat kepandaian Ki Tunggul tinggi sekafl. Sementara Rangga bukannya meremehkan, memang kebal terhadap segala jenis racun apa pun dl dunia ini
Peringatan Ki Tunggul memang benar. Pedang di tangan si Pedang Setan mulal mengeluarkan asap tapis berwama hltam kebrru biruan Namun Rangga sama sekafi tidak terpengaruh, bahkan tetap lincah dan mampu melayani si Pedang Setan meski pun tidak menggunakan senjata.
"Gila! Se harus nya dia mampus c4eh uap bera-cunku!" dengus si Pedang Setan menggerutu dalam hati
Menghadapi lawan yang temyata kebal terhadap uap beracunnya, si Pedang Setan mulal bdak percaya ctiri. Serangan-serangannya Jadi bdak terarah dan sering meiakukan kesalahan Akibatnya memang cukup fatal bag! dirinya sendiri Sudah bdak terhitung lagi, berapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya.
Si Pedang Setan semakin kewalahan. Dia terus terdesak dan bdak mampu lagi membalas serangan serangan Pendekar RajawaB Sakti. Hingga pada satu
saat, satu tendangan keras bdak dapat cBelakkan lagi. Tendangan bertenaga dalam cukup sempuma itu mendarat di dadanya.
"Akh...!" si Pedang Setan memekik keras.
Tubuhnya teriontarjauh, hingga keluar dari beranda. Pada saat itu, Puspa Ningrum meiompat ke arahnya sambil mengebutkan sabuknya hingga menjadi kaku. Sambil berteriak keras. gadis itu menglbas-kan senjatanya ke leher si Pedang Setan.
"Aaa...!" si Pedang Setan menjerit melengking tinggi.
Lehemya hampir put us terpenggal senjata Puspa Ningrum. Tubuhnya ambruk, dan darah memuncrat deras dari lehemya. Hanya sebentar si Pedang Setan mampu bergerak, kemudian diam bdak berkubk lagi Puspa Ningrum mengacungkan Ibu jarlnya pada Rangga yang dlbalas kertingan oleh Pendekar RajawaB Sakti Itu
"Awas dl belakangmu, Puspa...!" teriak Rangga.
Puspa Ningrum memutar tubuhnya setengah me-runduk sambil mengibaskan senjata nya Dan satu orang yang akan membokongnya menjerit melengking. Dadanya sobek terkena sabetan senjata gacBs itu Puspa Nmgrum langsung meiompat ke beranda begitu Pendekar RajawaB Sakti menerobos masuk Pada saat yang sama, Gota Juga melesat, langsung menerobos ke dalam bangunan besar bagai istana Itu.
Rangga, Gota. dan Puspa Ningrum saling berpan-dangan Mereka bdak mendapatkan seorang pun di dalam ruangan besar yang tertata indah ini. Mereka bergerak melangkah pelahan-lahan mefintasl ruangan depan itu. Pandangan mereka tajam mengedar berkeliling
"Apa tidak mungkin mereka sudah kabur, Kakang?" Puspa Ningrum menduga-duga.
"Hm..." Rangga menggumam tidak jelas. "Kau tahu, mungkin ada Jalan lain selain dari depan?"
'Tidak. Aku baru beberapa hari di sini." sahut Puspa Ningrum.
"Gota...?" Rangga meftrik Gota yang berada di samping kirtnya
"Hanya sekali aku berada dl sini. Itu pun karena tertangkap." sahut Gota.
"Bangunan seperti ini biasanya punya jalan raha-sia. Hanya orang dalam saja yang mengetahuinya," kata Rangga setengah bergumam
"Aku tahu..
Ketiga anak muda Itu langsung me note h terkejutKi Tunggui melangkah menghampiri sambil me-nyunggingkan senyuman. Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai. Sementara Rangga. Gota dan Puspa Ningrum hanya sating pandang saja tidak me-ngerti.
"Duhj aku sering datang ke sini, ketika Watu Gayam masih memacft sebuah kacfipaten. Aku tahu seluk betuk istana ini." kata Ki Tunggui.
"Apakah mereka kabur lewat Jalan rahasia, Ki?" tanya Gota.
"Benar." sahut Ki Tunggui kalem.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat kejar!" seru Gota.
"Tidak ada gunanya mengejar lewat Jalan rahasia. Jalan Itu penuh jebakan! Hanya mereka yang tahu kuncinya saja yang bisa tela mat melewatinya Hanya dua orang yang tahu. Ayahmu, dan Kl Jayakrama," kata Kl Tunggui seraya meiirik Puspa Ningrum.
"Jalan itu tembus ke mana, Kl?" tanya Rangga
"Perbatasan sebelah Utara."
Rangga yang seorang raja, mengerti betul sesuk behik Jalan rahasia sebuah bangunan istana. Jalan itu sengaja dibuat untuk menghadapl keadaan darurat Untuk melewatinya. memang tidak mudah. Memerru-kan banyak waktu untuk mencapai pintu tembus, dan ctipertukan stkap hati-hati yang seksama.
"Kakang...! Mau ke mana?" seru Puspa Ningrum melihat Rangga berbalik
"Mencegat mereka!" sahut Rangga sambil terus melangkah cepat
"Aku ikut'" seru Puspa Ningrum bergegas melangkah.
"Kau Juga, Gota. Biar dl sail aku yang tangani," ujar Kl TungguL
"Balk, Kl." sahut Gota.
Ketiga anak muda itu bergegas melangkah ke luar.Sementara pertarungan di halaman bangunan besar bagat istana ini masih terus berlangsung. Tapi para pengemis yang tergabung dalam Partai Pengemis Tongkat Hltam tampaknya bisa menguasal keadaan. Mereka kini berada di atas angin.
Rangga sengaja mengambil Jalan lewat samping menuju sebelah Utara. untuk menghlndari mereka yang sedang bertarung. Pendekar RajawaB Sakti itu segera melesat metewati tembok benteng yang tinggi nya lebih dari tiga batang tombak Gota dan Puspa Ningrum mengikuti, dan bersama-sama melomparj tembok itu dengan mudah.
Dengan mempergunakan ttrnu mertngankan tubuh, ketiga anak muda itu berlarian cepat menuju ke batas Utara Watu Gayam fail Qmu mertngankan tubuh yang dimiBki Pendekar RajawaB Sakti memang sudah mencapai taraf kesempumaan, sehingga Gota dan Puspa Ningrum agak kewalahan untuk mengejamya. Mereka terttnggal jauh dl belakang, mesldpun sudah mengerahkan ilmu mertngankan tubuh sampai batas kemampuan
Dalam waktu yang bdak berapa lama, Rangga sudah sampai cB perbatasan Utara. Dia berhenti dan memandang sekitamya. Setiap semak menjadi per-hattannya. Dibongkamya semua semak yang ada. tapi pintu tern bus jalan rahasia yang dimaksud tidak ruga drtemukan Sementara itu Gota dan Puspa Ningrum sudah sampai dengan napas terengah-engah
"Bagalmana, Kakang?" tanya Puspa Ningrum.
"Belum kutemukan." sahut Rangga sambil membongkar sebuah semak bclukar
"Apakah sebaiknya Wta tunggu saja sampai mereka kekiar, Kakang?" usul Puspa Ningrum.
'Pintu jalan tern bus itu harus drtemukan lebih dahulu, Puspa," sahut Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling
Sementara itu Gota yang memtsahkan cfiri. Juga tengah mencari pintu jalan tern bus Itu Namun, pada akhirnya tampak kesal Juga, karena tidak kunjung menemukannya. Gota berdiri seraya matanya beredat ke sekefdhng Wajahnya memerah bagai kepi ring rebus. Dilampiaskan kekesalannya dengan memukul sebong-kah batu besar yang ada di samprngnya Dan tanpa dbadarl. batu itu bergeser sedikit Rangga yang meiihat, segera meiompat menghampiri. Dikerahkan te-naganya untuk menggeser batu itu
Mefihat ada sebuah celah dl bafik batu Itu, Gota langsung mem bantu. Batu se besar kerbau ifu pun terguiing Tampak sebuah mulut goa yang tidak begitu besar terpampang dl depan mereka. Seiagj mereka memandangi mulut goa Itu, mendadak dua orang melesat dari dalam seru Rangga sambil mendorong Gota ke samping, seraya cepat melenrlngkan tubuhnya ke
udara.
Ki Jayakrama !" deals Gota. begitu mengenab salah seorang yang baru keluar dan dalam goa itu.
"GembeJ busuk! Rupanya kau tahu juga tempat mi, heh?!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Ke mana pun pergi, kau akan kukejar, Jayakrama!" sahut Gota mantap
"Phuih1 Gurumu saja belum tentu mampu menan-dingiku!" ejek Ki Jayakrama.
'Tongkatku ini yang akan membungkam mulut-mu!"
"Bocah setan! Hlyaaa...!"
Ki Jayakrama melompat menenang Gota. Namun pemuda pengemls itu gesit sekali menghindarinya sambil melompat Sementara si Cakar Maut juga tidak ingin ketinggalan. Dia memihh Puspa Ningrum untuk menjadl lawannya. Sedang kan Rangga hanya jadi pe-nonton. Rasanya tidak mungkin mem bantu salah seorang karena jiwa kependekarannya tidak mengl-jinkan untuk main keroyok
Pertarungan berbngsung sengit. Tampak sekali kalau Gota memang bukan tandingan Ki Jayakrama. Baru beberapa funis saja. pemuda pengemls itu sudah terdesak Bah kan kerika pukulan Ki Jayakrama me nyodok dadanya, Gota tidak mampu menghindar Dia memeWk keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam pohon.
"Mampus kau, gembel busuk! Htyaaa...!"
Kl Jayakrama melompat cepat sambil mengayun-kan tongkatnya yang berbenruk ular kobra ke arah Gota. Dan pada saat yang tepat, Rangga melompat cepat menghalau sabetan tongkat laki-laki tua Itu. Ki Jayakrama segera melentingkan tubuhnya ke belakang Dia bersungut-sungut karena serangannya drpa-tahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bocah setan! Siapa kau?" bentak Kl Jayakrama jengket
"Aku lawanmu. Ki Jayakrama," kata Rangga
"Phuih1 Bocah bau kencur mau melawanku!" dengus Kl Jayakrama mere me h kan.
"Kita lihat saja, kau atau aku yang lebih dahuhi masuk ke Hang kubur "
"Kadal buduk! Terimalah kematianmu! Hiaaat...!" Merah padam muka Kl Jayakrama mendapat tan-tangan itu Dia langsung melompat menyerang Pendekar RajawaB Sakti. Laki-laki bertongkat ular kobra itu segera menggunakan jurus-jurusnya yang dahsyat Sementara Rangga hanya menggunakan jurus "Sem-bilan Langkah Ajaib". Meskipun tadi sudah mefihat pertarungan Kl Jayakrama melawan Gota, tapi ingin juga dirasakan angm pukulan tenaga dalam lawannya.
"Hm.... Aku tidak mungkin melawannya dengan tangan kosong," gumam Rangga dalam hari
Setelah mengetahui sampai di mana tingkat ke-pandalan lawan, Pendekar Rajawali Sakti Itu melompat tinggi ke udara seraya mencabut pedang pusakanya. Cahaya biru berMau langsung menyemburat begitu pedang Rajawali Sakti kefuar dari warangkanya. Kl Jayakrama sempat urkeslma melihat pamor pedang itu, tapi dei 3an cepat menyerang kembali begitu Rangga menjejak tanah.
Rar.gga tidak lagi main-main Dtsadart betul kalau lawannya memiltki ilmu yang cukup tinggi, maka langsung saja cbkefajarkan Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Gerakan-gerakan Pendekar Rajawafi Sakti Itu semakin cepat dan membingungkan. Pedangnya ber-kelebatan bagai kllat, sehingga yang terlihat hanya gurungan sinar biru yang menguning tubuh Ki Jayakrama.
Beberapa gerakan berialu, Kl Jayakrama tampak begitu kacau memamkan Jurus-jurusnya. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' mulai mempengaruhl Laki-laki tua Ha Perhatiannya Jadi terpecah, dan aliran darah -nya serasa tidak teratur. Jantungnya terasa lebih cepat berdetak Ki Jayakrama tidak mengerti, kenapa Jadi tidak bisa memusatkan perhatiannya. Sekuat tenaga c&cobanya untuk berkonsentrasl Tapi, semakin keras mencoba, semakin pening terasa kepala nya. Pandang-annya pun mulai mengabur
"Awas kakt..!" seru Rangga tiba tiba
"Uts!"
Kl Jayakrama buru-buru melompat menghindarl sepakan kaki Pendekar Rajawafi Sakti Tapi tanpa di-duga sama sekali. pedang dl tangan Rangga berkelebat cepat bagai kllat menyambar leher Kl Jayakrama, buru-buru ditarik kepala nya ke belakang. Namun ge-rakannya teriambat Ujung pedang Rangga lebih cepat
membabat lehemya.
"Aaa...!"Kl Jayakrama menjerit keras melengking.
Darah menyembur dari leher yang koyak Belum lagi laki-laki tua itu bisa menguasal tubuhnya. Rangga sudah mengibaskan pedangnya, langsung merobek
dada Ki Jayakrama. Kembali dia menjerit melengking Tubuhnya fimbung beberapa saat, kemudian ambruk menggelepar eft tanah. Hanya sebentar menggelepar. kemudian dlam bdak bergerak-gerak lagi. Man
Jerttan kemaban Ki Jayakrama membuat si Cakar Maut jadi kecut hatinya. Buru-buru dia melompat kekiar dari pertarungannya melawan Puspa Ningrum. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Gota melompat cepat dan menusukkan ujung pedangnya. Si Cakar Maut tidak bisa menghindar lagi Ujung tongkat Gota menembus dadanya hlngga ke punggung.
Kembali jeritan menyayat terdengar. Begitu Gota menarlk kekiar tongkatnya, si Cakar Maut ambruk dengan nyawa melayang dari badan Puspa Ningrum bertari menghampiri Gota. Mereka memandang tubuh lawan-lawannya yang sudah tidak bemyawa lagi, kemudian safing berpandangan.
"Kak Puspa..." desah Gota pelan.
"Gota, acfikku...."
Sesaat mereka safing berpandangan. kemudian berpetukan hangat Mereka adalah kakak beradik yang terpisah, meskipun terlahir dari lain ayah. Sementara Rangga yang menyaksikan semua itu, segera melangkah rlngan meninggalkannya Dan dengan satu lesatan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang
Agak lama Juga kakak beradik Itu berpelukan. Mereka bam meiepaskan pelukan itu begitu menyadarl ada orang lain yang ikut membanru. Tapi mereka jadi cettngukan, karena tidak lagi melihat Rangga di tem-patnya."Dia sudah pergi," desah Gota pelan.
"Ya. Kita pa rut berterima kasih padanya," sahut Puspa Ningrum pelan.
Gota menatap kakaknya. Saat yang sama Puspa Ningrum juga menatap pemuda itu.
"Apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanya Gota.
"Entahlah. Aku merasa Watu Gayam bukan tempat yang tepat untukku." sahut Puspa Ningrum.
"Aku juga tidak akan kembali ke sana. Terlalu pahit bagjku," ujar Gota.
"Gota, sebaiknya kita ke Padepokan Tapak Wisa saja. Eyang Lenteng pasti menerimamu dengan senang hati," usul Puspa Ningrum.
"Eyang Lenteng memang pemah menawarkan padaku."
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang."
"Aku harus pamitan dulu pada Ki Tunggul. Dia begitu mengharapkanku untuk memimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku tidak Ingin mengecewa-kannya."
"Aku akan menunggu sampai kau slap, Gota," tiba-tiba Ki Tunggul sudah ada di situ. "Ki...!" Gota terkeJuL
"Memang seharusnya kau ke Padepokan Tapak Wisa. Aku sudah bicara kepada Eyang Lenteng. Dia berjanji akan rnenurunkan ilmunya padamu Juga kau, Puspa," jelas Ki Tunggul lagi.
'Terima kasih, Ki," ucap Gota dan Puspa Ningrum bersamaan.
"Pergflah. Aku menunggu di Padepokan Partai Pengemis Tongkat Hitam."
Setelah berkata demikian, Ki Tunggul langsung melesat Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Marl, Kak," ajak Gota.
Puspa Ningrum mengangguk. Mereka kemudian berjalan berdampingan, sambil menceritakan tentang dm" masing-masing. Tidak ada lag! perasaan ber-musuhan atau saling curiga. Yang ada kini hanya rasa rindu selama dua puluh tahun berpisah. Mereka berjalan menuju lembaran hidup baru. Lembaran yang begitu banyak menjanjikan bagi masa depan mereka berdua.
SELESAI

Tidak ada komentar: