Sabtu, 19 September 2009

keris nagapusong 3

ahatkah sifat mata keranjang seperti yang dimiliki Ginantoko atau Sang Arjuna
sekalipun itu? Ini pun tergantung pada diri penilai. Kalau saja dia berhubungan dengan
wanita atas dasar suka sama suka dan wanita itu masih bebas , siapa dapat

mengalahkan dia atau wanita itu? Asalkan dia tidak diperkosa, mempergunakan
kekerasan memaksa wanita, atau asal tidak menggoda wanita yang sudah bersuami
sehingga rumah tangga suami istri itu jadi hancur. Di sinilah letak kesalahan Ginantoko,
seperti juga yang sering dilakukan oleh Sang Arjuna, Ginantoko tidak lagi
memperhitungkan apakah wanita itu bersuami ataukah tidak. Kalau bertemu seorang
cantik yang berkenan di hatinya, lalu wanita itu membalas lirikannya, membalas
senyumnya, tentu dia merayu sampai wanita itu berhasil tidur dalam pelukannya, tanpa
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 11
memperdulikan apakah wanita itu istri orang atau bukan. Dan hal ini tentu saja berakibat
panjang Ginantoko dimusuhi banyak suami yang merasa cemburu! Akan tetapi
Ginantoko seorang murid Empu Gandring yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga
ketika melihat Ken Endok hendak dipukul suaminya saja, dia yang memang melakukan
pengamatan lalu turun tangan dan memukul roboh suami wanita itu! Dan masih banyak
suami-suami terdahulu yang dirobohkannya kalau berani menyerangnya karena
cemburu. Kalau sudah demikian, maka tentu saja petualangan asmaranya itu sudah
termasuk jahat karena merugikan orang lain.
Pernah Empu Gandring menegur dan memberi nasihat kepada murid dan juga
keponakannya ini, “Ginantiko, kenapa engkau masih juga belum mau mengubah sepak
terjangmu dalam hidup yang penuh dengan penyelewengan itu? Kemarin aku menerima
pelaporan Ki Demang Gawangan yang mengabarkan bahwa seorang selirnya kau
ganggu.”
Ginantoko tersenyum menghadap gurunya dan juga pamannya itu, “Paman, kalau selir
Demang itu sendiri yang suka kepada saya, lalu melayani hasratnya, bukankah berarti
saya yang telah menolongnya, juga membantu Ki Demang agar selirnya itu tidak
menjadi terluka dan sakit hati karena Ki Demang yang sudah tua tidak mampu melayani
hasratnya yang bernyala-nyala?”
Mau tidak mau Empu Gandring tersenyum juga. Keponakannya ini memang pandai
bicara, dan teringatlah dia akan nasib adiknya, ayah dari Ginantoko, yaitu Empu Krepo.
Adiknya itupun memiliki watak yang sama dengan Ginantoko, hanya karena adiknya itu
tidak setampan Ginantoko, maka banyak wanita yang menolaknya sehingga pada suatu
hari dia melakukan pemaksaan atas diri seorang wanita dan akibatnya dia harus
menebus dengan nyawa karena dia dikeroyok oleh suami dari wanita itu bersama temantemannya.
“Jangan begitu, Nantoko. Kalau kau lanjut-lanjutkan, akhirnya engkau pun akan
terancam bahaya maut, karena pria mana yang tidak akan merasa sakit hatinya kalau
melihat istrinya diganggu pria lain? Musuhmu menjadi bertambah banyak dan engkau
tahu diri, ilmu kadigdayaan itu ada batasnya. Setinggi-tingginya Gunung Mahameru,
masih ada langitnya dan bintang yang tak terhitung yang jauh lebih tinggi lagi.
Sepandai-pandainya orang, tentu akan ada yang lebih pandai lagi.”
Ginantoko mengerutkan alisnya, “Maaf, Paman. Saya kira mati bukanlah urusan kita,
setiap orang pada akhirnya maesti mati. Kalau Yang Maha Kuasa mneghendaki, saya
tidak akan mati biar dikeroyok seribu orang sekalipun. Akan tetapi kalau Sang Hyang
Syiwa sudah menghendaki, biar saya bersembunyi di lubang semut, maut akan datang
juga menjemput. Ada yang mati dalam perang karena dia perajurit, mati dalam
perkelahian karena pendekar, dan kalau saya mati karena urusan perempuan yang
memang menjadi kesukaan saya, maka saya pun sudah rela.”
Mendengar bantahan itu, Empu Gandring hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kehendak Hyang Widhi tak dapat diubah oleh siapa pun juga....” keluhnya. Bagi
Ginantoko, ucapan itu dikiranya membenarkan pendapatnya tadi, padahal maksud Empu
Gandring adalah lain. Dia melihat dengan indra ke enamnya bahwa pemuda itu akhirnya
akan mengalami nasib yang sama seperti mendiang ayahnya. Dia sudah mencoba untuk
mengingatkan. Nasib seorang bergantung di dalam tangannya sendiri. Kalau orang mau
mengubah kebiasaan yang buruk, tentu nasibnya akan berubah pula.
Semenjak Ken Endok bercerai dari suaminya dan wanita yang sudah mengandung ini
tinggal di Dusun Pangkur dan bekas suaminya Gajahporo tinggal di Dusun Cempoko,
terdengar berita bahwa lima hari setelah perceraian itu, Gajahporo meninggal dunia! Hal
ini sebenarnya terjadi karena luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pukulan dan
tendangan Ginantoko yang sakti. Akan tetapi karena berita bahwa Ken Endok dipilih
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 12
Sang Hyang Brahma sebagai istri dan telah mengandung keturunan dewa itu, maka
ramailah orang mempercakapkan kematian itu. Sebagian besar mengatakan bahwa tentu
Gajahporo telah melakukan pelanggaran, hendak menggauli istrinya, terkena kutuk dan
kualat!
Dan malanglah bagi Ken Endok, sejak bercerai dan kematian bekas suaminya. Sang
Arjuna tidak pernah muncul lagi! Agaknya setelah ia mengandung. Laki-laki tampan itu
tidak berminat lagi mendekatinya dan jadilah Ken Endok seorang janda yang
mengandung tua tanpa suami!
Mulailah penyesalan datang dalam hati wanita ini. Penyesalan yang sudah terlambat. Dan
memang sesal kemudian tidak ada gunanya sama sekali, hanya mengundang kedukaan
dan kekeruhan pikiran yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang sesat pula.
Kadang-kadang, kesenangan sekelumit yang dinikmati akan mendatangkan penyesalan
selama hidup. Oleh karena itu, sekali lagi, orang bijaksana tidak akan MENGEJAR
KESENANGAN, walaupun hal ini bukan berarti menolak kesenangan yang sudah menjadi
hak setiap manusia untuk menikmatinya. Kandungannya semakin tua dan hatinya
semakin trenyuh. Pria yang diidamkannya tak kunjung datang biar pun setiap malam ia
sudah bersembahyang memohon kepada Sang Hyang Brahma agar berkenan
mengunjunginya. Tentu saja sebagai seorang yang percaya penuh akan anggapan bahwa
ayah anak yang dikandungnya adalah Sang Hyang Brahma, Ken Endok tidak berani
marah dan hanya tenggelam dalam kesedihannya saja.
****
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tentu saja tidak lepas dari pada ikatan sebab dan
akibat. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan ada sebab tentu saja ada akibatnya. Pada
suatu pagi, dua pasang manusia sedang berkasih-kasihan di tepi Sungai Brantas, di
lembah yang hijau subur. Mereka berdua saling berangkulan dengan asyik masyuk, lupa
akan keadaan di sekeliling mereka. Seolah-olah di dalam dunia hanya ada mereka
berdua yang perempuan adalah seorang muda paling banyak dua puluh lima tahun,
berkulit agak hitam, akan tetapi hitam manis.
“Ihh, kau nakal, Kakangmas!” si perempuan menepiskan tangan Ginantoko yang jahil
dan mengakibatkan kemben wanita itu terlepas.
Ginantoko merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra, membuat si wanita hanya
dapat merintih, “kenapa nakal? Bukankah kita sudah sering melakukan?”
“Benar, akan tetapi di malam hari, dan di tempat yang tersembunyi. Bukan pagi-pagi
hari begini.”
“Apa bedanya? Di sini pun sunyi dan pagi ini cerah sekali, hawanya sejuk menimbulkan
selera....”
“Ihh, kau tak puas-puasnya!”
“Mana bisa puas menghadapi seorang wanita sepertimu, Diajeng Galuhsari? Kalau bisa,
kau ingin kutelan agar selamanya berada dalam diriku.”
“Hiiih, apa kau mau menjadi Buto Ijo?” Wanita itu cemberut dan mereka tertawa-tawa
sambil bermesraan.
Dua insan itu sama sekali tidak mengira bahwa agak jauh dari tempat itu, di balik semak
belukar, terdapat lima pasang mata yang mengintai semua gerak-gerik mereka. Lima
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 13
pasang mata yang semakin lama semakin merah menyala saking marahnya. Andaikata
dua insan itu tidak sedang tenggelam dalam nafsu birahi, tentu mereka akan dapat
mengetahui bahwa mereka sedang diintai bahaya. Ginantoko adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan pendengaran dan penglihatannya
sudah terlatih dengan amat baik sehingga kedatangan orang yang mendatangkan sedikit
suara saja sudah akan dapat ditangkapnya. Juga wanita hitam manis itu bukan
sembarangan. Wanita yang bernama Galuhsari itu adalah istri dari ketua perkumpulan
Sabuk Tembaga yang terkenal sebagai perguruan pencak silat yang terkenal. Dan
sebagai istri ketua perkumpulan itu, tentu saja Galuhsari juga pandai ilmu bela diri dan
tidak sembarang orang, biar dia laki-laki, mampu mengalahkannya. Kalau dia sampai
jatuh hati dan mau saja dipermainkan dalam cinta oleh Ginantoko adalah karena
pertemuan mereka yang pertama kali amat terkesan di hatinya karena ia dikalahkan oleh
Ginantoko! Pertemuan itu terjadi di dalam hutan ketika Galuhsari sedang memburu
kijang. Ketika ia melepaskan anak panah, tiba-tiba saja anak panahnya itu disambar
orang dan Ginantoko menangkapkan kijang itu hidup-hidup untuknya. Mula-mula
Galuhsari marah dan terjadi perkelahian di antara mereka, namun Ginantoko
mempermainkan wanita itu yang akhirnya terjatuh ke dalam pelukannya!
Siapakah lima orang yang sedang mengintai dari balik semak belukar itu? Bukan lain
adalah Ki Bragolo sendiri, ketua dari perkumpulan Sabuk Tembaga! Dan yang empat
orang adalah murid kepala yang sudah memiliki tingkat paling tinggi di antara para
murid Sabuk Tembaga.
Mudah saja dibayangkan betapa perasaan hati Ki Bragolo menyaksikan istrinya bermain
cinta begitu bebasnya di alam terbuka, tanpa malu-malu sama sekali! Dan yang
membuat dia semakin panas hatinya, belum pernah istrinya bersikap seberani dan
segairah itu apabila bermain cinta dengan dia, suamiya! Galuhsari telah menjadi istrinya
selama hampir sepuluh tahun, ketika wanita itu baru menginjak usia enam belas tahun
dan dia sendiri sudah lima puluh tahun, Kini usianya sudah enam puluh tahun. Namun Ki
Gragolo adalah seorang kakek yang betubuh tinggi besar seperti raksasa, dengan tenaga
gajah dan senjatanya yang ampuh, yaitu sabuk tembaga, yang juga menjadi nama
perguruannya, amat ditakuti orang!
Tentu saja Ki Bragolo tidak kuasa menahan lagi kesabaran hatinya. Dia tidak rela
membiarkan istrinya itu menikmati permainan cinta liar itu sampai puas, dan dengan
penuh kemarahan dia meloncat keluar diikuti oleh empat orang muridnya, yaitu empat
laki-laki yang usianya rata-rata sudah tiga puluh tahun lebih. Mereka berempat juga
merasa panas hatinya melihat betapa istri guru mereka bermain cinta demikian
mesranya dengan Ginantoko. Mereka semua diam-diam juga tergila-gila pada istri guru
mereka yang cantik, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah memperoleh
kesempatan mencicipi madu kembang itu yang sama sekali memperlihatkan sikap ramah
atau mesra kapada pria lain. Dan kini tahu-tahu bermain cinta sedemikian mesranya
dengan laki-laki lain.
Tentu saja Ginantoko dan Galuhsari terkejut bukan main melihat keluarnya lima orang
itu, apalagi ketika mengenal bahwa yang keluar itu Ki Bragolo sendiri bersama empat
orang murid cabang atas. Wajah Galuhsari menjadi pucat, akan tetapi cepat ia
membereskan pakainnya.
Ginantoko sendiri memperlihatkan sikap seorang petualang asmara yang tulen. Dengan
amat tenangnya, sambil tersenyum, dia membereskan pakaiannya, bahkan sempat
membereskan gelungan rambutnya sebelum menghadapi lima orang itu sambil
tersenyum ramah!
“Kiranya paman Ki Bragolo yang datang. Selamat pagi, Paman.”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 14
Dapat dibayangkan betapa dada raksasa tua itu seperti akan meledak! Dengan mata
melotot seperti akan keluar dari pelupuknya, Ki Bragolo membentak, “Ginantoko,
jahanam keparat! Engkau telah merusak pagar ayu, mengganggu istriku dan engkau
masih bersikap seperti ini dan tidak lekas berlutut minta ampun?”
Ginantoko tersenyum lebar dan mengusap keringat di leher dan dahinya. Permainan
asyik dan masyuk bersama kekasihnya tadi membuat dia berkeringat. “Paman Ki
Bragolo, seorang laki-laki tidak akan melarikan diri dari kenyataan, tidak akan melarikan
diri dari tanggung jawab. Memang aku dan Diajeng Galuhsari saling mencintai. Itulah
kenyataan dan sekarang terserah kepada Paman. Untuk apa aku minta ampun?”
“Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan batu hitam! Ginantoko, perbuatanmu
yang laknat itu hukumannya hanya satu yaitu hukuman mati!”
“Hemmm, begitukah, paman? Dan siapa gerangan orang yang akan menghukum aku?”
“Akulah yang akan membunuhmu, keparat!” bentak seorang di antara murid Ki Bragolo,
dan dia sudah menerjang ke depan setelah dia tadi melolos sabuknya. Setiap murid
perguruan Sabuk Tembaga selalu memakai sebuah sabuk terbuat dari tembaga di
pinggangnya, dan tingkat mereka dapat diukur dari tebal tipis dan berat ringannya sabuk
itu. Kini penyerang yang tingkatnya sudah paling tinggi di antara murid-murid itu,
sabuknya tebal dan besar, tidak kurang dari lima kilo beratnya.
“Wirr......!” Sabuk yang berat dan panjangnya tidak kurang dari satu meter itu diayun di
atas kepalanya lalu turun menyambar ke arah kepala Ginantoko. Pemuda itu masih
tersenyum, lalu dengan sedikit miringkan kepala, sambaran sabuk itu pun luput.
Penyerangnya penasaran dan sabuk itu tidak berhenti, terus membuat gerakan
melengkung dan membalik, kini menyambar ke arah dada Ginantoko.
Ginantoko tidak beranjak dari tempat dia berdiri hanya kini tangan kirinya menangkis
sambaran sabuk tembaga itu. Sungguh perbuatan yang berani sekali, menangkis
sambaran senjata itu dengan tangan kosong saja.
“Plakk! Desss!” Dan tubuh murid pertama itu pun terpelanting. Kiranya lengan kiri
Ginantoko kebal dan dapat menangkis senjata itu dan berbareng dia sudah mengirim
tendangan yang mengenai perut lawan, membuat lawan terjengkang dan terpelanting.
Marahlah Ki Bragolo. Dia menggereng seperti seekor beruang marah, dan sabuknya yang
beratnya belasan kilo itu pun sudah merada di tangan kanannya. Juga tiga orang murid
lainnya sudah marah dan mereka pun menyerbu. Murid yang tadi tertendang jatuh juga
bangkit lagi.
“Aha, kiranya ketua Sabuk Tembaga hanyalah seorang kakek yang beraninya hanya
melakukan pengeroyokan!” Ginantoko berseru mengejek sambil melakukan pengelakan
dengan loncatan ke kanan dan ke kiri dengan amat lincahnya, kadang-kadang menangkis
dengan kedua lengannya. Memang hebat pemuda ini . Hantaman sabuk tembaga di
tangan Ki Bragolo yang beratnya belasan kilo pun berani dia menangkisnya.
Sementara itu, Galuhsari hanya nonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia memang
benar istri Ki Bragolo, sudah sepuluh tahun, akan tetapi mereka tidak mempunyai anak,
dan pula, ia tidak pernah dapat mencintai suami yang sepak terjangnya seperti raksasa,
kasar dan tidak pernah memperlihatkan kemesraan itu. Di tangan Ki Bragolo, ia merasa
seperti menjadi boneka yang dipermainkan saja. Berbeda kalau ia bercinta dengan
Ginantoko, ia benar-benar merasakan kenikmatan karena ia bukan hanya dicintai dan
dipermainkan, melainkan ia pun mencinta dan memparmainkan, permainan cinta mereka
bukan sepihak saja, melainkan permainan mereka bersama dan dinikmati bersama.
Hanya kini ia merasa menyesal karena ia telah menyeret Ginantoko ke dalam kesulitan.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 15
Menghadapi suaminya kini, apalagi masih dibantu empat orang murid, sungguh
merupakan hal yang amat berbahaya dan berat.
Namun, semakin lama ia menjadi semakin kagum terhadap kekasihnya. Ginantoko
benar-benar hebat. Kini bukan saja ia dapat mengelak dan menangkis, bahkan mulai
membalas. Ketika ada sabuk tembaga menyambar ke arah perutnya dari samping, dia
malah tersenyum dan tidak menangkis, membiarkan sabuk itu mengenai lambungnya.
“Bukk!” Dan si pemegang sabuk itu menjerit kesakitan karena telapak tangannya sendiri
lecet. Seolah-olah sabuknya tadi menghantam lambung baja saja. Ki Bragolo maklum
bahwa pemuda murid Empu Gandring ini memang kebal, maka dia pun berseru, “Serang
kepalanya!”
Memang Ki Bragolo yang sudah tua itu, banyak pengalamannya. Orang boleh kebal
badannya, akan tetapi sukar untuk mempelajari ilmu kekabalan kepala! Di kepala
terdapat otak yang mudah terguncang, apalagi di bagian muka terdapat bagian-bagian
lemah seperti mata, hidung, mulut, dan telinga. Setelah kini lima batang sabuk tembaga
menghujamkan serangan ke arah kepalanya, Ginantoko mulai terdesak. Pukulan
mengenai leher, pundak ke bawah, diterimanya dengan perlindungan kekebalan, akan
tetapi yang menyerang kepala terpaksa harus ditangkis atau dielakkan. Dia pun mulai
marah dan sambil mengeluarkan pekik panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan
dan dua orang murid Sabuk Tembaga jatuh terseungkur dan tidak ada yang mampu
bangkit kembali terkena pukulan kedua tangan yang ampuh dari pemuda itu.
Melihat ini, Ki Bragolo terkejut, Ginantoko mendapat hati, dan kini ia mendesak lagi dua
orang murid lainnya. Dipikirnya, kalau empat orang murid mudah roboh, akan mudah
baginya untuk menghadapi dan mengalahkan Ki Bragolo yang tangguh itu. Melihat itu, Ki
Bragolo khawatir kehilangan semua muridnya. Pada saat Ginantoko melancarkan
serangan dahsyat ke arah dua orang muridnya, diam-diam dia melolos sebatang keris
dari pinggangnya dan menusukkan keris itu ke dada Ginantoko. Pemuda itu masih
tersenyum dan menerima tusukan keris itu sambil mengerahkan tenaga sakti di
tubuhnya untuk membuat bagian dada yang tertusuk itu menjadi kebal. Keris itu
meluncur dan menghujam dada.
“Crapp.....!”
“Aduuuuuhhh...... heiiii, aduh.....!” Ginantoko mengeluh keheranan dan ketika keris itu
dicabut, darah muncrat-muncrat keluar dari dadanya karena ujung keris mengenai
jantungnya.
“Kakangmas........!” Galuhsari menjerit dan lari menubruk kekasihnya, kemudian ia pun
melompat dan melolos sabuk tembaga dari pinggangnya. “Engkau..... engkau..... curang,
mengeroyok dan membunuhnya.” Dan istri ini pun seperti seekor singa betina telah
menerjang suaminya sendiri. Akan tetapi, karena Ki Bragolo adalah guru juga dari
Galuhsari, dengan mudah Ki Bragolo mengelak, lalu dengan keris yang masih basah oleh
darah Ginantoko itu meluncur dan memasuki dada Galuhsari. Wanita itu menjerit dan
roboh terguling.
Ginantoko merangkak duduk dan memandang ke arah keris di tangan lawan. Dia melihat
sebatang keris panjang dengan lekukan lima belas, sebatang keris yang mengeluarkan
sinar aneh dan melihat keris itu, dia menjadi pucat. “Empu.... Empu Gandring...”
“Ha-ha-ha-ha, manusia hina. Memang benar, aku meminjam pusaka Nogopasung ini dari
gurumu sendiri, ha-ha-ha-ha!”
“Ah, paman Empu Gandring...... aku mati oleh kerismu..... semoga engkau pun akan
mati oleh kerismu sendiri.....” dan Ginantoko pun terkulai dan menghembuskan napas
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 16
terakhir, hampir bersamaan dengan kekasihnya.
****
“Kakang Empu, terima kasih atas pemberian pinjam keris pusaka Nogopasung ini. Terima
kasih dan ini saya kembali dalam keadaan utuh,” Kata Brogolo kepada Empu Gandring
yang duduk dikelilingi cantriknya.
Empu Gandring menerima keris itu dan mencabutnya dari sarungnya. Melihat betapa di
ujung keris itu ada darah yang sudah kering, sepasang alis kakek itu berkerit dan Ki
Bragolo cepat berkata, “Maafkan saya, Kakang Empu. Sudah saya usahakan untuk
mencuci bersih noda darah itu, namun tidak berhasil.”
Kakek itu manarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Kalau yang menodai hanya
darah pria saja, atau darah wanita, tentu mudah dibersihkan. Akan tetapi kalau yang
menodai darah campuran antara darah pria dan darah wanita, tak mungkin dilenyapkan,
Adi Bragolo. Sekarang katakan saja terus terang, darah siapakah yang telah menodai
Kyai Nogopasung ini?” Ketika melihat Ki Bragolo nampak ragu-ragu dan wajahnya pucat,
Empu Gandring berkata lagi, ”Tak usah ragu-ragu atau khawatir, Adi Bragolo. Segala
peristiwa yang terjadi sudah dikehendaki oleh Hyang Widhi Wasa, yang penting kita
berada dipihak yang benar. Tanpa kau ceritakan aku dapat mengetahui, akan tetapi aku
tidak ingin mendahului kenyataan.”
Mendengar ini, Ki Bragolo mengusap air matanya. Ampun beribu ampun, Kakang Empu,
terus terang saja, ketika meminjam keris pusaka itu, saya sudah mempunyai niat untuk
membunuh murid dan keponakan Kakang sendiri, yaitu Ginantoko! Dia telah berjina
dengan istri saya, maka tidak ada jalan lain bagi saya kecuali membunuh mereka.” Sang
Empu Gandring menarik napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia amat
mencintai Ginantoko, akan tetapi pemuda itu memang tewas oleh ulahnya sendiri dan
hal ini beberapa bulan yang lalu pernah ia peringatkan. “Ahh, engkau tidak bijaksana
menjadi suami. Akan tetapi, mengapa untuk membunuhnya engkau harus meminjam
pusakaku?”
“Maaf, Kakang Empu. Ginantoko adalah murid Kakang, memiliki kekebalan yang ampuh
dan saya menduga bahwa kekebalannya itu hanya akan punah kalau diterjang pusaka
ciptaan Empu Gandring. Bukan begitu, Kakang Empu?”
Empu Gandring menarik napas panjang. “Dugaanmu yang tepat itu menjadi tanda bahwa
memang sudah tiba saatnya Ginantoko harus meninggalkan dunia ini. Dan memang dia
sudah mengatakan bahwa dia akan puas kalau tewas dalam melaksanakan kesukaannya
dan dia tewas diujung keris yang sama dengan kekasihnya yang terahir. Aduhhh, dunia
penuh dengan kesengsaraan yang dibuat oleh manusia sendiri.”
Setelah Ki Bragolo dan murid-muridnya meninggalkan padepokan Empu Gandring, kakek
ini lalu mengutus cantrik-cantriknya untuk mengambil jenazah Ginantoko dan Galuhsari,
mengurus jenasah dengan seperlunya. Untuk pembakaran kedua jenazah itu, dia
memberi tahu kepada istri Ginantoko yang masih mengandung.
Istri Ginantoko juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Dyah Kanti, puteri tunggal
dari panembahan Pronosidhi yang bertapa di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika pertam
kali bertemu dengan Dyah Kanti yang menjadi istrinya itu, Ginantoko masih menjadi
murid Empu Gandring dan belum nampak sifatnya yang mata keranjang. Baru setelah
dia menikah dan istrinya mulai mengandung, penyakit mata keranjang itu
menghinggapinya dan makin lama makin meghebat.
Dyah Kanti menangis dan kalau saja ia tidak sedang mengandung, tentu akan ikut mati
obong (bunuh diri dalam api) bersama jenasah suaminya. Akan tetapi Empu Gandring,
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 17
dan juga anembahan Pronosidi yang hadir, menasehatinya. Bahkan ketika wanita itu
menyatakan kemarahan dan dendamnya kepada Ki Bragolo, ayahnya sendiri
menegurnya.
“Angger Kanti, anakku. Tenangkan dulu batinmu dan jernihkan pikianmu. Orang tidak
harus melihat akibat saja tanpa menjenguk sebabnya. Kematian suamimu dibunuh orang
hanyalah akibat, dan sebabnya terletak pada diri suamimu sendiri. Menuruti perasaan
dan dendam hanya akan mercuni batinmu. Sekarang duduklah engaku dengan tenang
dan bayangkan dirimu sendiri. Andaikata engkau seorang suami lalu melihat istrimu
digoda pria lain, apa yang akan kau lakukan?”
Dyah Kanti tak mampu menjawab. Andaikata aku, anakku, yang mengalami musibah
seperti yang menimpa diri Ki Bragolo, aku akan mengalah dan membiarkan saja, bahkan
aku akan menganjurkan mereka untuk bersatu menjadi sepasang suami istri. Akan tetapi
mungkin hanya beberapa orang seperti aku dan Adi Empu Gandring saja yang mampu
melakukan hal itu. Sebagian besar orang tentu akan dihinggapi amarah yang mebuat
mata gelap dan terjadilah permusuhan dan pembunuhan. Kematian suamimu sudah
wajar, karena perbuatannya sendiri. Dan ingat baik-baik, aku berpesan agar kelak
engkau tidak menanamkan dendam dalam batin anakku!”
“Sadhu-sadhu-sadhu....! Apa yang diucapkan Kakang Panembahan itu sungguh tepat
sekali. Lihat, angin pun berhenti besilir untuk mendengarkan wejangan yang amat suci
itu, anakku yang baik. Dyah Kanti, engkau taatilah pesan ayahmu dan keris pusaka
Nogopasung ini kuberikan kepadamu, agar kelak kau serahkan pada anakmu. Akan
tetapi ingat, kalau sampai dipergunakan untuk mebalas dendam, akibatnya bisa
mengutuk sendiri,” berkata demikian, Empu Gandring lalu menyerahkan keris pusaka
yang panjang berlekukan lima belas itu.
Diingatkan oleh dua orang kakek sakti yang bijaksana itu, luluh semua kekerasan hati
Dyah Kanti dan ia pun lalu ikut bersama ayahnya kembali ke padepokan ayahnya di
lereng Gunung Anjasmoro.
****
Ken Endok mengalami penderitaan batin yang sama berat. Memang masih ada yang
percaya bahwa anak dalam kandungannya itu keturunan Sang Hyang Brahma, akan
tetapi ada pula mulut usil para tetangga, terutama sekali para wanita, yang mulai
menyindir-nyindir karena ia seorang janda muda yang mengandung tanpa ayah! Karena
merasa menderita batin, hampir saja ia tewas ketika melahirkan seorang anak laki-laki
yang sehat. Untung ia ketulungan oleh seorang dukun beranak yang pandai dan teringat
akan pesan “Sang Hyang Brahma”, anak itu lalu diberi nama Ken Arok!
Sebelum pengarang melanjutkan cerita ini, patut kiranya diketahui oleh para pembaca
bahwa cerita tentang Ken Arok - Ken Dedes dianggap sebagai dongeng dan hanya
terdapat dalam kitab Pararaton yang barasal dari Pulau Bali. Dalam Kitab
Negerakertagama nama Ken Arok tidak disebut-sebut. Pengarang sengaja menggubah
lagi tentang kisah Ken Arok ini setelah mempelajari banyak kitab kuno, antara lain
Negarakertagama, Babat Tanah Jawi, Sarwasastra, Sejarah Kerajaan Majapahit dan lainlain,
Lalu pengarang olah dengan hasil khayal sendiri. Adapun cerita mengenai Ken Arok
ini, hanya merupakan latar belakang sejarah saja, dan tokoh-tokoh lain yang muncul
dalam cerita ini hanya khayali pengarang semata.
Mungkin karena malu melahirkan seorang anak tanpa bapak yang jelas, Ken Endok lalu
membawa anak yang baru lahir itu ke kuburan di mana terdapat pula makam mendiang
suaminya, Gajahpuro. Bagaimanapun juga, yang menyebabkan keributan adalah
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 18
mendiang suaminya itu, yang dengan tidak percayaan dan kecemburuannya telah
mendatangkan aib pada dirinya dan agaknya memarahkan Sang Hyang Brahma sehingga
tidak pernah muncul kembali! Ia lalu meninggalkan bayi itu ditengah-tengah tanah
kuburan pada malam hari.
Kalau segala hal terjadi seperti biasa, dapat dipastikan bahwa bayi Ken Arok itu akan
meninggal dunia, ditinggalkan seorang diri saja di dalam kuburan seperti itu. Namun,
mati hidup manusia merupakan rahasia yang sampai kini belum juga terpecahkan oleh
manusia. Ken Arok ditakdirkan untuk tidak mati di waktu bayi. Tanpa disengaja, seorang
gembong pencuri yang biasa melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi seperti
sawah-sawah, hutan-hutan dan kuburan-kuburan, lewat tengah malam sehabis
melakukan pencurian, lewat di kuburan itu dan dia mendengar suara tangis bayi.
Cepat dihampirinya suara itu, sebagai seorang maling yang sudah biasa melakukan
perjalanan malam melalui tempat-tempat yang keramat dan angker, dia tidak merasa
takut. Padahal bagi orang biasa, berjalan di malam hari melalui kuburan lalu mendengar
suara bayi menangis, sembilan di antara sepuluh orang tentu akan lari tunggang
langgang mencari teman untuk menjenguknya! Lembong, demikian nama gembong
maling itu, menemukan seorang bayi yang montok sehat dan dia pun girang sekali. Dia
sendiri sudah mendambakan seorang anak dan kini dia menmukan seorang bayi mungil
di kuburan. Dibawanya bayi itu pulang dan diakui sebagai anaknya.
Sekejam-kejamnya harimau, takkan makan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya hati
seorang ibu, tak mungkin ia dapat melupakan anaknya. Setelah meninggalkan anaknya
di kuburan, semalam suntuk Ken Endok tak mampu memejamkan matanya. Ia merasa
menyesal sekali, merasa berdosa. Akan tetapi ada keyakinan di hatinya. Bukankah anak
itu keturunan Sang Hyang Brahma? Kalau benar, tentu Sang Hyang Brahma tidak akan
membiarkan anaknya mati kedinginan atau kelaparan atau dimakan hewan galak di
kuburan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kuburan itu
untuk melihat apa yang telah terjadi dengan bayi yang ditinggalkan semalam. Dan bayi
itu kini telah tiada! Hati Ken Endok diliputi pertanyaan dan kecemasan, lalu ia pun pergi
mencari di dusun-dusun yang terdekat. Akhirnya ia mendengar bahwa seorang bernama
Ki Lembong telah memungut seorang anak laki-laki. Bukan main girang rasa hati Ken
Endok dan semakin tebal keparcayaannya bahwa “bapak” anaknya itu ternyata tidak
tinggal diam dan menolong anak itu. Ditemuinya Ki Lembong.
Ki lembong dan istrinya menyambut kedatangan wanita muda yang jelita itu dengan
penuh keheranan karena mereka tidak mengenalnya. Setelah dipersilakan duduk, sambil
memandang bayi yang dipondong Nyi Lembong dan dengan kedua mata basah, Ken
Endok lalu berkata, “Ki dan Nyi Lembong, ketahuilah bahwa namaku adalah Ken Endok
dari Dusun Pangkur dan bahwa anak bayi itu adalah anakku.”
“Ken Endok dari Dusun Pangkur.....? Ah aku, pernah mendengar tentang andika! Puteri
yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma....?” Dan tiba-tiba saja Gembong maling itu
menoleh kepada istrinya dan memandang jabang bayi yang malam tadi dibawanya
pulang.
Ken Endok mengangguk, “Benar, Ki Lembong, dan anak inilah yang kulahirkan. Dia
bernama Ken Arok, keturunan langsung dari Sang Hyang Brahma. Sudah menjadi
kehendak Sang Hyang Brahma bahwa Ken Arok kini menjadi anak asuhmu. Periharalah
baik-baik, karena anak ini akan mendatangkan berkah bagi keluargamu.”
“Tapi...... tapi.... Andika...?”
“Oleh ayahku, aku akan dinikahkan lagi dan aku tidak ingin Ken Arok dipelihara oleh
ayah tiri.”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 19
Ken Endok lalu menghampiri Nyi Lembong dan diciuminya anaknya untuk terakhir
kalinya. Ia lalu berpamit dan pergi sambil manahan isak tangisnya. Tentu saja keluarga
Lembong menjadi girang dan bangga bukan main dan Ken Arok menjadi kekasih mereka.
Demikianlah, mulai saat itu, Ken Arok menjadi anak KI Lembong dan Nyi Lembong,
dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh keluarga yang pekerjaannya sebagai pencuri
itu.
Ada orang yang mengatakan bahwa seorang manusia itu ketika masih bayi, bagaikan
sebuah buku tulis yang masih bersih, belum ada tulisan atau gambarannya. Apa akan
jadinya dengan buku tulis itu kelak, atau apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak
setelah dewasa, ditentukan oleh isinya dan yang mengisi buku tulis kosong putih bersih
itu adalah keadaan sekelilingnya, masyarakatnya, terutama sekali yang paling dekat
dengannya, yaitu orang tuanya, saudara-saudaranya dan kawan-kawan dekatnya.
Kiranya pendapat seperti itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Seorang bayi
yang sejak kecil dibiarkan di antara kelompok monyet, dididik oleh monyet, tentu setelah
dewasa akan bertingkah seperi monyet pula!
Karena itu, dapat dibayangkan apa jadinya dengan Ken Arok yang sejak kecil dipelihara
oleh keluarga maling! Setelah pengertian mulai memasuki batinnya, Ken Arok tahu
bahwa pekerjaan orang tuanya adalah mencuri harta milik orang lain. Tentu saja hal ini
tidak dianggap buruk karena ayah ibunya juga menganggap bahwa “pekerjaan” itu
adalah suatu usaha untuk dapat mencari makan guna menjaga kehidupan mereka. Dan
lebih celaka lagi bagi anak ini, setelah anak ini berusia tujuh tahun, dia pun diajak pergi
oleh ayahnya untuk melakukan pencurian! Memang amat berguna seorang anak kecil
yang cerdik diajak pergi untuk mencuri. Pertama, andaikata dia ditugaskan untuk
berjaga di luar, tidak akan ada orang mencurigai seorang anak kecil menjadi maling. Dan
kalau dia ditugaskan ke dalam, mudah baginya memasuki lubang-lubang kecil atau
memanjat genteng tanpa membuat banyak gaduh karena tubuhnya yang ringan, orangorang
akan tidak sekejam kalau yang ditangkap itu seorang dewasa yang melakukan
pencurian.
Akan tetapi, karena lingkungan hidup, karena pergaulan, bukan hanya pekerjaan
mencuri yang dikenal Ken Arok, melainkan terutama sekali juga perjudian. Anak ini sejak
ada pengertian, mulai gemar berjudi. Bukan berjudi di antara kanak-kanak, memang
demikian permulaannya, kecil-kecilan, akan tetapi karena Ken Arok pandai sekali, tak
lama kemudian anak-anak tidak ada yang berani berjudi melawan dia dan mulailah dia
terjun ke dalam kalangan perjudian yang lebih luas, di mana orang-orang dewasa yang
bermain.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan mencuri itu tentu saja tidak banyak. Yang
dimasuki adalah rumah-rumah orang dusun yang miskin sederhana dan yang dicuri pun
hanyalah terbatas pada bahan-bahan makanan dan pakaian saja yang dipakai sendiri
dan sebentar saja setelah Ken Arok gemar berjudi, ludeslah barang-barang ayah ibunya
di meja perjudian.

Tidak ada komentar: