Sabtu, 19 September 2009

keria nagopusong 4

Orang-orang tua memang banyak yang belum memperhatikan tentang pendidikan.

Orang-orang tua menyatakan cinta kasihnya terhadap anak-anaknya melalui pemberianpemberian
dan kemanjaan-kemanjaan. Kalau mereka sudah mampu menuruti semua

permintaan anak-anak, mereka menanggap bahwa mereka telah memenuhi kewajiban
mereka sebagai orang tua dan mereka mengatakan bahwa mereka telah membuktikan
cinta kasih mereka kepada anak-anak mereka. Mereka jarang sekali memperhatikan
pertumbuhan jiwa anak-anak mereka, yang diperhatikan hanyalah pertumbuhan badan
dan mereka saja. Yang terpenting, beri makan secukupnya, beri pakaian secukupnya,
dan sudah selesailah tugas mereka.

Orang-orang tua seperti itu lupa bahwa pakaian robek kelak dapat ditukar dengan yang
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 20
baik, dan perut yang agak kurang makan bahkan kadang-kadang mendatangkan
kekuatan badan. Akan tetapi budi pekerti robek, sekali watak rusak, sukarlah untuk
mengubah atau memperbaikinya. Bukan hanya makanan badan yang amat penting,
melainkan juga makanan jiwa amat penting, bahkan lebih penting. Keindahan budi
pekerti dibawa sebagai modal sampai mati.
Kalaupun ada di antara kita yang katanya menyayang anak, dan melakukan pendidikan,
maka kita mendidik anak-anak kita seperti mendidik anjing-anjing pemburu atau
monyet-monyet untuk dipertontonkan dalam sirkus saja! Kita mendidik anak-anak agar
menurut semua kata-kata kita, mendidik mereka agar menjadi seperti bayangan yang
kita ciptakan sehingga anak-anak itu banyak yang kenal menjadi manusia seperti robot!
Tidak boleh begini, harus begitu, lakukan ini, jauhkan diri dari ini dan itu, dan
sebagainya. Dan kalau kita berhasil,kalau anak itu menurut segala kehendak kita, kita
menjadi bangga dan menganggap anak itu seorang ANAK YANG BAIK. Benarkah anak itu
menjadi anak yang baik? Kita lupa bahwa anak-anak bukanlah benda mati, melainkan
makhluk-makhluk hidup, calon-calon manusia dewasa yang memiliki dunia sendiri,
memiliki akal budi sendiri, selera-selera dan pikiran-pikiran sendiri. Akan tetapi kita
hendak mengekang itu semua, hendak mengurungnya dalam sangkar emas yang kita
ciptakan dengan nama “pendidkan” yang sesungguhnya keliru. Biasanya, kita mendidik
anak BUKAN DEMI SI ANAK, walaupun malu bersumpah demikian, melainkan DEMI
KESENANGAN DIRI SENDIRI. Kalau anak itu menurut kata-kata kita, kitalah yang
senang. Sedang anak itu? Belum tentu senang. Walaupun untuk menyenangkan orang
tuanya, seperti yang diharuskan dan ditanamkan dalam jiwanya, dia akan
memperhatikan muka senang agar orang tuanya senang! Kalau anak itu tidak menurut?
Lalu di maki, dipukul, dianggap anak kurang ajar, tidak patut, murtad,tidak berbakti, dan
sebagainya. Mengapa? Karena tidak menurut berarti TIDAK MEMBIKIN SENANG HATI
ORANG TUA!

Biarpun anak itu sendiri senang, kalau tidak membuat hati orang tua senang, dia
dianggap salah!
Kiranya inilah yang menimbulkan celah atau jurang di antara generasi muda dan
generasi tua, walaupun tidak boleh dikatakan bahwa kesalahan selamanya kesalahannya
selamanya berada di pihak orang tua, karena keadaan lingkungan atau pergaulan juga
mempengaruhi pembentukan watak seseorang. Lalu bagaimana caranya untuk menjadi
pendidik yang baik, menjadi orang tua yag baik agar anak-anak itu menjadi calon
manusia-manusia baik pula?
Pendidikan orang tua terhadap anaknya adalah suatu tindakan yang berdasarkan cinta
kasih. Di mana ada cinta kasih, maka segala tindakannya pasti benar! Cinta kasih berarti
memaksa si anak menjadi seperti dirinya atau seperti apa yang dikendakinya. Cinta kasih
berarti membiarkan orang yang dicintai itu berbahagia! Bukan bahagia kelak, melainkan
bahagia sekarang ini, saat ini, detik demi detik! Nah, kalau sudah ada cinta kasih seperti

ini di hati orang tua, maka pendidkan pun tidak perlu dibicarakan lagi secara mulukmuluk,
karena CINTA KASIH ITULAH PENDIDIKAN. Kalau kita melarang anak kita
memaki dengan hardikan dan makian, apakah itu cinta kasih? Kalau kita melarang anak
melakukan apa yang kita juga lakukan, apakah itu juga cinta kasih? Jelaslah, cinta kasih
itu menyeluruh!
Setelah agak besar, Ken Arok lalu disuruh bekerja di sawah ladang, menggembala
kerbau dan sebagainya. Akan tetapi, saking gemarnya berjudi, Ken Arok bahkan
menghabiskan semua raja-kaya (hewan ternak) milik orang tuanya ini, dihabiskan di
meja judi pula.

Gembong maling Lembong jatuh miskin. Kini dia sudah lanjut usia, untuk melakukan
pekerjaan maling sudah merasa kurang kuat. Kurang kuat membongkar rumah, pintu
atau jendela, kurang kuat pula kalau harus membela diri, dan kurang cepat kalau
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 21
terpaksa harus melarikan diri. Dan semua hartanya yang dikumpulkan sedikit demi
sedikit, hasil pencurian, kelebihan dari yang dimakan sehari-hari,kini diludeskan oleh Ken
Arok! Apakah ini yang dikata orang bahwa uang yang mudah didapat akan mudah pula
lenyap? Entahlah.

Ki Lembong lalu mencari pekerjaan yang halal. Dia menghadap Ki Lurah Lebak untuk
minta agar dipercaya untuk menggaduh (memelihara kerbau orang dengan bagi hasil
kalau kerbau itu sudah melahirkan anak-anak) ternak, yaitu sepasang kerbau yang baik
dan gemuk.

Sepasang kerbau itu diserahkan oleh Ki Lembong kepada Ken Arok. “Anakku yang bagus,
engkau hati-hatilah, Nak. Sepasang kerbau ini milik Ki Lurah Lebak. Jangan sampai sakit
apalagi hilang, dan engkau bertobatlah Nak, jangan berjudi lagi. Apalagi kerbau-kerbau
ini bukan milik kita, jangan diperjudikan. “Demikian pesan ayah dan ibu itu.
Akan tetapi, cerita lama pun terulang lagi. Ken Arok yang sudah gila judi itu tidak
mampu menahan godaan nafsunya sendiri. Sepasang kerbau itu pun diperjudikan dan
dia pun kalah lagi! Dua ekor kerbau milik Ki Lurah Lebak itu pun hilang ke tangan orang
lain!

Di antara segala kebiasaan atau kesenangan yang oleh masyarakat umum dinamakan
kemaksiatan, yang paling berbahaya adalah perjudian! Ada lima kemaksiatan yang
dinamakan dalam Bahasa Jawa sebagai MA lima, yaitu: madat, mabok, maling, madon,
dan main atau dalam bahasa indonesianya: menghisap madat, bermabuk-mabukan,
mencuri, main perempuan dan berjudi. Untuk menghisap madat dan mabuk-mabukan,
kalau tidak mempunyai uang tidak akan mampu melakukannya. Dan kalau sampai rusak,
yang rusak adalah tubuh sendiri. Mencuri, kalau tertangkap, yang celaka juga dirinya
sendiri. Main perempuan juga membutuhkan uang, kalau tidak punya uang, tidak akan
bisa, dan kalau sampai dirinya terkena penyakit, maka yang menanggung adalah dirinya
sendiri pula. Akan tetapi judi? Wah, perjudian itu benar-benar merupakan suatu
kemaksiatan yang dapat mencelakakan semua orang. Satu orang saja berjudi,
sekeluarga bisa berantakan. Dan untuk dapat berjudi, tak perlu pakaian yang baik
bahkan kadang-kadang, tanpa uang sepersenpun dapat saja berjudi karena meminjam
uang untuk berjudi jauh lebih mudah daripada meminjam uang untuk berdagang. Apalagi
kalau sampai rakyat sudah dijangkiti penyakit perjudian ini, wah, sukarlah
memberantasnya dan banyak keluarga akan menjadi sengsara karenanya.

Habislah sepasang kerbau milik Ki Lurah Lebak itu, diperjudikan pula oleh Ken Arok.
Tentu saja Ki Lembong dan Nyi Lembong menjadi marah dan berduka sekali. Mau
diapakan anak mereka yang satu-satunya ini? Kerbau-kerbau itu sudah habis dan untuk
menggantinya, mereka tidak punya uang. Semua barang sudah habis dijual untuk
makan, dan sebagian besar diperjudikan anak mereka. Padahal, menurut perhitungan Ki
Lurah di Dusun Lebak, sepasang kerbau itu dihargai delapan ribu keping uang!
“Aduh, anakku, Ken Arok. Bagaimana pula ini? Celakalah kita sudah!”
“Kita minggat saja meninggalkan Pungkur, Pak,” kata Ken Arok.
“Hemm, ke mana? Dan pula, Ki Lurah Lebak tentu akan menyuruh tukang-tukang
pukulnya untuk mencari kita dan kalau kita tersusul, kita akan celaka. Tidak ada jalan
lain, kita harus berpisah anakku. Biarlah kita tidak menyuruh kamu pergi dari sini, akan
tetapi kami berdua yang akan meninggalkan kamu. Kami harus pergi ke Dusun Lebak
untuk meng- hambakan diri kepada Pak Lurah Lebak, bekeja untuk melunasi hutang dua
ekor kerbau itu yang kita hilangkan.”

Ken Arok hampir menangis mendengar ini, akan tetapi dia seorang yang amat tabah dan
keras hati. Sejak kecilnya, setelah timbul pengertian, hampir tak pernah dia menangis.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 22
Biar dalam perkelahian mengalami babak bundas dan kesakitan, dia tidak pernah
menangis, bahkan tidak mau mengeluh. Kini pun hatinya menangis dan ada pula
penyesalan besar di dalam hatinya bahwa dia telah membikin celaka ayah ibunya. Akan
tetapi dia tidak memperhatikan tangisnya itu.

“Kalau ayah dan ibu tidak mau pergi bersamaku, biarlah aku pergi sendiri.”
“Ke mana, Ken Arok? Kau hendak pergi ke mana anakku?”
“Aku akan pergi mencari uang pengganti kerbau Pak Lurah Lebak!” katanya dan dia pun
larilah meninggalkan rumahnya, Ki dan Nyi Lembong tak dapat menahannya, apalagi
memang mereka pun harus pergi cepat-cepat berangkat ke Lebak sebelum Pak Lurah
mengambil tindakan. Lebih baik mendahuluinya menghadap ke Lebak, mengakui
kesalahan dan menyediakan tenaga mereka untuk bekerja bakti membayar kerugian
yang diderita Pak lurah.

Di dalam sebuah gua yang terpencil sunyi di daerah hutan Rabut Jalu, duduk seorang
laki-laki yang sedang bertapa. Dia bertapa bukan mencari kesaktian, juga bukan mencari
kesucian atau kemajuan batin, melainkan dia bertapa karena putus asa. Pria berusia lima
puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus, berkumis lebat, sekepal sebelah,matanya tajam
agak kemerahan dan sikapnya seperti orang yang suka melakukan kekerasan. Akan
tetapi pada saat itu, dia putus asa dan ansibnya hampir sama dengan nasib yang
menimpa diri anak belum dewasa Ken Arok. Dia telah kalah judi habis-habisan di Dusun
Karuman. Demikian besar kekalahannya sehingga bukan hanya uangnya yang habis,
juga semua harta bendanya, rumah dan sawah. Yang tinggal hanya keluarga, dua orang
istri dan beberapa orang anak yang tidak sehari pun boleh berhenti makan! Maka, saking
bingung dan kesal hatinya,juga putus asa, pergilah dia tanpa pulang lebih dahulu, ke gua
Rabut Jalu yang terkenal angker, keramat dan jarang ada orang berani datang memasuki
gua itu. Tekadnya, kalau di tidak memperoleh petunjuk dewa dan menemukan jalan
keluar untuk mengatasi keadaannya, biarlah dia mati di situ.
Berprihatin atau bertapa, juga berpuasa, amatlah baik bagi kejernihan batin. Dalam
keadaan bertapa, orang tidak memikirkan apa-apa lagi dan batin menjadi kosong,
sehingga jernih dan waspada. Berbeda dengan keadaan sehari-hari di mana batin selalu
dibisingkan oleh pikiran. Pada hari ke tiga setelah Ki Bango Samparan bertapa, pada
suatu malam dia teringat kepada Ken Arok! Dia mengenal anak itu karena sama-sama

tukang judi! Dan dia pun sudah mendengar desas desus tentang anak itu bahwa anak itu
adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Jarang dia melihat anak seperti itu, masih belum
dewasa akan tetapi telah pandai bermain judi, bahkan melawan penjudi-penjudi ulung
yang sudah dewasa. Kalau anak itu kalah, hanya karena para penjudi dewasa yang ulung
itu menipunya dalam permainan judi. Akan tetapi sesungguhnya anak itu mempunyai
bakat yang baik dan juga mempunyai peruntungan yang baik sekali dalam perjudian.
Bango Samparan merasa terheran-heran mengapa semalam itu wajah Ken Arok selalu
terbayang di depan matanya. Seorang keturunan Sang Hyang Brahma, mustahil kalau
tidak luar biasa dan tidak mendatangkan berkah, demikian bisikan hatinya. Setelah
malam lewat, pada keesok harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar meninggalkan gua
itu dengan wajah yang cerah, walaupun agak pucat karena perutnya terasa lapar setelah
tiga hari tiga malam tidak kemasukan apa-apa. Pikirannya tentang Ken Arok itu
dianggapnya sebagai bisikan para dewa! Itulah jalan keluarnya. Dia harus mendekati dan
menggandeng Ken Arok, keturunan Sang Hyang Brahma! Dan setelah mengisi perut
sekedarnya, mulailah dia pergi mencari Ken Arok. Akan tetapi baik di Dusun Pangkur
maupun di Cempoko, dia tidak dapat menemukan Ken Arok, bahkan ia mendengar
bahwa orang tua Ken Arok telah menghambakan diri kepada Lurah Lebak, sedangkan
anak itu sendiri entah pergi ke mana.



Dalam hati penuh keprihatinan Bango Samparan mulai mencari-cari dan akhirnya pada
suatu malam, bertemulah di dengan anak itu di tengah jalan! Bukan main girang rasa
hati Bango Samparan. Perjumpaann ini dianggapnya pula sebagai petunjuk para Dewata!
“Ken Arok, engkaukah itu?” tergurnya ketika mereka berpapasan di jalan.
“Paman Bango Samparan? Hendak ke manakah, Paman?”
“Mencarimu, anakku. Sudah beberapa hari mencarimu ke Pangkur dan Cempoko, kiranya

bertemu di sini.”
“Ada keperluan apakah Paman mencariku?” tanya Ken Arok, kedua kakinya siap untuk
melarikan diri kalau orang ini diutus Paka Lurah Lebak untuk menangkapnya.
Bango Samparan bukan seorang bodoh. Dia sudah mendengar tentang kekalahankekalahan

Ken Arok yang menyebabkan Ki dan Nyi Lembong terpaksa menghambakan
diri ke di Lebak. “Aihh, anakku yang baik. Aku sudah mendengar tentang nasibmu yang
amat buruk. Aku merasa kasihan kepadamu dan aku sudah bertemu dengan kedua orang
tuamu. Mereka menyerahkan engkau kepadaku untuk memelihara dan mendidikmu.
Marilah, Nak, kau ikut bersamaku ke rumahku dan mulai sekarang engkau kuanggap
sebagai anakku sendiri.”

Hampir Ken Arok tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Dia sudah berkeliaran
ke sana sini, sudah sampai ke Dusun Kapundungan, mencari pekerjaan. Akan tetapi
siapa memberi pekerjaan kepada seorang anak kecil yang tenaganya belum beberapa
kuat? Seringkali dia menderita lapar dan haus, dan hanya betinya yang kuat dan tabah
sajalah yang membuat dia masih dapat tertahan. Dan kini, dalam perjalanannya menuju
ke Dusun Karuman, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Ki Bango Samparan, juga seorang
penjudi besar, yang tiba-tiba saja menawarkan diri untuk memelihara dan mendidiknya,
mengambilnya sebagai anak.

Serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Terima kasih Paman,
terima kasih atas kebaikan hati paman kepada aku, anak yang malang ini...”
Paman? Engkau sekarang menjadi anakku, harus menyebut bapak kepadaku, ibu
kepada istriku dan saudara kepada anak-anakku!” kata Bango Samparan dengan girang,
membangkitkan Ken Arok dan menggandengnya, membawanya pulang ke Karuman.
Ki Bango Samparan mempunyai dua orang istri. Yang pertama bernama Genuk Buntu.
Nyi Genuk Buntu tidak mempunyai anak, oleh karena itu ketika suaminya membawa
pulang Ken Arok menjadi anak angkat, Nyi Genuk girang sekali. Apalagi Ken Arok adalah
seorang anak yang berwajah tampan dan bertubuh sehat. Tidak kalah oleh anak-anak
tirinya. Istri ke dua Bango Samparan bernama Tirtoyo dan istri muda inilah yang
mempunyai banyak anak. Ada lima orang anaknya, empat pertama laki-laki bernam

Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal dan Panji Kenengkung, sedangkan yang bungsu
seorang anak perempuan bernama Cucupuranti, yang sudah menjadi perawan cilik yang
manis, sebaya dengan Ken Arok yang sudah berusia empat belas tahun.
Entah kebetulan, memang para dewa memberkahi Bango Samparan lewat Ken Arok,
buktinya, ketika ada perjudian besar-besaran, Bango Samparan mengajak Ken Arok dan
diapun memperolah kemenangan yang amat besar! Memang tak dapat disangkal bahwa
perjalanan hidup manusia ini banyak sekali dipengeruhi oleh “Hal-hal yang kebetulan!"
Yang dinamakan hal yang kebetulan adalah hal-hal yang terjadi di luar persangkaan kita,

di luar perhitungan akal, bahkan kadang-kadang merupakan hal yang agaknya tidak
mungkin. Banyak manusia mengalami perubahan hidup yang amat besar hanya karena
“kebetulan” itulah! Dan yang kebetulan ini, yang tak dapat diperhitungkan dengan akal
ini, itulah yang mujijat, yang gaib, yang tak terjangkau oleh akal pikiran, seolah-oleh
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 24
sudah “ada yang mengeturnya”. Padahal, semua yang terjadi itu, betapa pun penuh
rahasia, sesungguhnya bersumber dari diri pribadi. Ada orang bicara tentang rejeki.
Orang boleh mencari makan, boleh mencari uang, akan tetapi rejeki orang tidaklah

sama. Seolah-olah pada diri setiap manusia sudah ada takaran dan ukurannya sendirisendiri.
Betapapun banyaknya kita mendapatkan hasil, kalau memang takarannya hanya
segelas kecil, maka selebihnya akan tumpah dari gelas itu, meluap dan meluber akhirnya
yang tinggal hanya satu gelas itu saja, entah melalui pembiayaan karena sakit, entah
karena kehilanga, kebakaran dan lain lagi. Kalau takarannya itu segentong besar, biar
nampak air rejeki mengalir sedikit-sedikit, akhirnya akan penuh juga segentong besar
karena tidak ada yang tumpah. Dan besar kecilnya takaran atau ukuran inilah yang
terletak pada diri sendiri! Dengan cara hidup kita, dengan isi batin kita yang lahir
menjadi perbuatan-perbuatan, maka “takaran” ini bisa saja membesar maupun
mengecil!

Hasil yang diperoleh Bango Samparan dan yang dapat menolong keadaannya yang serba
sulit itu mebuat dia dan istri pertamanya semakin cinta kepada Ken Arok. Akan tetapi,
hal ini menimbulkan iri dalam hati para anak istri muda itu, kecuali Cucupuranti tentu
saja karena setelah berkenalan, segera nampak keakraban antara Cucupuranti yang
manis dengan Ken Arok yang ganteng. Justru keakraban agak mesra inilah yang
membuat hati istri muda Bango Samparan semakin tidak suka. Mulailah terjadi
perselisihan dan bentrokan karena Ken Arok dalam keluaga Ki Bango Samparan.
Sejak kecil Ken Arok adalah anak yang miskin, hanya anak keluarga maling. Akan tetapi
justru dalam kemiskinannya itu tumbuh suatu keangkuhan yang bukan bersifat
kesombongan melainkan harga diri yang tinggi, tidak mau tunduk dan tidak mau
merendah terhadap orang lebih kaya. Demikianlah watak Ken Arok. Melihat betapa
keluarga istri muda ayah angkatnya itu tidak suka kepadanya, pada suatu malam dia
minggat dari rumah itu.

“Kakang Arok....!” Tiba-tiba terdengar bisikan halus ketika dia sudah meninggalkan
rumah itu dengan diam-diam, di sebuah jalan tikungan yang sunyi. Dia berhenti dan
menoleh. Kiranya Cucupuranti yang memanggilnya dan dia pun membalikkan tubuhnya
menghadapi perawan remaja itu.
“Kau kah itu, Puranti? Kenapa kau menyusulku? Katakan saja kepada Bapak Bango
Samparan bahwa aku tidak mau lagi kembali ke sana, aku ingin merantau.”
“Aku tidak disuruh oleh Bapak, Kakang.”
“Habis, mau apa kau menyusulku?”
“Kakang Arok, aku mau ikut kalau kau pergi.”
“Ikut? Ehhh..... kenapa? Bukankah kau tinggal senang-senang di rumah bersama
saudara-saudaramu?”

“Tapi aku..... aku tidak mau kau tinggalkan, Kakang.”
Sesuatu yang aneh terjadi dalam dada Ken Arok. Jantungnya berdebar keras dan dia pun
melangkah maju. “Puranti, kenapa begitu?”
“Kakang...... aku akan bersedih kalau kau tidak ada. Aku.... aku senang sekali
bersamamu, Kakang Arok.” Dan anak itu pun menangis.
Ken Arok merangkulnya dan Cucupuranti menangis di pundaknya. Ken Arok mengelus
rambut yang panjang halus itu. “Aku pun suka kepadamu, Puranti. Akan tetapi aku harus
pergi merantau. Tak baik aku makan nasi orang begitu saja tanpa bekerja yang berarti.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 25
Aku akan merantau mencari pekerjaan, dan kalau kelak aku sudah menjadi orang yang
berhasil, aku akan datang, menjumpaimu.”
“Benar, Kakang? Dan kau akan mengajakku untuk hidup bersamamu?”
Ken Arok terkejut. “Hidup.... bersamaku? Maksudmu... maksudmu menjadi.... istriku?”
Dari atas dada Ken Arok, dara itu mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya
masih basah. Ia mengangguk. “Apa engkau tidak mau, kakang? Katakanlah engkau suka
padaku?”
“Yaaa..... ya.... aku suka, tapi..... ah, bagaimana nanti sajalah, Puranti. Pendeknya, aku
berjanji bahwa kelak aku akan menjemputmu.”
Kau tidak akan lupa kepadaku?” tanya dara itu manja.
“Aku? Lupa padamu? Ah, siapa bisa melupakan perawan manis seperti engkau ini?” Dan
entah apa yang menggerakkan, tahu-tahu Ken Arok menundukkan mukanya dan

bibirnya menyentuh bibir gadis itu, hidungnya menyentuh pipi. Akan tetapi hanya
sebentar saja lalu diangkatnya lagi mukanya yang menjadi merah dan dadanya gemetar.
“Kenapa, Kakang? Lagi, Kakang......!” bisik Cucupuranti.
Ken Arok tidak menjawab, lalu kini mencium dengan hidungnya pada pipi kedua gadis itu
dengan penuh kasih sayang, lalu melepaskan pelukannya. “Aku pergi, Puranti!” Dan
seperti dikejar setan dia pun lari dari situ.
“Kakang Arok......!” Puranti berteriak mengejar, akan tetapi Ken Arok tidak perduli dan
berlari semakin cepat sampai lenyap dan gadis itu tidak mampu mengejarnya lagi,
melainkan menangis dan pulang memberi laporan bahwa Ken Arok telah minggat.
Setelah lari agak jauh, Ken Arok berhenti. Napasnya terengah-engah, bukan karena lari
tadi melainkan hal lain. Dia merasa terheran-heran dan tidak sadar bahwa dia mulai
menginjal akhil balik, masa remaja yang mulai dewasa, sudah menginjak masa birahi

keris nagapusong 3

ahatkah sifat mata keranjang seperti yang dimiliki Ginantoko atau Sang Arjuna
sekalipun itu? Ini pun tergantung pada diri penilai. Kalau saja dia berhubungan dengan
wanita atas dasar suka sama suka dan wanita itu masih bebas , siapa dapat

mengalahkan dia atau wanita itu? Asalkan dia tidak diperkosa, mempergunakan
kekerasan memaksa wanita, atau asal tidak menggoda wanita yang sudah bersuami
sehingga rumah tangga suami istri itu jadi hancur. Di sinilah letak kesalahan Ginantoko,
seperti juga yang sering dilakukan oleh Sang Arjuna, Ginantoko tidak lagi
memperhitungkan apakah wanita itu bersuami ataukah tidak. Kalau bertemu seorang
cantik yang berkenan di hatinya, lalu wanita itu membalas lirikannya, membalas
senyumnya, tentu dia merayu sampai wanita itu berhasil tidur dalam pelukannya, tanpa
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 11
memperdulikan apakah wanita itu istri orang atau bukan. Dan hal ini tentu saja berakibat
panjang Ginantoko dimusuhi banyak suami yang merasa cemburu! Akan tetapi
Ginantoko seorang murid Empu Gandring yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga
ketika melihat Ken Endok hendak dipukul suaminya saja, dia yang memang melakukan
pengamatan lalu turun tangan dan memukul roboh suami wanita itu! Dan masih banyak
suami-suami terdahulu yang dirobohkannya kalau berani menyerangnya karena
cemburu. Kalau sudah demikian, maka tentu saja petualangan asmaranya itu sudah
termasuk jahat karena merugikan orang lain.
Pernah Empu Gandring menegur dan memberi nasihat kepada murid dan juga
keponakannya ini, “Ginantiko, kenapa engkau masih juga belum mau mengubah sepak
terjangmu dalam hidup yang penuh dengan penyelewengan itu? Kemarin aku menerima
pelaporan Ki Demang Gawangan yang mengabarkan bahwa seorang selirnya kau
ganggu.”
Ginantoko tersenyum menghadap gurunya dan juga pamannya itu, “Paman, kalau selir
Demang itu sendiri yang suka kepada saya, lalu melayani hasratnya, bukankah berarti
saya yang telah menolongnya, juga membantu Ki Demang agar selirnya itu tidak
menjadi terluka dan sakit hati karena Ki Demang yang sudah tua tidak mampu melayani
hasratnya yang bernyala-nyala?”
Mau tidak mau Empu Gandring tersenyum juga. Keponakannya ini memang pandai
bicara, dan teringatlah dia akan nasib adiknya, ayah dari Ginantoko, yaitu Empu Krepo.
Adiknya itupun memiliki watak yang sama dengan Ginantoko, hanya karena adiknya itu
tidak setampan Ginantoko, maka banyak wanita yang menolaknya sehingga pada suatu
hari dia melakukan pemaksaan atas diri seorang wanita dan akibatnya dia harus
menebus dengan nyawa karena dia dikeroyok oleh suami dari wanita itu bersama temantemannya.
“Jangan begitu, Nantoko. Kalau kau lanjut-lanjutkan, akhirnya engkau pun akan
terancam bahaya maut, karena pria mana yang tidak akan merasa sakit hatinya kalau
melihat istrinya diganggu pria lain? Musuhmu menjadi bertambah banyak dan engkau
tahu diri, ilmu kadigdayaan itu ada batasnya. Setinggi-tingginya Gunung Mahameru,
masih ada langitnya dan bintang yang tak terhitung yang jauh lebih tinggi lagi.
Sepandai-pandainya orang, tentu akan ada yang lebih pandai lagi.”
Ginantoko mengerutkan alisnya, “Maaf, Paman. Saya kira mati bukanlah urusan kita,
setiap orang pada akhirnya maesti mati. Kalau Yang Maha Kuasa mneghendaki, saya
tidak akan mati biar dikeroyok seribu orang sekalipun. Akan tetapi kalau Sang Hyang
Syiwa sudah menghendaki, biar saya bersembunyi di lubang semut, maut akan datang
juga menjemput. Ada yang mati dalam perang karena dia perajurit, mati dalam
perkelahian karena pendekar, dan kalau saya mati karena urusan perempuan yang
memang menjadi kesukaan saya, maka saya pun sudah rela.”
Mendengar bantahan itu, Empu Gandring hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kehendak Hyang Widhi tak dapat diubah oleh siapa pun juga....” keluhnya. Bagi
Ginantoko, ucapan itu dikiranya membenarkan pendapatnya tadi, padahal maksud Empu
Gandring adalah lain. Dia melihat dengan indra ke enamnya bahwa pemuda itu akhirnya
akan mengalami nasib yang sama seperti mendiang ayahnya. Dia sudah mencoba untuk
mengingatkan. Nasib seorang bergantung di dalam tangannya sendiri. Kalau orang mau
mengubah kebiasaan yang buruk, tentu nasibnya akan berubah pula.
Semenjak Ken Endok bercerai dari suaminya dan wanita yang sudah mengandung ini
tinggal di Dusun Pangkur dan bekas suaminya Gajahporo tinggal di Dusun Cempoko,
terdengar berita bahwa lima hari setelah perceraian itu, Gajahporo meninggal dunia! Hal
ini sebenarnya terjadi karena luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pukulan dan
tendangan Ginantoko yang sakti. Akan tetapi karena berita bahwa Ken Endok dipilih
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 12
Sang Hyang Brahma sebagai istri dan telah mengandung keturunan dewa itu, maka
ramailah orang mempercakapkan kematian itu. Sebagian besar mengatakan bahwa tentu
Gajahporo telah melakukan pelanggaran, hendak menggauli istrinya, terkena kutuk dan
kualat!
Dan malanglah bagi Ken Endok, sejak bercerai dan kematian bekas suaminya. Sang
Arjuna tidak pernah muncul lagi! Agaknya setelah ia mengandung. Laki-laki tampan itu
tidak berminat lagi mendekatinya dan jadilah Ken Endok seorang janda yang
mengandung tua tanpa suami!
Mulailah penyesalan datang dalam hati wanita ini. Penyesalan yang sudah terlambat. Dan
memang sesal kemudian tidak ada gunanya sama sekali, hanya mengundang kedukaan
dan kekeruhan pikiran yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang sesat pula.
Kadang-kadang, kesenangan sekelumit yang dinikmati akan mendatangkan penyesalan
selama hidup. Oleh karena itu, sekali lagi, orang bijaksana tidak akan MENGEJAR
KESENANGAN, walaupun hal ini bukan berarti menolak kesenangan yang sudah menjadi
hak setiap manusia untuk menikmatinya. Kandungannya semakin tua dan hatinya
semakin trenyuh. Pria yang diidamkannya tak kunjung datang biar pun setiap malam ia
sudah bersembahyang memohon kepada Sang Hyang Brahma agar berkenan
mengunjunginya. Tentu saja sebagai seorang yang percaya penuh akan anggapan bahwa
ayah anak yang dikandungnya adalah Sang Hyang Brahma, Ken Endok tidak berani
marah dan hanya tenggelam dalam kesedihannya saja.
****
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tentu saja tidak lepas dari pada ikatan sebab dan
akibat. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan ada sebab tentu saja ada akibatnya. Pada
suatu pagi, dua pasang manusia sedang berkasih-kasihan di tepi Sungai Brantas, di
lembah yang hijau subur. Mereka berdua saling berangkulan dengan asyik masyuk, lupa
akan keadaan di sekeliling mereka. Seolah-olah di dalam dunia hanya ada mereka
berdua yang perempuan adalah seorang muda paling banyak dua puluh lima tahun,
berkulit agak hitam, akan tetapi hitam manis.
“Ihh, kau nakal, Kakangmas!” si perempuan menepiskan tangan Ginantoko yang jahil
dan mengakibatkan kemben wanita itu terlepas.
Ginantoko merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra, membuat si wanita hanya
dapat merintih, “kenapa nakal? Bukankah kita sudah sering melakukan?”
“Benar, akan tetapi di malam hari, dan di tempat yang tersembunyi. Bukan pagi-pagi
hari begini.”
“Apa bedanya? Di sini pun sunyi dan pagi ini cerah sekali, hawanya sejuk menimbulkan
selera....”
“Ihh, kau tak puas-puasnya!”
“Mana bisa puas menghadapi seorang wanita sepertimu, Diajeng Galuhsari? Kalau bisa,
kau ingin kutelan agar selamanya berada dalam diriku.”
“Hiiih, apa kau mau menjadi Buto Ijo?” Wanita itu cemberut dan mereka tertawa-tawa
sambil bermesraan.
Dua insan itu sama sekali tidak mengira bahwa agak jauh dari tempat itu, di balik semak
belukar, terdapat lima pasang mata yang mengintai semua gerak-gerik mereka. Lima
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 13
pasang mata yang semakin lama semakin merah menyala saking marahnya. Andaikata
dua insan itu tidak sedang tenggelam dalam nafsu birahi, tentu mereka akan dapat
mengetahui bahwa mereka sedang diintai bahaya. Ginantoko adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan pendengaran dan penglihatannya
sudah terlatih dengan amat baik sehingga kedatangan orang yang mendatangkan sedikit
suara saja sudah akan dapat ditangkapnya. Juga wanita hitam manis itu bukan
sembarangan. Wanita yang bernama Galuhsari itu adalah istri dari ketua perkumpulan
Sabuk Tembaga yang terkenal sebagai perguruan pencak silat yang terkenal. Dan
sebagai istri ketua perkumpulan itu, tentu saja Galuhsari juga pandai ilmu bela diri dan
tidak sembarang orang, biar dia laki-laki, mampu mengalahkannya. Kalau dia sampai
jatuh hati dan mau saja dipermainkan dalam cinta oleh Ginantoko adalah karena
pertemuan mereka yang pertama kali amat terkesan di hatinya karena ia dikalahkan oleh
Ginantoko! Pertemuan itu terjadi di dalam hutan ketika Galuhsari sedang memburu
kijang. Ketika ia melepaskan anak panah, tiba-tiba saja anak panahnya itu disambar
orang dan Ginantoko menangkapkan kijang itu hidup-hidup untuknya. Mula-mula
Galuhsari marah dan terjadi perkelahian di antara mereka, namun Ginantoko
mempermainkan wanita itu yang akhirnya terjatuh ke dalam pelukannya!
Siapakah lima orang yang sedang mengintai dari balik semak belukar itu? Bukan lain
adalah Ki Bragolo sendiri, ketua dari perkumpulan Sabuk Tembaga! Dan yang empat
orang adalah murid kepala yang sudah memiliki tingkat paling tinggi di antara para
murid Sabuk Tembaga.
Mudah saja dibayangkan betapa perasaan hati Ki Bragolo menyaksikan istrinya bermain
cinta begitu bebasnya di alam terbuka, tanpa malu-malu sama sekali! Dan yang
membuat dia semakin panas hatinya, belum pernah istrinya bersikap seberani dan
segairah itu apabila bermain cinta dengan dia, suamiya! Galuhsari telah menjadi istrinya
selama hampir sepuluh tahun, ketika wanita itu baru menginjak usia enam belas tahun
dan dia sendiri sudah lima puluh tahun, Kini usianya sudah enam puluh tahun. Namun Ki
Gragolo adalah seorang kakek yang betubuh tinggi besar seperti raksasa, dengan tenaga
gajah dan senjatanya yang ampuh, yaitu sabuk tembaga, yang juga menjadi nama
perguruannya, amat ditakuti orang!
Tentu saja Ki Bragolo tidak kuasa menahan lagi kesabaran hatinya. Dia tidak rela
membiarkan istrinya itu menikmati permainan cinta liar itu sampai puas, dan dengan
penuh kemarahan dia meloncat keluar diikuti oleh empat orang muridnya, yaitu empat
laki-laki yang usianya rata-rata sudah tiga puluh tahun lebih. Mereka berempat juga
merasa panas hatinya melihat betapa istri guru mereka bermain cinta demikian
mesranya dengan Ginantoko. Mereka semua diam-diam juga tergila-gila pada istri guru
mereka yang cantik, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah memperoleh
kesempatan mencicipi madu kembang itu yang sama sekali memperlihatkan sikap ramah
atau mesra kapada pria lain. Dan kini tahu-tahu bermain cinta sedemikian mesranya
dengan laki-laki lain.
Tentu saja Ginantoko dan Galuhsari terkejut bukan main melihat keluarnya lima orang
itu, apalagi ketika mengenal bahwa yang keluar itu Ki Bragolo sendiri bersama empat
orang murid cabang atas. Wajah Galuhsari menjadi pucat, akan tetapi cepat ia
membereskan pakainnya.
Ginantoko sendiri memperlihatkan sikap seorang petualang asmara yang tulen. Dengan
amat tenangnya, sambil tersenyum, dia membereskan pakaiannya, bahkan sempat
membereskan gelungan rambutnya sebelum menghadapi lima orang itu sambil
tersenyum ramah!
“Kiranya paman Ki Bragolo yang datang. Selamat pagi, Paman.”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 14
Dapat dibayangkan betapa dada raksasa tua itu seperti akan meledak! Dengan mata
melotot seperti akan keluar dari pelupuknya, Ki Bragolo membentak, “Ginantoko,
jahanam keparat! Engkau telah merusak pagar ayu, mengganggu istriku dan engkau
masih bersikap seperti ini dan tidak lekas berlutut minta ampun?”
Ginantoko tersenyum lebar dan mengusap keringat di leher dan dahinya. Permainan
asyik dan masyuk bersama kekasihnya tadi membuat dia berkeringat. “Paman Ki
Bragolo, seorang laki-laki tidak akan melarikan diri dari kenyataan, tidak akan melarikan
diri dari tanggung jawab. Memang aku dan Diajeng Galuhsari saling mencintai. Itulah
kenyataan dan sekarang terserah kepada Paman. Untuk apa aku minta ampun?”
“Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan batu hitam! Ginantoko, perbuatanmu
yang laknat itu hukumannya hanya satu yaitu hukuman mati!”
“Hemmm, begitukah, paman? Dan siapa gerangan orang yang akan menghukum aku?”
“Akulah yang akan membunuhmu, keparat!” bentak seorang di antara murid Ki Bragolo,
dan dia sudah menerjang ke depan setelah dia tadi melolos sabuknya. Setiap murid
perguruan Sabuk Tembaga selalu memakai sebuah sabuk terbuat dari tembaga di
pinggangnya, dan tingkat mereka dapat diukur dari tebal tipis dan berat ringannya sabuk
itu. Kini penyerang yang tingkatnya sudah paling tinggi di antara murid-murid itu,
sabuknya tebal dan besar, tidak kurang dari lima kilo beratnya.
“Wirr......!” Sabuk yang berat dan panjangnya tidak kurang dari satu meter itu diayun di
atas kepalanya lalu turun menyambar ke arah kepala Ginantoko. Pemuda itu masih
tersenyum, lalu dengan sedikit miringkan kepala, sambaran sabuk itu pun luput.
Penyerangnya penasaran dan sabuk itu tidak berhenti, terus membuat gerakan
melengkung dan membalik, kini menyambar ke arah dada Ginantoko.
Ginantoko tidak beranjak dari tempat dia berdiri hanya kini tangan kirinya menangkis
sambaran sabuk tembaga itu. Sungguh perbuatan yang berani sekali, menangkis
sambaran senjata itu dengan tangan kosong saja.
“Plakk! Desss!” Dan tubuh murid pertama itu pun terpelanting. Kiranya lengan kiri
Ginantoko kebal dan dapat menangkis senjata itu dan berbareng dia sudah mengirim
tendangan yang mengenai perut lawan, membuat lawan terjengkang dan terpelanting.
Marahlah Ki Bragolo. Dia menggereng seperti seekor beruang marah, dan sabuknya yang
beratnya belasan kilo itu pun sudah merada di tangan kanannya. Juga tiga orang murid
lainnya sudah marah dan mereka pun menyerbu. Murid yang tadi tertendang jatuh juga
bangkit lagi.
“Aha, kiranya ketua Sabuk Tembaga hanyalah seorang kakek yang beraninya hanya
melakukan pengeroyokan!” Ginantoko berseru mengejek sambil melakukan pengelakan
dengan loncatan ke kanan dan ke kiri dengan amat lincahnya, kadang-kadang menangkis
dengan kedua lengannya. Memang hebat pemuda ini . Hantaman sabuk tembaga di
tangan Ki Bragolo yang beratnya belasan kilo pun berani dia menangkisnya.
Sementara itu, Galuhsari hanya nonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia memang
benar istri Ki Bragolo, sudah sepuluh tahun, akan tetapi mereka tidak mempunyai anak,
dan pula, ia tidak pernah dapat mencintai suami yang sepak terjangnya seperti raksasa,
kasar dan tidak pernah memperlihatkan kemesraan itu. Di tangan Ki Bragolo, ia merasa
seperti menjadi boneka yang dipermainkan saja. Berbeda kalau ia bercinta dengan
Ginantoko, ia benar-benar merasakan kenikmatan karena ia bukan hanya dicintai dan
dipermainkan, melainkan ia pun mencinta dan memparmainkan, permainan cinta mereka
bukan sepihak saja, melainkan permainan mereka bersama dan dinikmati bersama.
Hanya kini ia merasa menyesal karena ia telah menyeret Ginantoko ke dalam kesulitan.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 15
Menghadapi suaminya kini, apalagi masih dibantu empat orang murid, sungguh
merupakan hal yang amat berbahaya dan berat.
Namun, semakin lama ia menjadi semakin kagum terhadap kekasihnya. Ginantoko
benar-benar hebat. Kini bukan saja ia dapat mengelak dan menangkis, bahkan mulai
membalas. Ketika ada sabuk tembaga menyambar ke arah perutnya dari samping, dia
malah tersenyum dan tidak menangkis, membiarkan sabuk itu mengenai lambungnya.
“Bukk!” Dan si pemegang sabuk itu menjerit kesakitan karena telapak tangannya sendiri
lecet. Seolah-olah sabuknya tadi menghantam lambung baja saja. Ki Bragolo maklum
bahwa pemuda murid Empu Gandring ini memang kebal, maka dia pun berseru, “Serang
kepalanya!”
Memang Ki Bragolo yang sudah tua itu, banyak pengalamannya. Orang boleh kebal
badannya, akan tetapi sukar untuk mempelajari ilmu kekabalan kepala! Di kepala
terdapat otak yang mudah terguncang, apalagi di bagian muka terdapat bagian-bagian
lemah seperti mata, hidung, mulut, dan telinga. Setelah kini lima batang sabuk tembaga
menghujamkan serangan ke arah kepalanya, Ginantoko mulai terdesak. Pukulan
mengenai leher, pundak ke bawah, diterimanya dengan perlindungan kekebalan, akan
tetapi yang menyerang kepala terpaksa harus ditangkis atau dielakkan. Dia pun mulai
marah dan sambil mengeluarkan pekik panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan
dan dua orang murid Sabuk Tembaga jatuh terseungkur dan tidak ada yang mampu
bangkit kembali terkena pukulan kedua tangan yang ampuh dari pemuda itu.
Melihat ini, Ki Bragolo terkejut, Ginantoko mendapat hati, dan kini ia mendesak lagi dua
orang murid lainnya. Dipikirnya, kalau empat orang murid mudah roboh, akan mudah
baginya untuk menghadapi dan mengalahkan Ki Bragolo yang tangguh itu. Melihat itu, Ki
Bragolo khawatir kehilangan semua muridnya. Pada saat Ginantoko melancarkan
serangan dahsyat ke arah dua orang muridnya, diam-diam dia melolos sebatang keris
dari pinggangnya dan menusukkan keris itu ke dada Ginantoko. Pemuda itu masih
tersenyum dan menerima tusukan keris itu sambil mengerahkan tenaga sakti di
tubuhnya untuk membuat bagian dada yang tertusuk itu menjadi kebal. Keris itu
meluncur dan menghujam dada.
“Crapp.....!”
“Aduuuuuhhh...... heiiii, aduh.....!” Ginantoko mengeluh keheranan dan ketika keris itu
dicabut, darah muncrat-muncrat keluar dari dadanya karena ujung keris mengenai
jantungnya.
“Kakangmas........!” Galuhsari menjerit dan lari menubruk kekasihnya, kemudian ia pun
melompat dan melolos sabuk tembaga dari pinggangnya. “Engkau..... engkau..... curang,
mengeroyok dan membunuhnya.” Dan istri ini pun seperti seekor singa betina telah
menerjang suaminya sendiri. Akan tetapi, karena Ki Bragolo adalah guru juga dari
Galuhsari, dengan mudah Ki Bragolo mengelak, lalu dengan keris yang masih basah oleh
darah Ginantoko itu meluncur dan memasuki dada Galuhsari. Wanita itu menjerit dan
roboh terguling.
Ginantoko merangkak duduk dan memandang ke arah keris di tangan lawan. Dia melihat
sebatang keris panjang dengan lekukan lima belas, sebatang keris yang mengeluarkan
sinar aneh dan melihat keris itu, dia menjadi pucat. “Empu.... Empu Gandring...”
“Ha-ha-ha-ha, manusia hina. Memang benar, aku meminjam pusaka Nogopasung ini dari
gurumu sendiri, ha-ha-ha-ha!”
“Ah, paman Empu Gandring...... aku mati oleh kerismu..... semoga engkau pun akan
mati oleh kerismu sendiri.....” dan Ginantoko pun terkulai dan menghembuskan napas
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 16
terakhir, hampir bersamaan dengan kekasihnya.
****
“Kakang Empu, terima kasih atas pemberian pinjam keris pusaka Nogopasung ini. Terima
kasih dan ini saya kembali dalam keadaan utuh,” Kata Brogolo kepada Empu Gandring
yang duduk dikelilingi cantriknya.
Empu Gandring menerima keris itu dan mencabutnya dari sarungnya. Melihat betapa di
ujung keris itu ada darah yang sudah kering, sepasang alis kakek itu berkerit dan Ki
Bragolo cepat berkata, “Maafkan saya, Kakang Empu. Sudah saya usahakan untuk
mencuci bersih noda darah itu, namun tidak berhasil.”
Kakek itu manarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Kalau yang menodai hanya
darah pria saja, atau darah wanita, tentu mudah dibersihkan. Akan tetapi kalau yang
menodai darah campuran antara darah pria dan darah wanita, tak mungkin dilenyapkan,
Adi Bragolo. Sekarang katakan saja terus terang, darah siapakah yang telah menodai
Kyai Nogopasung ini?” Ketika melihat Ki Bragolo nampak ragu-ragu dan wajahnya pucat,
Empu Gandring berkata lagi, ”Tak usah ragu-ragu atau khawatir, Adi Bragolo. Segala
peristiwa yang terjadi sudah dikehendaki oleh Hyang Widhi Wasa, yang penting kita
berada dipihak yang benar. Tanpa kau ceritakan aku dapat mengetahui, akan tetapi aku
tidak ingin mendahului kenyataan.”
Mendengar ini, Ki Bragolo mengusap air matanya. Ampun beribu ampun, Kakang Empu,
terus terang saja, ketika meminjam keris pusaka itu, saya sudah mempunyai niat untuk
membunuh murid dan keponakan Kakang sendiri, yaitu Ginantoko! Dia telah berjina
dengan istri saya, maka tidak ada jalan lain bagi saya kecuali membunuh mereka.” Sang
Empu Gandring menarik napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia amat
mencintai Ginantoko, akan tetapi pemuda itu memang tewas oleh ulahnya sendiri dan
hal ini beberapa bulan yang lalu pernah ia peringatkan. “Ahh, engkau tidak bijaksana
menjadi suami. Akan tetapi, mengapa untuk membunuhnya engkau harus meminjam
pusakaku?”
“Maaf, Kakang Empu. Ginantoko adalah murid Kakang, memiliki kekebalan yang ampuh
dan saya menduga bahwa kekebalannya itu hanya akan punah kalau diterjang pusaka
ciptaan Empu Gandring. Bukan begitu, Kakang Empu?”
Empu Gandring menarik napas panjang. “Dugaanmu yang tepat itu menjadi tanda bahwa
memang sudah tiba saatnya Ginantoko harus meninggalkan dunia ini. Dan memang dia
sudah mengatakan bahwa dia akan puas kalau tewas dalam melaksanakan kesukaannya
dan dia tewas diujung keris yang sama dengan kekasihnya yang terahir. Aduhhh, dunia
penuh dengan kesengsaraan yang dibuat oleh manusia sendiri.”
Setelah Ki Bragolo dan murid-muridnya meninggalkan padepokan Empu Gandring, kakek
ini lalu mengutus cantrik-cantriknya untuk mengambil jenazah Ginantoko dan Galuhsari,
mengurus jenasah dengan seperlunya. Untuk pembakaran kedua jenazah itu, dia
memberi tahu kepada istri Ginantoko yang masih mengandung.
Istri Ginantoko juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Dyah Kanti, puteri tunggal
dari panembahan Pronosidhi yang bertapa di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika pertam
kali bertemu dengan Dyah Kanti yang menjadi istrinya itu, Ginantoko masih menjadi
murid Empu Gandring dan belum nampak sifatnya yang mata keranjang. Baru setelah
dia menikah dan istrinya mulai mengandung, penyakit mata keranjang itu
menghinggapinya dan makin lama makin meghebat.
Dyah Kanti menangis dan kalau saja ia tidak sedang mengandung, tentu akan ikut mati
obong (bunuh diri dalam api) bersama jenasah suaminya. Akan tetapi Empu Gandring,
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 17
dan juga anembahan Pronosidi yang hadir, menasehatinya. Bahkan ketika wanita itu
menyatakan kemarahan dan dendamnya kepada Ki Bragolo, ayahnya sendiri
menegurnya.
“Angger Kanti, anakku. Tenangkan dulu batinmu dan jernihkan pikianmu. Orang tidak
harus melihat akibat saja tanpa menjenguk sebabnya. Kematian suamimu dibunuh orang
hanyalah akibat, dan sebabnya terletak pada diri suamimu sendiri. Menuruti perasaan
dan dendam hanya akan mercuni batinmu. Sekarang duduklah engaku dengan tenang
dan bayangkan dirimu sendiri. Andaikata engkau seorang suami lalu melihat istrimu
digoda pria lain, apa yang akan kau lakukan?”
Dyah Kanti tak mampu menjawab. Andaikata aku, anakku, yang mengalami musibah
seperti yang menimpa diri Ki Bragolo, aku akan mengalah dan membiarkan saja, bahkan
aku akan menganjurkan mereka untuk bersatu menjadi sepasang suami istri. Akan tetapi
mungkin hanya beberapa orang seperti aku dan Adi Empu Gandring saja yang mampu
melakukan hal itu. Sebagian besar orang tentu akan dihinggapi amarah yang mebuat
mata gelap dan terjadilah permusuhan dan pembunuhan. Kematian suamimu sudah
wajar, karena perbuatannya sendiri. Dan ingat baik-baik, aku berpesan agar kelak
engkau tidak menanamkan dendam dalam batin anakku!”
“Sadhu-sadhu-sadhu....! Apa yang diucapkan Kakang Panembahan itu sungguh tepat
sekali. Lihat, angin pun berhenti besilir untuk mendengarkan wejangan yang amat suci
itu, anakku yang baik. Dyah Kanti, engkau taatilah pesan ayahmu dan keris pusaka
Nogopasung ini kuberikan kepadamu, agar kelak kau serahkan pada anakmu. Akan
tetapi ingat, kalau sampai dipergunakan untuk mebalas dendam, akibatnya bisa
mengutuk sendiri,” berkata demikian, Empu Gandring lalu menyerahkan keris pusaka
yang panjang berlekukan lima belas itu.
Diingatkan oleh dua orang kakek sakti yang bijaksana itu, luluh semua kekerasan hati
Dyah Kanti dan ia pun lalu ikut bersama ayahnya kembali ke padepokan ayahnya di
lereng Gunung Anjasmoro.
****
Ken Endok mengalami penderitaan batin yang sama berat. Memang masih ada yang
percaya bahwa anak dalam kandungannya itu keturunan Sang Hyang Brahma, akan
tetapi ada pula mulut usil para tetangga, terutama sekali para wanita, yang mulai
menyindir-nyindir karena ia seorang janda muda yang mengandung tanpa ayah! Karena
merasa menderita batin, hampir saja ia tewas ketika melahirkan seorang anak laki-laki
yang sehat. Untung ia ketulungan oleh seorang dukun beranak yang pandai dan teringat
akan pesan “Sang Hyang Brahma”, anak itu lalu diberi nama Ken Arok!
Sebelum pengarang melanjutkan cerita ini, patut kiranya diketahui oleh para pembaca
bahwa cerita tentang Ken Arok - Ken Dedes dianggap sebagai dongeng dan hanya
terdapat dalam kitab Pararaton yang barasal dari Pulau Bali. Dalam Kitab
Negerakertagama nama Ken Arok tidak disebut-sebut. Pengarang sengaja menggubah
lagi tentang kisah Ken Arok ini setelah mempelajari banyak kitab kuno, antara lain
Negarakertagama, Babat Tanah Jawi, Sarwasastra, Sejarah Kerajaan Majapahit dan lainlain,
Lalu pengarang olah dengan hasil khayal sendiri. Adapun cerita mengenai Ken Arok
ini, hanya merupakan latar belakang sejarah saja, dan tokoh-tokoh lain yang muncul
dalam cerita ini hanya khayali pengarang semata.
Mungkin karena malu melahirkan seorang anak tanpa bapak yang jelas, Ken Endok lalu
membawa anak yang baru lahir itu ke kuburan di mana terdapat pula makam mendiang
suaminya, Gajahpuro. Bagaimanapun juga, yang menyebabkan keributan adalah
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 18
mendiang suaminya itu, yang dengan tidak percayaan dan kecemburuannya telah
mendatangkan aib pada dirinya dan agaknya memarahkan Sang Hyang Brahma sehingga
tidak pernah muncul kembali! Ia lalu meninggalkan bayi itu ditengah-tengah tanah
kuburan pada malam hari.
Kalau segala hal terjadi seperti biasa, dapat dipastikan bahwa bayi Ken Arok itu akan
meninggal dunia, ditinggalkan seorang diri saja di dalam kuburan seperti itu. Namun,
mati hidup manusia merupakan rahasia yang sampai kini belum juga terpecahkan oleh
manusia. Ken Arok ditakdirkan untuk tidak mati di waktu bayi. Tanpa disengaja, seorang
gembong pencuri yang biasa melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi seperti
sawah-sawah, hutan-hutan dan kuburan-kuburan, lewat tengah malam sehabis
melakukan pencurian, lewat di kuburan itu dan dia mendengar suara tangis bayi.
Cepat dihampirinya suara itu, sebagai seorang maling yang sudah biasa melakukan
perjalanan malam melalui tempat-tempat yang keramat dan angker, dia tidak merasa
takut. Padahal bagi orang biasa, berjalan di malam hari melalui kuburan lalu mendengar
suara bayi menangis, sembilan di antara sepuluh orang tentu akan lari tunggang
langgang mencari teman untuk menjenguknya! Lembong, demikian nama gembong
maling itu, menemukan seorang bayi yang montok sehat dan dia pun girang sekali. Dia
sendiri sudah mendambakan seorang anak dan kini dia menmukan seorang bayi mungil
di kuburan. Dibawanya bayi itu pulang dan diakui sebagai anaknya.
Sekejam-kejamnya harimau, takkan makan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya hati
seorang ibu, tak mungkin ia dapat melupakan anaknya. Setelah meninggalkan anaknya
di kuburan, semalam suntuk Ken Endok tak mampu memejamkan matanya. Ia merasa
menyesal sekali, merasa berdosa. Akan tetapi ada keyakinan di hatinya. Bukankah anak
itu keturunan Sang Hyang Brahma? Kalau benar, tentu Sang Hyang Brahma tidak akan
membiarkan anaknya mati kedinginan atau kelaparan atau dimakan hewan galak di
kuburan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kuburan itu
untuk melihat apa yang telah terjadi dengan bayi yang ditinggalkan semalam. Dan bayi
itu kini telah tiada! Hati Ken Endok diliputi pertanyaan dan kecemasan, lalu ia pun pergi
mencari di dusun-dusun yang terdekat. Akhirnya ia mendengar bahwa seorang bernama
Ki Lembong telah memungut seorang anak laki-laki. Bukan main girang rasa hati Ken
Endok dan semakin tebal keparcayaannya bahwa “bapak” anaknya itu ternyata tidak
tinggal diam dan menolong anak itu. Ditemuinya Ki Lembong.
Ki lembong dan istrinya menyambut kedatangan wanita muda yang jelita itu dengan
penuh keheranan karena mereka tidak mengenalnya. Setelah dipersilakan duduk, sambil
memandang bayi yang dipondong Nyi Lembong dan dengan kedua mata basah, Ken
Endok lalu berkata, “Ki dan Nyi Lembong, ketahuilah bahwa namaku adalah Ken Endok
dari Dusun Pangkur dan bahwa anak bayi itu adalah anakku.”
“Ken Endok dari Dusun Pangkur.....? Ah aku, pernah mendengar tentang andika! Puteri
yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma....?” Dan tiba-tiba saja Gembong maling itu
menoleh kepada istrinya dan memandang jabang bayi yang malam tadi dibawanya
pulang.
Ken Endok mengangguk, “Benar, Ki Lembong, dan anak inilah yang kulahirkan. Dia
bernama Ken Arok, keturunan langsung dari Sang Hyang Brahma. Sudah menjadi
kehendak Sang Hyang Brahma bahwa Ken Arok kini menjadi anak asuhmu. Periharalah
baik-baik, karena anak ini akan mendatangkan berkah bagi keluargamu.”
“Tapi...... tapi.... Andika...?”
“Oleh ayahku, aku akan dinikahkan lagi dan aku tidak ingin Ken Arok dipelihara oleh
ayah tiri.”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 19
Ken Endok lalu menghampiri Nyi Lembong dan diciuminya anaknya untuk terakhir
kalinya. Ia lalu berpamit dan pergi sambil manahan isak tangisnya. Tentu saja keluarga
Lembong menjadi girang dan bangga bukan main dan Ken Arok menjadi kekasih mereka.
Demikianlah, mulai saat itu, Ken Arok menjadi anak KI Lembong dan Nyi Lembong,
dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh keluarga yang pekerjaannya sebagai pencuri
itu.
Ada orang yang mengatakan bahwa seorang manusia itu ketika masih bayi, bagaikan
sebuah buku tulis yang masih bersih, belum ada tulisan atau gambarannya. Apa akan
jadinya dengan buku tulis itu kelak, atau apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak
setelah dewasa, ditentukan oleh isinya dan yang mengisi buku tulis kosong putih bersih
itu adalah keadaan sekelilingnya, masyarakatnya, terutama sekali yang paling dekat
dengannya, yaitu orang tuanya, saudara-saudaranya dan kawan-kawan dekatnya.
Kiranya pendapat seperti itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Seorang bayi
yang sejak kecil dibiarkan di antara kelompok monyet, dididik oleh monyet, tentu setelah
dewasa akan bertingkah seperi monyet pula!
Karena itu, dapat dibayangkan apa jadinya dengan Ken Arok yang sejak kecil dipelihara
oleh keluarga maling! Setelah pengertian mulai memasuki batinnya, Ken Arok tahu
bahwa pekerjaan orang tuanya adalah mencuri harta milik orang lain. Tentu saja hal ini
tidak dianggap buruk karena ayah ibunya juga menganggap bahwa “pekerjaan” itu
adalah suatu usaha untuk dapat mencari makan guna menjaga kehidupan mereka. Dan
lebih celaka lagi bagi anak ini, setelah anak ini berusia tujuh tahun, dia pun diajak pergi
oleh ayahnya untuk melakukan pencurian! Memang amat berguna seorang anak kecil
yang cerdik diajak pergi untuk mencuri. Pertama, andaikata dia ditugaskan untuk
berjaga di luar, tidak akan ada orang mencurigai seorang anak kecil menjadi maling. Dan
kalau dia ditugaskan ke dalam, mudah baginya memasuki lubang-lubang kecil atau
memanjat genteng tanpa membuat banyak gaduh karena tubuhnya yang ringan, orangorang
akan tidak sekejam kalau yang ditangkap itu seorang dewasa yang melakukan
pencurian.
Akan tetapi, karena lingkungan hidup, karena pergaulan, bukan hanya pekerjaan
mencuri yang dikenal Ken Arok, melainkan terutama sekali juga perjudian. Anak ini sejak
ada pengertian, mulai gemar berjudi. Bukan berjudi di antara kanak-kanak, memang
demikian permulaannya, kecil-kecilan, akan tetapi karena Ken Arok pandai sekali, tak
lama kemudian anak-anak tidak ada yang berani berjudi melawan dia dan mulailah dia
terjun ke dalam kalangan perjudian yang lebih luas, di mana orang-orang dewasa yang
bermain.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan mencuri itu tentu saja tidak banyak. Yang
dimasuki adalah rumah-rumah orang dusun yang miskin sederhana dan yang dicuri pun
hanyalah terbatas pada bahan-bahan makanan dan pakaian saja yang dipakai sendiri
dan sebentar saja setelah Ken Arok gemar berjudi, ludeslah barang-barang ayah ibunya
di meja perjudian.

Minggu, 13 September 2009

Keris nogopasung 2

“Buatkan sayur jagung untukku, ya? Dan jangan lupa.....” Pria itu menahan kata-katanya
dan tersenyum.
“Apalagi, Kang?”
“Jangan lupa malam nanti.... heh-heh, sudah terlalu lama aku bersabar dan engkau
berjanji malam nanti....”
“Ihh, Kakang Gajahporo....!” Ken Endok mengelak dengan kata-kata sambil
menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
Sambil tertawa-tawa Gajahporo berangkat ke sawah, dan diam-diam Ken Endok
mengikuti bayangannya dengan pandang matanya. Ia pun merasa kasihan kepada
suaminya itu. Bagaimana pun juga, Gajahporo seorang suami yang baik dan sabar.
Sayang, kalau saja seganteng pemuda yang dijumpai menunggang kuda itu! Siapakah
gerangan pemuda itu? Dari mana dan mengapa pula sampai sekarang tak pernah
dijumpainya lagi? Perasaan kecewa dan duka melanda hatinya dan Ken Endok segera
pergi ke dapur untuk memasakkan nasi dan sayur jagung pesanan suaminya sambil
mencoba untuk mengusir kenangan tentang pemuda ganteng itu.
Pagi itu memang cerah sekali. Matahari memancarkan cahanya dengan bebas tanpa ada
awan hitam yang mengehalanginya. Jagat raya nampak terang benderang dengan
cahaya matahari pagi yang keemasan, dan segala sesuatu nampak baru dan hidup. Baik
yang bergerak maupun yang tidak, makhluk kasar mau pun makhluk halus, semua
menyambut Sang Surya dengan penuh kegembiraan. Burung-burung berkicau dan
berlompatan dari dahan ke dahan, gerakannya mengguncangkan daun-daun yang
menghujankan mutiara-mutiara embun. Marga satwa yang baru saja terbebas dari
cekaman malam gelap, meninggalkan sarang masing-masing untuk mulai dengan tugas
hidup setiap makhluk, yaitu mencari pengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sinar
matahari pagi yang sudah mulai naik di langit timur, menerobos di antara celah-celah
daun, menciptakan garis-garis putih menembus sisa-sisa kabut pagi. Keindahan alam di
waktu pagi, senja atau kapan saja memang mengharukan bagi siapa saja yang
membuka mata batinya untuk mengamati, tanpa penilaian. Akan nampak oleh mereka
yang mengamati tanpa menilai bahwa di mana-mana terkandung kebesaran, keajaiban
dan keindahan yang tak tertuturkan kata-kata. Di dalam sinar yang mengusir kegalapan
itu, di dalam kicau burung, di dalam embun yang bergantungan pada ujung daun
kemudian berhamburan jatuh, di dalam ulat yang memakan daun-daun, di dalam daun
kering yang berguguran dan berserakan di bawah pohon. Di dalam semua itu terkandung
hikmah suci tentang hidup dan mati, dua serangkai yang takan pernah terpisahkan,
hidup dan mati yang saling berkesinambungan, saling dorong, saling memberi pupuk.
Dara yang melangkah seenaknya melalui jalan itu tidak mempengaruhi suasana. Bahkan
nampak serasi, seolah ia memang sudah seharusnya di situ dan berjalan di tempat itu.
Ken Endok menggendong sebuah bakul berisi nasi, sayur jagung dan bakaran ikan lele,
uga sambal dan sebuah kendi penuh air jernih. Suasana pagi yang cerah itu juga
mencerahkan hatinya yang sudah berhasil melupakan wajah yang selalu
membayanginya. Ia bersenandung kecil, dan begitu bersenandung, dara ini teringat lagi
akan Ki Bagus yang selama ini dirindukannya. Tembangnya pupuh Kinanthi:
Ana kupu kuning mabur, saya dhuwur saya mencit
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 5
Kepireng tangise kembang, gage deniro marani
Arsa jampeni kang lara, lara sajroning ati“Duhai, Nimas Ken Endok, beta
pa trenyuh hatiku mendengar rintihan hatimu itu. Ah,
agaknya aku telah bersikap kejam terhadap dirimu, Nimas....!”
Ken Endok terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang
pemuda yang bukan lain ialah Ki Bagus yang selama ini membuatnya tidak nyenyak tidur
tak enak makan! Dan kini pemuda itu nampak lebih elok daripada ketika ia melihat yang
pertama kali. Dada yang tak berbaju itu nampak bidang dan penuh, berkulit halus namun
di dalamnya membayang kekuatan yang membuat jantungnya tergetar hebat. Ken
Endok merasa malu bukan main teringat akan tembangnya tadi. Betapa tidak?
Tembangnya tadi berarti: “Ada kupu-kupu kuning terbang makin tinggi, mendengar
tangisnya kembang, segera menghampirinya untuk mengobati yang sedang sakit di
dalam hatinya!” Tembang itu, secara halus mengungkapkan rasa rindunya walaupun
tidak ditujukan kepada suatu nama.
Kupu kuning lagi wuyung, mirsani kembang melati,
Wus tinandur keboning wong, den klilingi pager adi,
Gandane anggambar-ambar, arep melik ora wani!
Mendengar suara yang lembut itu juga kini bertembang Kinanti dengan kata-kata penuh
sindiran. Ken Endok menudukkan mukanya. Bakul yang dibawanya hampir terlepas
karena tangannya menggigil. Tembang itu berarti: “Kupu-kupu kuning sedang berduka,
melihat kembang melati sudah ditanam orang lain. Dikelilingi pagar susila, baunya
harum semerbak hati ingin memetik apa daya tiada keberanian!”
Berdegup-degup rasa jantung di dalam dada Ken Endok. Sejak ia menjadi isteri
Gajahporo belum pernah mereka sepelaminan. Belum pernah mereka bermain cinta.
Semua ini terjadi karena ia belaka, rindu kepada pria ini. Sekarang pria idamannya
sudah berada di depannya, bahkan menembangkan kata-kata yang menyatakan
keinginan hatinya. Ia tahu bahwa kalau sekali ini ia tidak berani nekat,
selama hidupnyaia akan menyesal dan hidupnya merana, sengsara. Maka ia pun memberanikan dirinya
dan mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang terjadi getaran-getaran
melalui sinar mata itu yang langsung mengusik hati. Pandang mata mereka saling
melekat, seperti melekatnya dua perasaan hati yang tidak nampak.
“Aduh, Raden, saya mohon agar Raden tidak mencabik-cabik hati saya. Biarpun saya
telah dinikahkan dengan Gajahporo, namun demi para Dewata, sampai saat ini saya
masih suci, masih menjadi isteri orang secara sah.”
“Duh Jagat Dewa Bathara....!” Pria itu melangkah dekat sehingga mereka kini
berhadapan dekat sekali, dapat saling merasakan hembusan nafas yang keluar dengan
tersendat-sendat. “Benarkah itu, Nimas? Engkau......engkau masih perawan seperti dulu?
Kenapa? Kenapa setelah engkau menjadi isteri Gajahpuro, engkau tidak mau
melayaninya?”
Ken Endok sudah nekat. Rasa malu dibuang jauh-jauh. “Duhai Raden, tidak tahukah
Paduka ataukah hanya pura-pura tidak tahu saja? Semenjak pertemuan kita yang
pertama kali itu, Raden, jiwa raga ini telah kujanjikan kepada diri sendiri untuk
kuserahkan kepada Paduka, bukan kepada pria yang lain.....”
“Nimas Ken Endok.....!” Pria itu berseru dan merangkulnya. Merasa betapa sepasang
lengan yang kuat merangkulnya dan mendekapnya, Ken Endok hampir saja terkulai
pingsan dan ia menyadarkan kepalanya pada dada yang bidang dan berbau cendana itu.
“Kau.... kau bersungguh-sungguh, Nimas? Tidak berbohong?”
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 6
“Saya bersumpah, demi para Dewata. Raden. Kalau saya berbohong, biarlah Sang Hyang
Brahma yang mengutuk saya......emmmmmmm......” Gadis itu tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena kata-kata saja mulutnya yang masih bicara dan setengah terbuka
itu telah ditutup oleh sepasang bibir pria itu dalam ciuman yang membuatnya kembali
terkulai dan memejamkan mata, merasa seperti hanyut dan terseret gelombang
samudera amat kuat.
“Kenapa..... kenapa kau lakukan itu.....? Kenapa..... kenapa kau lakukan itu?” Setelah
ciuman itu dilepaskan, gadis itu berbisik-bisik, mengulang-ulang kata-katanya sehingga
seolah-olah pertanyaan itu bermaksud mengapa pemuda itu menghentikan
perbuatannya!
“Nimas Ken Endok, jangan kau bersembarangan bersumpah, apalagi kepada Sang Hyang
Brahma, karena ketahuilah bahwa aku adalah titisan Sang Hyang Brahma sendiri!”
Pemuda itu tertawa, maksudnya berkelakar saking girangnya hati. Akan tetapi kelakar ini
dianggap sunguh-sungguh oleh Ken Endok dan karena terkejut, dara itu hampir roboh
pingsan, terkulai dan menjatuhkan diri berlutut, menyembah-nyembah kaki pemuda itu!
Sambil tertawa-tawa pemuda itu lalu memondong tubuh Ken Endok dan dibawanya ke
arah sebuah gubuk di tengah sawah yang agak jauh dari jalan itu. Pada waktu itu, orang
baru saja selesai membajak dan menanam padi. Belum ada padi yang perlu dijaga dari
gangguan burung, maka sawah itu lengang dan gubuk-gubuk di situ kosong.
“Nimas, engkau benar-benar mau menyerahkan jiwa ragamu kepadaku?” bisik pria itu
setelah dia merebahkan tubuh Ken Endok di dalam gubuk. Dara itu membuang muka
saking malunya, akan tetapi mengangguk perlahan.
“Kalau engkau mau menjadi garwaku, engkau tidak boleh berdekatan dengan pria lain,
termasuk suamimu, Bagaimana?”
“Sampai mati aku tidak mau dijamah pria lain, paduka adalah junjungan hamba, Paduka
adalah suami hamba, Paduka adalah Sang Hyang Brahma....”
“Ha-ha-ha!” Pria itu tertawa geli dan gembira dan tidak lama kemudian, tidak terdengar
lagi percakapan mereka kecuali hanya desahan-desahan dan gubuk yang hanya terbuat
dari bambu itupun terguncang-guncang.
Kalaupun pandang mata sudah berpadu
senyum mengandung lautan madu
Uluran tangan sudah pula disambut
Segala sapa sudah dijawab
Kalau dua hati sudah bersatu
Segala pun bisa terjadi!
Melihat isterinya berkali-kali muntah-muntah tanpa mengeluarkan apa-apa dari
mulutnya, Gajahporo terkejut dan merasa heran bukan main. Sudah diusahakan
pengobatan pada istrinya, namun sia-sia saja, bahkan istrinya menolak untuk
dipanggilkan dukun. Wajah istrinya nampak pucat, namun ada cahaya yang membuat
wajah itu menjadi semakin cantik.
Karena kehabisan akal, Gajahporo lalu minta nasihat ibunya. Ibunya segera datang
menengok mantunya betapa kaget hati mereka berdua ketika nenek yang sudah
berpengalaman itu berkata dengan girang, “Kamu ini bagaimana, to, Le (nak)? Lha wong
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 7
istrimu mengandung gitu kok kebingungan sendiri, hik hik!”
Ibu ini tentu saja girang melihat mantunya hamil. Akan tetapi yang terkejut adalah
Gajahporo dan Ken Endok.
“Mengandung? Tidak!!” Gajahporo berseru dengan kaget sambil memandang ke arah
perut isterinya. Memang agak lain dari biasanya. Biarpun ditutup bengkung, masih
nampak mengandung. “Ken Endok katakan bahwa hal itu tidak benar!”
Akan tetapi Ken Endok tidak menjawab, menundukkan mukanya, kemudin malah lari
memasuki biliknya dan menangis.
Tentu saja Gajahporo dan ibunya terkejut dan cepat mengejar lalu memasuki kamar itu.
“Genduk, apa yang terjadi?” Ibu mertua itu membujuk mantunya, sedangkan Gajahpuro
berdiri dengan alis berkerut dan kedua tangan terkepal. Dia merasa terhina sekali.
“Aku....... aku agaknya memang.... mengandung.....”
“Tidak mungkin!” kembali suaminya membentak. “Sejak menikah dengan aku belum
pernah satu kali pun campur, mana bisa mengandung?”
Ibunya terkejut mendengar ini dan menyadari gawatnya persoalan. Akan tetapi sebagai
seorang wanita tua yang berpengalaman, ia tidak melampiaskan rasa penasaran dan
marahnya. Ia merangkul Ken Endok. “Genduk, benarkah apa yang dikatakan suamimu
tadi bahwa engkau selama menikah ini belum pernah melayaninya?”
Ken Endok menubruk ibu mertuanya sambil menangis. “Aduh ibu.....amppunkan saya...,
apa yang dikatakan Kakang Gajahporo memang benar...”
“Ehh....?Kalau begitu, lalu bagaimana engkau bisa mengandung?”
“Huh, apa lagi kalau pelacur ini tidak bermaksud gila dengan laki-laki lain!” Bentak
Gajahpuro dengan mata merah. “Perempuan seperti ini sepantasnya dibunuh saja!”
“Eh, jangan gila, anakku!” Ibunya melarang dan melindungi Ken Endok dalam
dekapannya.
Akan tetapi Ken Endok tidak takut. Memang dara yang pernah menjadi kembang Dusun
Pangkur ini memiliki ketabahan mengagumkan. Ia bangkit dari dekapan ibu mertuanya.
“Kakang Gajahporo! Aku memang telah bersalah kepadamu, akan tetapi engkau bicara
sembarangan saja! Aku memang telah berenang dalam lautan asmara dengan pria lain,
akan tetapi tidak tahukah engkau siapa pria ini? Dia adalah Sang Hyang Brahma sendiri!”
“Bohong! Cuhh! Bohong!” Dia meludah. “Siapa percaya obrolanmu?”
“Sssttt..... jangan kurang ajar, Gajahpuro. Tidak boleh bicara seperti itu terhadap Sang
Hyang Brahma....!” Wanita tua itu cepat-cepat menyembah.
“Tapi ia bohong! Mana mungkin.....”
“Diamlah dan biarkan Ken Endok menceritakan pertemuannya dengan Sang Hyang
Brahma.”
Pada jaman itu umumnya orang amat percaya kepada dewa yang menguasai jagat raya
dan kehidupan manusia, maka sikap ibu dan Gajaporo ini sama sekali tidaklah
Sambil menangis dan suara terputus-putus ken Endok lalu bercerita betapa mula-mula ia
bertemu dengan Sang Hyang Brahma yang menjelma menjadi seorang pemuda priyayi
yang menunggang kuda. Betapa kemudian dewa itu muncul kembali di tengah jalan
ketika ia mengirim nasi suaminya ke ladang Ayugo dan di tengah perjalanan itulah ia
menerima cinta kasih Sang Dewa.
“Pantas nasinya hambar dan sayurnya asam!” bentak Gajahporo marah.
“Hush, tutup mulutmu! Ibunya menghardik. “Di mana terjadinya itu Ken Endok?”
“Di tegal Lalateng, aku.....aku dibawanya terbang ke langit ke tujuh.....” terpaksa Ken
Endok membohong karena ia takut kalau-kalau suaminya itu membunuhnya.
Kembali wanita itu hanya menyembah dan kini Gajapuro sendiri termangu-mangu,
merasa gentar. Kalau benar cerita istrinya, wah....jangan-jangan Sang Hyang Brahma
akan menghukumnya.
“Sudah beberapa kali kau.... kau.... begitu?” Akhirnya suami ini bertanya.
Bagaimana pun juga, kedua pipi itu menjadi merah dan sambil menundukkan mukanya
Ken Endok berterus terang, “Tiga kali, Kakang.....dan beliau berpesan bahwa sebelum
anak ini terlahir, aku tidak boleh disentuh pria lain, dan kelak kalau anak ini terlahir lakilaki
agar diberi nama Ken Arok”
Hampir saja Gajahporo membentak “bohong” lagi, akan tetapi kini dia mulai agak takut.
“Jagat Wasesaning Bathara......!” Ibunya mengeluh dan memanjatkan doa ke atas.
“Segala kehendak Sang Hyang Brahma pun terjadilah!” Dan ia pun bergegas
meninggalkan rumah anaknya dengan hati gembira. Ada berita yang amat
menggembirakan dibawanya. Ia tidak akan merasa malu, malah bangga! Anak mantunya
dipilih oleh Sang Hyang Brahma. Maka nenek inilah yang membawa berita
menggembirakan itu bahwa Ken Endok anak mantunya, mengandung keturunan Sang
Hyang Brahma!
Di dalam dunia ini, segala keadaan tidaklah dapat dikatakan baik atau buruk karena
memang tidak ada sifat demikian. Baru timbul sifat baik atau buruk kalau sudah dinilai
orang. Ketahyulan seperti yang menghuni batin ibu Gajahporo itu, baik atau burukkah?
Ketahyulan itu adalah suatu keadaan yang tak dapat diubah lagi pada saat itu, suatu
keadaan yang terjadi dan timbul karena suasana, karena kebudayaan, karena lingkungan
dan karena jamannya. Baik atau buruk? Bisa dibilang baik tentu bisa pula disebut buruk,
karena penilaian itu mengandung unsur keduanya. Kalau ada baiknya tentu saja ada
buruknya, dan sebagainya lagi. Sampah itu buruk, kotor, sarang penyakit, kan tetapi di
pihak lain juga pupuk yang baik sekali! Tahyul itu bodoh dan menimbulkan diri orang lain
kadang-kadang, akan tetapi dilain pihak, tahyul merupakan suatu kekuatan iman yang
kadang-kadang bermanfaat pula bagi diri sendiri. Ada penyakit yang berat dapat sembuh
begitu saja hanya dengan ditiup ubun-ubunnya!
Kalau mulai sekarang kita memandang segala sesuatu TANPA PENILAIAN, mungkin saja
mata batin kita akan menjadi lebih waspada. Mudah-mudahan!
“Tidak, bagaimanapun, malam ini engkau harus melayaniku! Aku berhak atas dirimu,
Ken Endok! Bukankah engkau istriku dan aku sudah menyerahkan segala syarat ketika
meminangmu? Beberapa ekor kerbau dan sapi juga tenagaku beberapa lama diperas
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 9
ayahmu mengerjakan sawah ladang. Malam ini, mau tidak mau, kau harus melayani aku
sebagai seorang istri!”
“Tapi, Kakang. Aku sedang dalam keadaan hamil!”
“Hamil atau tidak, peduli amat! Bukan aku yang menghamili! Hayo!” Gajahpuro yang
sudah merasa cemburu dan marah itu lalu menangkap lengan istrinya dan menariknya
ke dalam bilik tempat tidur mereka.
“Kakang, engkau akan kualat, akan berdosa terhadap Sang Hyang Brahma!”
“Bohong! Hanya bualanmu saja....” Tiba-tiba sepasang mata Gajahporo terbelalak ketika
entah dari mana datangnya, seorang pemuda yang tampan tahu-tahu telah berdiri di
dalam rungan itu!
Melihat pemuda itu, Ken Endok meronta dan melepaskan diri dari rangkulan suaminya
dan lari menghempiri pemuda itu. “Raden.....!” dan ia menjatuhkan diri di depan kakinya
sambil menangis.
Gajahporo melihat bahwa yang datang itu sama sekali bukan Sang Hyang Brahma
seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng dan dilihatnya dalam bentuk arca,
maka keberaniannya timbul.
“Keparat, jadi engkau yang telah merusak pagar ayuku dan menjinahi istriku? Engkau
harus kubunuh!!” Berkata demikian, Gajahporo yang sudah marah sekali itu menyambar
sebatang arit yang terselip di bilik lalu menyerang dengan cepatnya. Akan tetapi,
pemuda itu tersenyum dan miringkan tubuh. Ketika arit itu meluncur cepat, tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka miring menghantam tepat dan mengenai tengkuk
Gajahpuro.
“Kekk.....! Tubuh Gajahporo tersungkur dan disusul sebuah tendangan yang mengenai
lambungnya. “Ngekkk....!” dan tubuh itu pun tidak bergerak lagi.
Melihat ini, ken Endok ketakutan dan menangis. “Ah, Raden, bagaimana ini.....?”
“Jangan khawatir. Dia tidak akan berani menggangumu lagi. Sekarang juga, kau
pulanglah ke rumah orang tuamu, mari kuantar sampai di sini dan mulai besok, kau
harus minta cerai darinya.”
Ken Endok hanya menyetujui dan ia pun pulang ke rumah orang tuanya, diantar sampai
dekat rumah oleh pemuda itu yang lalu sekali meloncat sudah lenyap dari situ.
Kecepatannya bergerak seperti terbang saja sehingga menyakinkan hati Ken Endok
bahwa anak dalam kandungannya memang seorang Dewa! Orang tuanya juga tak berani
banyak cakap ketika menerima anak mereka karena mereka pun sudah mendengar yang
disebarluaskan oleh ibu Gajahporo tentang anak mereka yang dipilih oleh Sang Hyang
Brahma itu.
Siapakah sebenarnya orang muda tampan yang mengaku titisan Sang Hyang Brahma
itu? Tentu saja dia bukan dewa melainkan manusia biasa. Tentang dia keturunan atau
titisan Sang Hyang Brahma, atau Syiwa, atau Wisnu, siap tahu? Namanya adalah
Ginantoko, seorang yang masih keponakan dari seorang senopati di Kadipaten Tumapel.
Bukan darah adipati atau raja muda, akan tetapi juga termasuk seorang keluarga
priyayi. Ginantoko ini tinggal di Tumapel dan dia seorang yang memiliki aji kesaktian
karena dia seorang murid dari Empu Gandring yang amat terkenal itu. Sebetulnya,
Ginantoko bukan seorang perjaka lagi. Dia sudah mempunyai seorang istri yang pada
waktu itu sedang mengandung. Mungkin karena istrinya sedang mengandung itulah,
maka ketika dia bertemu dengan Ken Endok yang merupakan seorang perawan dusun
yang manis, dia tergila-gila dan menggodanya sehingga dia menghamili gadis itu dengan
menyamar sebagai titisan Sang Hyang Brahma. Hal itu dilakukan dengan dua maksud.
Pertama agar gadis tunduk dan rela menyerahkan diri, kedua agar perbuatannya itu
dapat tersembunyi karena dia pun tidak pernah memperkenalkan dirinya. Kalau sampai
diketahui orang bahwa dia menjinai istri orang, tentu pamannya yang menjadi senapati
akan marah sekali! Memang, Ginantoko yang sakti itu dalam usianya yang belum ada
tiga puluh tahun, memiliki kelemahan yang lazim pada kebanyakan pria, yaitu tukmis
(batuk kelimis), alias mata keranjang! Namun karena dia tampan dan sakti maka
banyaklah wanita yang bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya tanpa dia pernah
menggunakan pemaksaan.
Ginantoko menjadi murid Empu Gandring sejak berusia sepuluh tahun dan dia
sesungguhnya masih terhitung keponakan Empu Gandring sendiri. Seperti tercatat dalam
sejarah, Empu Gandring adalah seorang pembuat keris yang kenamaan di Kerajaan
Tumapel. Akan tetapi selain ahli pembuat keris, dia juga memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan seorang yang sakti mandraguna. Ginantoko mempelajari pembuatan keris
sekedarnya saja akan tetapi lebih tekun mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian.
Karena dia seorang yang mata keranjang, tampan dan pandai merayu wanita, maka
banyak wanita, baik gadis maupun sudah bersuami, yang pernah menjadi kekasihnya
secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak terpaksa sekali, jarang dia memperkenalkan
namanya yang asli, seperti ketika merayu Ken Endok, dia pun bahkan mengatakan
sebagai titisan Sang Hyang Brahma.
Akan tetapi, agaknya sudah lazim di dunia ini bahwa seorang pria yang memiliki watak
mata keranjang, dia bukan seorang yang pecinta sejati dalam arti kata dia tidak
mengenal apa yang dinamakan kesetiaan. Dia mudah bosan dan melupakan yang lama
begitu dia mendapatkan yang baru.
Demikian pula halnya dengan Ginantoko. Dia selalu menghubungi seorang wanita untuk
beberapa bulan saja, atau paling lama setelah wanita itu mengandung, maka dia pun
tentu akan meninggalkannya! Apalagi kalau matanya yang berminyak sudah memperoleh
seorang calon mangsa baru.
Kalau dikaji benar, sifat mata keranjang agaknya memang sudah menjadi pembawaan
setiap pria di dunia ini, atau bahkan mungkin menjadi pembawaan setiap makluk jantan
di dunia ini yang condong untuk berwatak poligami, yaitu ingin memiliki lebih dari satu
kawan hidup atau istri. Hanya saja, manusia mengenal cinta atau kesetiaan dan inilah
yang menjadi pengekangnya. Hanya mereka yang tidak mempunyai cinta dan kesetian,
maka dia akan menjadi liar dan condong oleh sifatnya yang mata keranjang. Dalam hal
ini, pria yang bernama Ginantoko tidak sadar bahwa kebiasaannya itu amat buruk.
Bahkan tidak menjadikannya merasa malu. Sebaliknya malah, dia akan merasa bangga
merasa seperti menjadi seorang Arjuna yang digilai banyak wanita. Betapa tidak?
Bukankah Sang Arjuna yang di dunia pewayangan dijuluki “lelananging jagat” (jantan
dunia) juga seorang pria mata keranjang dan mempunyai banyak sekali istri dan kekasih
gelap?